Agenda penting Sora hari ini adalah menonton jalannya pertandingan taekwondo yang diikuti Rai sepulang sekolah. Sora akan ke tempat pertandingan bersama Milo.
Namun, agenda itu harus urung kala Sora mendapat telfon dari adiknya yang mengabarkan Papa pulang kerja lebih awal karena sakit.
"Kakak bisa pulang sekarang? Ayah tiba-tiba pulang cepat dan di kemeja Papa ada bekas darah, Kak. Kata Papa cuman darah mimisan biasa. Tapi kan tetap saja! Papa langsung masuk kamar."
"Kamu sudah temui Papa di kamar?"
"Sudah. Papa tiduran terus pas aku cek dahi Papa hangat, Kak."
"Kakak pulang sekarang."
Sora segera saja menemui Milo yang sudah menunggunya di parkiran. Bilang ke cowok itu kalau ia tidak bisa ikut.
"Kenapa, Ra?" tanya Milo.
Tergambar jelas raut kekhawatiran di wajah Sora, Milo melihatnya. Sora bahkan tidak bisa diam dan terus menggerakkan kakinya.
"Gue harus pulang. Papa sakit, Mil. Bilang ke Rai permintaan maaf gue yang nggak bisa hadir, ya."
Sebelum Milo menawarkan tumpangan untuk mengantarkan Sora pulang gadis itu malah sudah berlari pergi.
Sora pulang dengan ojol yang tadi ia pesan setelah mendapat telfon dari Sera. Di perjalanan pulang Sora sangat mencemaskan papanya.
Beberapa Minggu terakhir Papa memang terlihat sibuk. Papa pun masih menyempatkan menghabiskan waktu dengannya dan Sera. Sora menduga Papa tidak memiliki waktu sendiri untuk beristirahat lebih lama.
Sampai di rumah Sora meletakkan tasnya sembarangan di ruang tamu, lalu berlari ke kamar papanya di lantai satu. Di kamar Papa sudah ada Sera yang sedang berpelukan dengan Papa di ranjang.
Sora meletakkan punggung tangannya di dahi Papa dan merasakan kehangatannya yang lebih panas dari biasanya. Papa demam.
"Hangat kan, Kak?" tanya Sera pelan tak ingin menganggu papanya yang terlelap di pelukannya.
"Kakak akan kompres ketek dan dahi Papa. Kamu sudah makan siang, Ser?"
Sera menggeleng. "Belum. Papa juga belum."
"Setelah kompres Papa aku buatin sup ayam, ya?"
"Oke-oke," jawab Sera.
Saat akan keluar kamar Papa Sera melihat keranjang baju kotor Papa. Di sana ada kemeja yang Papa pakai tadi pagi, yang sudah pasti kena darah mimisan. Sora mengangkut keranjang cucian itu dan membawanya ikut keluar.
Sora menghangatkan air. Selagi menunggu air hangat Sora mencuci kemeja Papa beserta baju kotor Papa lainnya. Setelah Bi Ila tak lagi bekerja di sini, pekerjaan rumah Sora yang menghandle. Untuk cuci baju biasanya dicuci sendiri-sendiri, Sera pun sudah bisa melakukan itu. Berberes rumah kadang Sera ikut membantu.
Papa ingin menghire pembantu lagi, tetapi Sora melarangnya selagi ia masih bisa menanggani. Sora juga beralasan coba hidup mandiri.
Semua cucian sudah masuk mesin cuci. Sora kembali ke dapur dan mendapati airnya sudah mendidih. Sora menaruh air itu di baskom kecil dan ia campur dengan air dingin agar menjadi hangat.
Sora membawa baskom itu dan handuk yang baru saja ia ambil ke kamar Papa.
"Pa, bangun sebentar biar Sora kompres."
Sora membantu Papa terlentang. Tubuh Papa lemas sekali membuat Sora tidak tega.
"Biar Sera aja, Kak."
Sora tersenyum, lalu memberikan handuk yang sudah ia basahi dengan air hangat pada Sera. "Ketek sama kepala, ya. Kalau handuknya udah nggak hangat lagi kamu celup aja ke baskom terus peras."
"Oke. Aku udah ngerti kok, Kak."
Sora mencium puncak kepala adiknya. "Pintar. Kakak tinggal masak nggak pa-pa?"
"Nggak papa. Tapi kakak lebih baik ganti baju dulu."
Sora memperhatikan tubuhnya yang masih memakai seragam. Ia lupa berganti pakaian.
Selesai berganti pakaian Sora segera sibuk di dapur. Memasak sup ayam butuh waktu yang lumayan. Tapi Papa sangat suka memakan sup saat sakit alih-alih bubur.
Begitu sup ayam jadi Sora meletakkan di tiga mangkuk sedang dan membawanya ke kamar Papa dengan nampan.
"Kita makan siang dulu. Pa, kita makan yuk! Setelah makan Papa bisa tidur lagi. Asal perut Papa nggak kosong."
"Maaf Papa jadi ngerepotin kalian," ucap Papa parau.
Sora membantu menyusun bantal untuk Papa bersandar. "Nggak ada yang repot, Pa."
"Aku sedih Papa bilang gitu," balas Sera sambil memberengut.
Sora memberikan mangkuk pada Sera. "Papa mau disuapin?"
"Papa makan sendiri aja. Biar bisa makan bareng."
Sora memberikan mangkuk pada Papa dan terakhir ia mengambil mangkuk untuk dirinya sendiri.
Mereka makan siang yang sangat terlambat di kamar Papa. Papa kembali tidur setelah makan di temani Sera yang senantiasa mengompres Papa.
🍬🍬🍬
Sora: Milo pertandingannya gimana?
Sora: gue chat Rai nggak dibalas-balas nih.
Ingin sekali Sora menyaksikan Rai bertanding sebab ia seminggu ini selalu menyempatkan menonton Rai latihan. Ia melihat bagaimana Rai berusaha keras untuk pertandingan ini.
Namun, pada akhirnya ia tidak bisa menonton. Papa dan Sera prioritas utama baginya, tetapi bukan berarti ia tidak menyesal karena tidak menunjukkan supportnya pada Rai selama bertanding. Tapi ia akan sangat menyesal jika membiarkan papanya sakit.
Sudah banyak chat yang ia kirimkan Sora pada Rai dari petang sampai sekarang larut malam tapi tak kunjung dapat balasan. Jangankan balasan centang dua abu-abu itu belum berubah menjadi biru.
Milo: pertandingannya berjalan lancar.
Milo: Rai kalah, Ra.
Milo: mungkin dia butuh waktu sendiri.
Sora tersekat saat membaca balasan dari Milo. Di kepalanya sudah banyak pertanyaan, gimana keadaan Rai sekarang? Apa laki-laki itu baik-baik saja? Dan apakah temannya itu butuh sebuah pelukan?
Sora: tapi Rai nggak papa kan?
Sora: maksud gue nggak terluka secara fisik.
Sora: gue ngerti kok ini pasti berat buat Rai.
Sora: gagal setelah berusaha keras itu rasanya nggak enak.
Milo: dia nggak terluka.
Milo: tapi dia emang pasti down, Ra.
Milo: udah beberapa kali Rai gagal.
Milo: di pertandingan ini Rai bener-bener menaruh harapan besar.
Milo: dia berusaha sangat keras.
Milo: gue takut Rai nyalahin diri sendiri.
Milo: kebiasaan Rai yang satu itu sulit diubah, Ra.
Sora yang hanya menyaksikan kerja keras Rai aja merasa sakit akan berita kekalahan laki-laki itu. Bagaimana dengan Rai sendiri?
Tidak mudah berdamai dan menerima bahwa usaha kita tidak mendapatkan hasil seperti yang kita mau. Tidak mudah setelah berusaha keras malah dibayar dengan kegagalan. Tidak mudah membawa beban harap yang pada akhirnya beban itu menjadi kekecewaan yang begitu berat.
Sora: gue percaya Rai akan baik-baik saja.
Sora: gue percaya dia salah cowok terkuat yang pernah gue temui.
Milo: gue juga percaya Rai adalah sahabat yang paling kokoh yang gue punya.
Sora: dia akan baik-baik saja.
Sora: kita akan selalu di samping dia.
🍬🍬🍬
Setelah menjadi pengecut yang membolos usai kalah dalam pertarungan kini Rai kembali sekolah. Dia berangkat pagi-pagi sekali sebelum warga sekolah, kecuali Pak Akbar, satpam sekolah, yang datang.
Di kelas Rai langsung menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya yang bertumpu pada meja. Ia tidak ingin bertemu satu orang pun dan menjawab pertanyaan mereka yang menanyakan kegagalannya.
Ia sudah mengecewakan sekolah berkali-kali. Ia tidak menginginkan itu. Namun, sepertinya kerja kerasnya kurang. Seharusnya ia lebih giat lagi berlatih.
Rai menutup matanya membiarkan kepalanya yang ramai menyalahkan dirinya sendiri. Dari kemarin, di hari kekalahannya, kepalanya menjadi berisik.
Ia ingin berteriak dan mengalahkan suara-suara berisik itu tetapi yang ia lakukan malah terisak di bawah bantal.
Bel masuk berdering nyaring. Rai masih dalam posisinya. Ia baru menegakkan tubuhnya setelah mendengar salam dari guru yang datang.
Mata Rai menatap toples kaca berisi cookies di bangkunya. Ada sticky notes berwarna merah muda di atas tutupnya.
Makan yang banyak. Ini bukan eksperimen gue kok. Gue udah bisa buat ini sejak enam bulan lalu:))
Itulah isi dari sticky notes-nya.
Pandangan Rai beralih pada bangku nomor dua di bagian tengah di mana Sora berada. Perempuan itu juga sedang menatapnya sembari tersenyum tipis.
Hati Rai menghangat, tetapi ia tidak sanggup membalas senyum itu.
🍬🍬🍬
Di istirahat pertama Rai pergi ke taman belakang. Untuk menyendiri lagi. Walau di sana sudah anak kucing yang mengeong menyambutnya.
Rai membuka bungkus sosis yang dibawanya lalu memegangnya ke arah mulut Rachel. Ia sangat yakin anak kucing di depannya ini anak kucing yang dulu dikasih nama Rachel oleh Sora. Bulunya yang dominan hitam itulah salah satu cirinya.
"Makan, Chel," suruh Rai.
Awalnya anak kucing itu hanya menjilat-jilat sosisnya, tetapi beberapa saat kemungkinan langsung menggigitnya kecil-kecil.
Suara sepatu yang berderap dengan tanah mengalihkan perhatian Rai dari Rachel. Sora bersama ransel birunya menghampirinya.
Di dekapan cewek itu ada 3 buah dorayaki dan serenteng permen Milkita. Sora duduk di samping Rai tanpa meminta izin.
"Setelah Rachel kenyang gantian lo yang makan." Sora menaruh dorayaki dan permen Milkita yang ia bawa di pangkuan Rai.
"Gue udah makan cookies lo," balas Rai.
Sora mengedikkan bahunya. "Biar tambah kenyang."
Begitu Rachel menghabiskan sosisnya Sora langsung mengangkat kucing kecil itu ke pangkuannya. Ia elus-elus bulu Rachel.
Rai membuka bungkus dorayaki, lalu ia berikan pada Sora. "Kita sama-sama makan."
"Baiklah." Sora menerimanya. "Gue nggak sempat buat bekal tadi."
"Bokap lo gimana? Udah sembuh?" tanya Rai. Ia mendengar ayah Sora sakit dari Milo. Sahabatnya itu memberitahukan alasan Sora tidak ikut menonton pertandingannya kemarin.
Entah, Rai harus merasa lega karena Sora tidak sempat menontonnya atau tidak. Karena jika Sora menonton pasti cewek itu akan melihat kepayahannya.
Selama ini Sora menyempatkan menontonnya latihan tanpa ia minta. Menemaninya. Sora menyaksikan bagaimana kerasnya ia usaha meskipun pada akhirnya usaha itu sama sekali tidak cukup untuk meraih kemenangan.
"Udah. Sekarang masih istirahat di rumah besok baru kerja lagi."
Sora meraih satu tangan Rai dan menggenggamnya erat. Ia tahu alasan Rai menghindari orang-orang. Ia tahu betapa jauh Rai tenggelam dalam keterpurukan karena kekalahan yang harus ia terima lagi.
Tidak ada kata penghibur yang akan membuat perasaan Rai membaik. Tidak ada pujian yang bisa menjujung tinggi Rai tanpa menggores hati Rai.
Hanya berada di samping Rai yang bisa Sora lakukan. Mengatakan tidak langsung bahwa ia akan selalu ada untuk cowok itu.
Sora berdehem pelan. "Rai, lo tahu? Bahu gue ini kuat banget loh!"
Kening Rai berkerut. Terus kenapa kalau bahu Sora kuat?
"Sekali lo bersandar di sini nggak bikin gue capek kok." Sora menepuk bahunya.
Rai terkekeh. Ia mengerti sekarang. Di bahu Sora, Rai menyandarkan kepalanya. Kepalanya yang berat karena terlalu berisik dari kemarin.
Rai senang Sora tidak menghiburnya atau menanyakan soal pertandingannya.
[ ]