Rai pernah menolak mentah-mentah tawaran Sora ketika cewek itu menyuruh ke rumahnya karena ada banyak makanan. Ia pernah berpikir ke rumah Sora seperti melempar diri ke kandang macan secara sukarela.
Dan kini ia malah sudah berada di depan pintu rumah Sora. Entah apa yang ada dipikirannya saat di taman belakang kemarin, yang langsung mengiyakan undangan makan malam Sora di rumahnya.
Mungkin ia terpengaruh bisikan Mbak Kun! Bisa jadi kan?
Kedua tangan Rai berkeringat dan sudah tiga kali ia menelan salivanya. Ini pertama kali ia datang ke rumah teman perempuan tanpa alasan tugas.
Walau ajakan Sora bukan kencan atau kearah pendekatan----hanya makan malam---tapi tetap aja ia gugup. Di dalam sana pasti sudah ada adik dan Papa Sora.
Rai menelan salivanya sekali lagi kemudian mengetuk pintu rumah Sora. Tidak begitu lama pintu itu pun terbuka menampilkan wajah ceria Sora.
Sora terlihat santai dengan pakaian rumahannya. Hanya celana piyama yang dipadukan kaus putih polos. Rambut cewek itu juga hanya dicepol biasa.
Sora bertepuk tangan dan melompat-lompat kecil. "Lo beneran datang!"
Rai mengusap ujung hidungnya. "Iya. Kan udah bilang gue mau datang."
"Masuk-masuk. Mau ikut gue ke dapur atau duduk di ruang tengah aja?"
Mengikuti Sora adalah opsi terbaik karena rumah cewek itu terlihat sepi. Di dapur ternyata lebih ramai dari yang ia duga. Di sana ada Davian dan seorang anak perempuan yang kira-kira berumur sebelas tahun sedang sibuk berdebat sambil membawa panci.
"Davian udah makan mie instan dua kali dalam seminggu. Dia nggak bisa makan mie lagi di rumahnya jadi lari ke sini buat makan mie instan. Dia kangen Indomie, tapi takut kena hukum emaknya." Sora menjelaskan keberadaan Davian.
Davian yang menyadari kehadiran orang baru di dapur menoleh. Ia menyapa Rai. "Jangan hiraukan gue, Rai. Gue cuman numpang makan mie ini."
Sera yang ikut menoleh, kemudian menyenggol Davian. "Dia pacar Kak Sora?" tanya Sera sambil berbisik.
"Kayak udah ngerti apa itu pacaran aja, Ser. Masih kecil kamu jangan mikir cinta-cintaan dulu. Bisa dijewer Bunda kamu." Davian menyentil dahi Sera pelan.
"Sera sini! Kenalin ini Rai teman Kakak. Rai ini Sera adikku." Sora memperkenalkan adiknya pada Rai.
Rai mengulurkan tangannya yang disambut cepat oleh Sera. "Kakak teman laki-laki pertama yang dibawa ke rumah sama Kak Sora," ucap Sera.
"Oh ... suatu kebanggaan." Rai langsung menutup mulut setelah mendengar jawaban bodohnya.
Davian tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Rai. Sora dan Sera terkekeh geli.
"Makan malam udah siap kok, Rai. Yuk kemeja makan aja."
Di meja makan sudah tersaji berbagai lauk pauk di antaranya ada ayam goreng mentega, tumis sawi dan kembang kol, omelette, dan tempe mendoan.
"Kita bisa makan sekarang. Papa bilang akan pulang telat karena harus mengurus kerjaannya yang terlantar karena sakit."
Sora duduk dikuti Rai. Mereka duduk bersebelahan. Sora mengambilkan nasi untuk Rai, lalu untuk dirinya sendiri. "Seryl, kamu mau makan mie sama Vivi atau makan di sini?!"
"Mau makan ayam aja!"
Sera duduk bersebrangan dengan Sora. Sora mengambilkan nasi untuk adiknya.
"Ambil lauk sendiri ya, Rai. Maaf gue cuman buat ini."
"Ini udah banyak banget, Ra. Ya, lo juga tahu gue bakal makan apa aja. Ini gue cobain semua lauknya nggak papa?"
Semua yang tersaji di depan Rai sangat menggoda. Rai suka sekali ayam, apa pun olahannya. Sayur tak jadi masalah untuknya.
"Malah gue senang lo mau makan semuanya."
Mereka makan dalam diam menikmati makanan. Perasaan Rai menghangat dan melambung tinggi. Siapa sangka Sora yang dulu ia hindari mati-matian kini malah menjadi seseorang yang menghiburnya dari keterpurukan.
Tidak menghiburnya dengan kata-kata penenang atau penyemangat Sora menghiburnya dengan cara yang luar biasa. Makanan. Cewek itu tahu ia tidak akan menolak makanan.
Bahkan Sora memasak semua hidangan di depannya ini. Bagaimana mungkin Rai tidak tersentuh?
🍬🍬🍬
Film The Fault In Our Stars sudah terputar setengah jalan, tetapi sudah banyak sekali tisu yang digunakan Sora untuk menyeka air matanya. Rai yakin air mata Sora akan semakin tumpah menuju ending.
Di belakang mereka ada Sera yang sudah tidur di sofa setelah menonton film Bridge To Terabithia bersama mereka. Film The Fault In Our Stars adalah film kedua yang Sora dan Rai tonton.
Begitu makan malam selesai Sera menyeret Rai dan Sora untuk menonton film. Sora membuat popcorn caramel untuk menemani mereka menonton film.
Davian yang tadinya menumpang makan mie instan di rumah Sora langsung bergegas pulang setelah mendapat ultimatum dari bundanya. Padahal rencananya akan ikut menonton film.
Sudah hampir jam setengah jam sembilan sekarang. Tadi mereka makan malam lebih awal, jam enam lebih sedikit.
"Terakhir film apa yang buat lo nangis?" tanya Rai.
Sora mem-pause filmnya. Sora adalah tipe penonton yang tidak bisa diajak mengobrol jika menonton film, tetapi Rai tipe yang sebaliknya, cowok itu sepanjang film selalu mengomentari apa pun.
"Five Feet Apart, Before You, sama Last Christmas," jawab Sora.
"Lo suka film sedih?"
"Yang nggak gue suka cuman film thriller sama horor. Lo sendiri suka genre apa? Dari tadi iya-iya mulu, diajak Sera nonton film Bridge To Terabithia iya, gue ajak nonton The Fault In Our Stars iya."
"Gue bukan orang yang pilih-pilih."
Sora mengangguk mengerti. Rai mengambil alih remote di tangan Sora dan kembali mem-play filmnya.
Benar saja Sora terisak ketika film menuju ending. Yang bisa Rai lakukan hanya mengulurkan tisu dan menepuk-nepuk punggung Sora. Rai menengok ke belakang, di sofa di mana Sera tidur, anak perempuan itu sama sekali tidak terganggu oleh tangisan kakaknya.
Bersamaan film berakhir Papa Sora pulang dan datang ke ruang tengah. Tentu saja Rai terkejut. Sekarang Sora menangis dan ia sedang bersama Sora, lantas apa yang akan ada dipikiran papanya Sora?
"Papa pulang," ucap Sora.
Arsen melihat ke layar televisi dan begitu saja ia sudah tahu alasan anak sulungnya itu menangis. Hampir saja ia akan menuduh laki-laki yang sedang bersama Sora. Ini pertama kali ada laki-laki sebaya dengan Sora di rumah, selain Davian.
"Iya. Maaf Papa pulang terlambat."
Sora berdiri menyalimi papanya diikuti Rai. "Ini Rai, Pa, teman sekelas Sora."
Arsen tidak tahu harus beraksinya seperti apa. Ia tidak pernah mempersiapkan sesuatu ketika Sora memperkenalkan laki-laki seperti saat ini. Di matanya Sora masih kecil dan masih lama Sora akan mengajak laki-laki ke rumah. Ternyata waktu itu datang lebih cepat.
"Rai, Om." Rai memperkenalkan diri.
Jantung Rai sudah kebat-kebit tidak karuan. Kenapa Papa Sora pulang saat kondisi Sora sembab tidak karuan seperti itu? Takutnya ia dikira penyebab Sora menangis. First impersion Papa Sora ke dia akan jelek sekali.
"Saya papanya Sora, Nak Rai. Sudah lama di sini? Sudah makan?" tanya Arsen.
Rai menggaruk ujung hidungnya. "Sudah kok, Om."
"Om, bersih-bersih dulu, ya," pamit Arsen.
Sepergian Arsen, Rai dapat menghela napas panjang. Sora menyenggol lengan sambil terkekeh. "Mukanya nggak usah tegang gitu, Rai. Papa gue orangnya baik kok."
"Orang yang lihat wajah lo sekarang bisa salah paham sama gue," bisik Rai.
Sora memegang pipinya yang masih basah. "Kacau banget, ya?"
"Iya, hidung lo udah persis badut itu. Merah banget."
Rai membereskan tisu-tisu yang berceceran di karpet juga bekas wadah popcorn.
"Gue aja, Rai. Itu bekas ingus gue." Sora menahan tangan Rai.
"Nggak papa, gue nggak keberatan."
"Lo nggak jijik?"
Rai mengedikkan bahunya. "Gue udah terbiasa. Setiap nonton film sedih sama Bunda gue yang akan membereskan semuanya."
Sora menubruk badan Rai dan memeluknya. Ia merasa terharu oleh ucapan Rai, atau mungkin perasaan sedih dari film yang baru saja ia tonton masih menghinggapinya.
Jantung Rai kembali berpesta pora. Yang ia rasakan sekarang bukan degup yang menyenangkan atau deg-degan karena dipeluk gebetan, tetapi takut kalau-kalau papanya Sora akan menyambit dirinya yang berani-berani sekali memeluk putrinya di rumahnya lagi.
Rai berdehem. "Ra, kita nggak lagi syuting film romance remaja."
"Tapi lo udah cocok memerankan pemeran utama laki-laki di film teen romance," ucap Sora masih dalam pelukan Rai.
Pipi Rai memanas. Bisa-bisanya ia blushing dalam kondisi seperti ini.
"Ya udah nanti kita syuting bareng." Rai mengurai pelukan mereka. Takut-takut kalau Papa Sora datang.
"Gue pemeran utama wanita?"
"Lo pemeran pembantu."
Sora bercak sebal, sedang Rai tertawa melihat wajah cemberut Sora. Puas menertawakan Sora, Rai melanjutkan berberas.
Papa Sora kembali ke ruang tengah untuk memindahkan Sera ke kamar. Rai memanfaatkan kesempatan itu untuk pamit pulang, dibantu Sora tentu saja.
"Jangan kapok-kapok temenan sama Sora ya, Nak Rai." Itu adalah pesan dari Papa Sora saat Rai pamit.
Rai bersyukur Papa Sora tidak menyambitnya dan tidak bersikap ketus padanya.
Sora mengantar Rai hingga Rai mengeluarkan motornya dari garasi rumah Sora.
"Makasih banyak Ra buat semuanya. Gue tahu kok yang lo lakuin ini buat menghibur gue. Dan menurut gue ini penghiburan yang sangat amat istimewa buat gue," ujar Rai.
Bulan sabit muncul di wajah Sora. Kalau Rai boleh menggombal, bulan sabit di wajah Sora tak kalah cantik dengan bulan sabit yang sering ia lihat di langit.
"Gue bangga banget sama lo, Rai." Sora ingin memeluk Rai sekali lagi, tetapi yang ia lakukan hanya menepuk bahu Rai. Sulit berpelukan jika Rai sudah duduk di atas jok motornya.
"Coba nanti sebelum tidur lo tepuk-tepuk kepala lo pelan sambil bilang, 'Lo udah melakukan yang terbaik hari ini, Rai'."
"Lo melakukan itu juga?" tanya Rai.
"Gue setiap bangun bakal cari cermin terus bilang, 'Anak siapa ini cantik sekali'."
Rai tertawa terbahak-bahak. Sora dan kelakuan ajaibnya emang tak terpisahkan.
Bagi Sora mendapati Rai tertawa selepas ini merupakan sesuatu yang membahagiakan.
"Oke, gue bakal ngelakuin itu nanti sebelum tidur."
"Good boy!" Sora menepuk-nepuk helm Rai.
Setelah Rai melesat pergi dan tak tertangkap matanya barulah Sora masuk kembali ke rumah.
[ ]
a.n: tinggalkan jejak, yaaaaa:)))