Sabda
Hidup jadi tidak asik semenjak aku harus merajut jarak dengan orang yang paling ingin kujadikan alasan untuk selalu bertahan di era gempuran kerasnya dunia. Aku sudah mendengar banyak sekali mereka yang mengomentari penampilanku akhir-akhir ini.
Tiga kata untuk mendeskripsikanku: jutek, dingin, hening. Energiku seolah terkuras habis karena aku berpikir untuk apa aku bersemangat kalau energiku saja kugantungkan pada seseorang yang tidak ingin aku mengusik kehidupannya.
Bian meletakkan piring berisi pisang goreng penuh di meja ruang tengah. Tidak lupa dia menyertakan sambal untuk mencocol. Pisang kepok matang, digoreng tanpa tepung. Sambal dari cabai, terasi, garam, gula merah, dan sedikit jeruk limau. Rasanya unik, aku yang awalnya mengomel karena perpaduan aneh ini mulai cocok dengan cita rasa hidangan terkenal di daerah Banjar.
"Pisang dari mana?" tanyaku ikut nimbrung makan.
"Cewekku, Mbahnya panen." jawab Bian. "Masih ada mentahnya di dapur belum aku olah."
Aku kembali fokus menonton pertandingan voli lewat live streaming. Ya, aku sedang menonton timku. Menyaksikan teman-teman yang melewati segala suka duka dan cobaan bermain di laga tanpa aku. Posisiku di tim adalah outside hitter.
Namaku cukup terkenal terutama di kalangan pencinta bola voli. Melihat mereka seperti ini sebenarnya cukup membuat hatiku terasa hampa. Aku tidak ada, timku tetap berjalan. Roda kehidupan berputar. Sesuatu yang tadinya begitu penting dan menjadi pondasi kehidupan sekalipun pasti akan tergantikan.
Bian melepas salah satu earbud-ku, rupanya dia mengajakku bicara dari tadi, namun aku tidak dengar karena fokus menonton.
"Kenapa?" tanyaku sedikit nada tinggi karena aku kaget dia tiba-tiba melepas earbud-ku.
"Mau aku carikan cewek?"
Aku berdecak, bersiap memasang kembali earbud ke telinga, "Ah, males. Gak minat." jawabku yang sudah tidak bergairah untuk jatuh cinta. Rasanya cintaku sudah habis di Aya kemarin dan tidak punya alasan untuk mencintai orang lain lagi.
"Aku belum selesai bicara. Dengarkan aku dulu lah." Bian kembali ingin mencabut earbud-ku namun aku yang kali ini bisa dengar karena fokusku terpecah memilih melepasnya sendiri. Kedua alisku terangkat, terlalu malas membicarakan sesuatu yang malas kulakukan.
"Aku baru baca buku soal dikotomi kendali," ujar Bian pelan, menyesap sedikit es sirup abc rasa jeruk sebelum melanjutkan. "Katanya, dalam hidup ini cuma ada dua hal: yang bisa kita kendaliin… dan yang enggak."
Aku menoleh ragu. Meskipun Bian banyak bercandanya, tapi kalau sedang bicara serius, dia patut didengarkan.
"Perasaan orang lain, pilihan mereka, masa lalu, itu semua di luar kendali kita," lanjut Bian. "Tapi cara kita merespons, gimana kita mikir, gimana kita ambil keputusan, itu sepenuhnya punya kita."
Aku mencoba meresapinya.
"Kalau kau ngerasa sedih atau bingung karena perasaan kau enggak dibales, atau dibalesnya telat, atau caranya enggak sesuai ekspektasi kau… itu wajar," ucap Bian, pandangannya lurus. "Tapi jangan sampai kau nyiksa diri buat hal yang enggak bisa kau atur." sudah, Bian hanya bicara sampai di situ seolah membiarkanku mengaitkan sendiri apa yang dia sampaikan dengan yang sedang aku alami.
Mataku kembali menatap lekat pada layar ponsel yang masih menayangkan pertandingan. Tapi aku tidak benar-benar menonton. Pandanganku tembus. Aku tidak fokus.
Satu bulan berlalu. Hari demi hari aku lalui dengan super nggak asik. Aku kangen Aya. Sangat. Satu hal yang membuatku dekat dengannya sekarang cuman toples bekas cookies. Aku sudah membaca tulisan tangan Aya berkali-kali sampai suratnya jadi lecek.
Aku juga sudah beberapa kali membaca history chat kami di WhatsApp. Jika direct message Instagram adalah sebuah ruangan, pasti kini sudah penuh sarang laba-laba. Tanganku sudah tidak bisa otomatis lagi mengirim reels random ke direct message Instagram Aya.
Kembali asing. Kami pernah seasing ini sebelum kenal, tapi kenapa untuk kembali asing lagi terasa begitu sulit. Bagiku. Aya pasti sudah melupakanku karena sudah hidup bahagia dengan laki-laki yang dia suka. Jujur saja, aku sampai mencari-cari di mana lebihnya Setha sampai Aya lebih memilih laki-laki perebut cewek orang. Sampai Aya mau menerima cinta laki-laki yang baru saja putus. Menurutku dia tidak lebih baik dariku.
Sudah kesekian kalinya aku ke pantai. Berharap melihat Aya di tebing. Namun aku terlalu bodoh karena Aya kini sudah bahagia, dia tidak mungkin ke Paralayang sendiri lagi. Kalaupun iya, dia pasti mengajak Setha bodoh itu. Meksipun tahu dia tidak akan sendiri lagi, kakiku berkali-kali menuntunku ke pantai ini lagi di hari biasa sepulang kuliah. Aku ingin melihatnya lagi meski dari jarak paling jauh. Doaku selalu dekat, agar Aya selalu bahagia dan selalu ingin hidup.
Dulu saat belum asing, aku sering bertanya alasan Aya masih ingin hidup. Dia menjawab, masih banyak warung sate klatak yang belum dia coba. Masih banyak buku bagus yang belum dibaca. Masih banyak stray cat yang harus dielus karena mereka tidak memiliki tempat berlindung.
“Masih banyak warung sate klatak yang belum aku coba. Masih banyak buku bagus yang belum aku baca. Masih banyak stray cat yang harus dielus karena mereka nggak punya tempat pulang.”
Aku selalu mengingat jawabannya seperti doa kecil yang manis. Jawaban yang membuat aku ingin tetap tinggal lebih lama di dunia yang penuh luka ini karena dia mengajarkanku bahwa hidup bukan soal megahnya mimpi, tapi hal-hal remeh yang tetap membuat bersedia bangun pagi.
Sambil minum ultramilk full cream, aku merasakan pandanganku mulai kabur. Aku mencoba mengerjap, mataku menangkap siluet yang begitu kukenal. Itu Aya. Aku langsung menegakkan punggung.
Akhirnya setelah satu bulan menunggu, Aya muncul. Sendirian. Kemana si brengsek itu? Kenapa tidak menemani Aya padahal harusnya dia tahu jalanan Paralayang sangat mengerikan.
Kenapa sih ngomong 'aku suka kamu' aja susah banget.
Terngiang kembali omongan Bian maupun Karel.
Aku berdiri, menepuk celana jeans-ku yang penuh pasir, lalu memekik sekuat tenaga, "AYAAAAAAA!" pekikku panjang sekali. Suara itu memecah senja. Beberapa kepala di kejauhan menoleh. Mungkin mengira aku gila. Biar saja. Apa peduliku?
Kemudian aku menarik napas dalam-dalam. Sangat dalam. Sekali ini saja, biarkan semua beban terlempar ke langit.
"AKU SUKA KAMU! MAAF AKU LANCANG. TAPI AKU SUKA KAMU! AKU KANGEN!" Tidak kuhiraukan pendatang pantai lain yang sedang berburu sunset yang sudah pasti tercengang mendengar aku berteriak bak toa. Kata-kata itu meluncur seperti anak panah yang selama ini kutahan dalam busur yang nyaris patah.
Aku yakin Aya tidak akan dengar. Jarak kami terlalu jauh. Buktinya dia bahkan tidak bergeming di atas sana. Setidaknya, aku sudah sedikit lega. Napasku langsung terputus-putus seolah habis berlari maraton 5 km, padahal hanya berteriak mengungkapkan perasaan sukaku padanya.
Sudah, sepertinya aku akan mengakhiri masa tungguku. Biarlah takdir yang nantinya akan menggerakkan hatiku maupun hatinya akan ke mana. Aku tidak akan mencampuri lagi takdir dan berharap di luar kendaliku. Teringat kata psikologku.
“Kamu cerita tadi pagi sempat nggak mau bangun dari kasur, ya?” begitu tanya psikologku yang berumur namun masih terlihat cantik, Bu Lidia. Aku cocok dengan cara beliau menanganiku yang masih labil ini.
“Kayak… ngapain, gitu. Bangun buat apa? Nggak ada yang nungguin. Nggak ada yang bikin semangat.” jawabku dengan rahang mengeras.
Psikologku mengangguk pelan lalu bicara lagi dengan lembut, “Itu wajar, Sabda. Ketika seseorang yang penting pergi dari hidup kita entah karena perpisahan atau kematian, biasanya yang pertama hancur bukan hati kita, tapi rutinitas kita.”
Aku hampir tidak pernah tidak sepakat dengan ucapan Bu Lidia.
“Kehilangan memang merobek banyak hal terutama kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulu terasa sepele, tapi ternyata bermakna. Nah, justru di fase seperti ini, tubuh dan pikiran kita perlu struktur baru."
Begitu aku bertanya apakah itu artinya aku harus mencari pengganti, aku pun mendapatkan jawaban berupa, “Bukan mengganti, tapi membantu kamu ‘hidup lagi’, Sabda. Misalnya, kamu dulu rutin jalan pagi bareng dia. Sekarang, kamu bisa coba jalan pagi sendiri. Rasanya pasti hampa awalnya, tapi lambat laun, tubuh kamu akan belajar bergerak lagi. Bangun pagi bukan karena seseorang, tapi karena dirimu sendiri layak bangun dan hidup.”
Sekarang aku mengerti, itulah yang sering dilupakan oran bahwa kehilangan merobek banyak hal kecil. Kebiasaan yang dulu kita anggap sepele ternyata menyimpan makna. Karena di situlah ia tinggal, pada hal-hal kecil yang berulang. Dalam rutinitas.
Dan ketika semua itu hancur, tubuh dan pikiran pun goyah. Seperti rumah tanpa dinding, kita bingung harus berdiri di mana. Maka di titik itulah, struktur baru diperlukan. Bukan untuk melupakan, tapi untuk bertahan.
Struktur baru bukan berarti menghapus jejak, tapi membangun pijakan. Hal sederhana seperti bangun di jam yang sama, olahraga ringan, menulis jurnal pagi, memasak sendiri, semuanya bisa jadi jembatan kecil untuk menata ulang hidup yang sempat porak-poranda. Karena saat kehilangan datang dan segala hal runtuh, yang bisa menyelamatkan kita bukan melupakan, tapi menemukan ulang. Menemukan ritme baru. Menemukan diri sendiri, dalam versi yang lebih berdamai.
Elaine
Dia pikir aku nggak dengar, ya?
Sebelum kamu bilang, aku juga tahu soal itu. Kamu sudah menunjukkan dengan semua effort-mu selama ini Sabda. Aku rasa, aku bukan yang terbaik buat kamu. Kamu terlalu baik untuk manusia serapuh dan sekacau aku. Maaf sudah membuat kecewa, maaf sudah mendorongmu sejauh ini sehingga kita harus menjadi asing.
Kamu hanya tidak lihat bahwa sekarang aku nangis. Jarak kita terlalu jauh, kamu nggak akan bisa lihat air mataku sekarang. Aku baru tahu dari Nikel jika selama ini diam-diam kamu melindungiku. Pantas saja waktu itu kamu mempertanyakan kemampuan mengemudiku. Ternyata selama ini kamu membuntutiku menuju dan meninggalkan tempat ini. Pantas saja aku tidak pernah merasa benar-benar sendiri.
Sekarang setiap melihat stray cat, aku langsung ingat padamu. Kantongmu tidak pernah kosong, pasti selalu ada makanan kucing di situ. Hatimu terlalu baik bahkan pada makhluk jalan yang dianggap orang memberi mereka makan sama halnya buang-buang uang. Kamu semakin membuatku yakin kalau berbagi itu nggak harus ke sesama manusia. Dan itu nggak salah.
Waktu itu aku sempat bertanya, "Kamu nggak pernah ditegur karena rajin kasih makan kucing jalan?"
Lalu jawabannya, "Sering. Tapi ya... Duit ya duit aku. Rejeki juga dari Allah. Rejeki kucing jalanan kan juga sudah Allah atur. Kalau aku tergerak buat ngasih ke mereka ya artinya Allah nitipin rejeki mereka lewat aku. Persetan lah orang mau komen apa. Aku nggak minta duit mereka juga." jawabnya lugas.
Jawaban yang seketika itu juga membuat hatiku hangat. Jika memang saat ini kita harus berpisah, aku akan mencoba menerima. Kudoakan, kamu selalu bahagia. Tidak sakit-sakit lagi. Menemukan orang baru yang bisa kamu kirimkan reels random lagi sekalipun ternyata aku kangen mendengar notifikasi berturut-turut dari kamu.
Keesokan harinya, saat aku masuk kuliah siang, tanpa sengaja aku melirik ke arah fakultasnya. Aku melihat Sabda di rooftop. Berdiri di pinggir. Kakiku langsung bergerak menuju ke sana. Perasaanku tidak enak. Kenapa pandangan Sabda kosong begitu.
Lift terlalu lama bergerak, alhasil aku jalan lewat tangga. Aku melewati lantai-lantai asing sehingga beberapa kali harus bilang permisi pada penghuninya. Hingga tibalah aku di puncak gedung berlantai delapan ini. Kupandangi punggung lebar Sabda dari kejauhan. Ia masih berdiri di pinggir dan sangat di ujung.
"Sabda..." tegurku hati-hati. Aku khawatir jika dia kaget dia akan langsung melompat.
Sabda sama sekali tidak menoleh, tapi aku tahu dia mendengarku barusan. Ada jeda napas panjang. Angin di rooftop ini berisik sekali, sampai aku harus menahan anak rambut yang menari-nari di wajahku. Langkahku pelan-pelan mendekat. Sepuluh langkah lagi. Lima.
"Aku cuma... pengin lihat pemandangan." katanya akhirnya.
Aku menelan ludah. Berusaha mengatur nada bicara agar tidak panik, tidak sok tahu, tidak terdengar seperti orang yang ingin menyelamatkan orang lain demi merasa lebih baik.
Aku berdiri di sampingnya sekarang. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuatnya tahu bahwa aku di sini. Bahwa dia tidak sendiri.
"Capek," gumamnya. "Kadang rasanya kayak... kalau semuanya berhenti aja gitu, mungkin lebih tenang."
Aku menarik napas perlahan. Lalu menatap langit bersamanya.
"Kalau kamu pergi, kamu enggak tahu, ada siapa aja yang akan kehilangan kamu. Dan aku bukan bicara soal 'dihilangkan karena mati', tapi... ya, kehilangan kamu sebagai kamu."
Ia menoleh. Matanya merah.
"Apa maksud kamu?"
"Maksudku... kamu itu ada di hidup banyak orang lebih dari yang kamu pikir. Kamu mungkin ngerasa sepi banget, tapi mungkin aja di tempat lain ada yang lagi nunggu kamu balas chat, atau ada yang lagi pengin cerita ke kamu soal kucing stray baru yang dia temuin," kataku pelan, seperti merangkai kata sambil belajar napas dari awal.
Sabda tidak menjawab, ia menunduk. Melihat civitas akademika berlalu lalang dari ketinggian. Jemarinya mencengkeram pembatas besi di depannya.
"Kamu pikir aku mau bunuh diri, ya?" pertanyaan Sabda membuatku tersentak. "Aku nggak mau bunuh diri. Benar kata kamu, masih banyak stray cat yang pengen aku elus karena mereka nggak punya tempat berlindung." dia mengulang kata-kataku persis sama. Rupanya dia pengingat yang baik.
Aku menghela napas lega.
"Aku dengar dari Nikel, kamu udah nggak sama..."
Sebelum Sabda menyebut namanya, aku langsung memotong ucapannya dengan jawaban 'iya'. Dari wajahnya aku dapat menangkap ekspresi pengharapan namun masih ada ruang untuk kecewa.
"Mumpung kita ketemu, aku cuman pengen bilang kalau aku dengar." Sengaja kugantungkan kalimatku agar Sabda menerka. Namun wajah lemasnya itu membuatku prihatin.
"Aku dengar teriakanmu tempo hari."
Wajah Sabda yang putih bersih itu kontan menjadi merah seperti kepiting rebus. Sabda pasti tidak menyangka aku dengar semua ucapannya. Mumpung bertemu, kurogoh ranselku untuk meraih buku milik Sabda yang selama ini kusimpan menunggu saat yang tepat untuk mengembalikan. Buku Keajaiban Toko Kelontong Namiya.
"Aku suka fotoku yang kamu jadikan bookmark di situ." sindirku, ingin tahu reaksinya.
"Oh, kamu mau? Boleh kok buat kamu."
"Can I have it?"
"Sure..."
Saat buku itu kuberikan padanya, wajah Sabda tampak terkejut. Dia benar-benar lupa di mana meninggalkan buku itu terakhir. Ekspresi bahagia di wajahnya tidak dapat ia tutupi. Olehnya buku tersebut dibuka cepat mungkin mencari letak bookmark. "I like this book, but I like you even more." katanya sambil menyerahkan foto polaroid itu.
Tidak kusangka hari ini datang juga. Persis sama dengan apa yang aku prediksi. Namun aku telah berdiskusi panjang dengan Mas Ethan. Saat itulah aku tahu jika Sabda telah melalui sejumlah uji kelayakan tanpa sepengetahuanku. Mas Ethan begitu mendukung penuh Sabda. Namun, aku belum siap jika sekarang.
Lalu kukatakan pada Sabda, "I’m sorry, I’m not ready to open my heart yet. I still feel a bit messed up. I haven’t healed. I want to heal first—from past memories. Aku mau pulih dulu dari ingatan masa lalu, dari segala yang aku anggap kurang dari diri aku, before I open my heart again."
Mata kami bertemu. Sabda mendekatkan tubuhnya padaku. Kami sangat dekat. Aku bahkan dapat mendengar deru napasnya.
"Aku nggak minta kamu nunggu aku siap..."
Namun belum selesai aku bicara, Sabda langsung memotong dengan lantang dan sangat yakin, "I want to wait. I will wait for you until you’re ready. Until your heart is ready."
Senyumanku goyah. Rasanya ingin percaya sepenuhnya pada kalimat itu, tapi aku masih terlalu takut. Takut mengecewakan. Takut mengecewakan diriku sendiri… dan aku lebih takut lagi mengecewakan dia.
Tapi Sabda tetap menatapku dengan pandangan yang tidak kutemukan di wajah siapa pun selama ini. Pandangan sabar. Pandangan yakin. Pandangan yang seolah bilang, kapan pun kamu siap, aku akan tetap di sini.
Lalu dia menunduk sebentar, seolah menimbang sesuatu. Ketika dia kembali menatapku, nada suaranya berubah sedikit ringan, namun tetap serius.
“Kalau sampai umur kamu dua puluh tujuh dan kamu belum nikah juga… nikah sama aku aja, ya?”
Aku terkesiap. Separuhku ingin tertawa, karena terdengar seperti kalimat main-main yang sering muncul di film. Tapi separuhku yang lain tahu… Sabda tidak sedang bercanda.
Ia melanjutkan dengan suara lebih pelan, “Bukan karena kamu terpaksa. Tapi karena aku nggak pernah lihat orang lain seperti aku lihat kamu. Dan aku rasa... no one could ever take your place here.” Sabda menyentuh dadanya.
Sunyi di antara kami tidak lagi menakutkan. Aku hanya bisa menatapnya, menahan air mata yang nyaris tumpah.
Aku tidak menjawab hari itu. Tapi aku tahu, ada janji dalam senyap yang kami sepakati, tanpa paksaan, tanpa tergesa. Janji untuk tumbuh dulu. Sembuh dulu.
Dan kalau semesta berbaik hati, siapa tahu… kami akan tiba di titik itu. Di usia dua puluh tujuh. Atau mungkin, lebih cepat dari itu. Tentu dengan versi terbaik kami karena setelahnya kami berjanji untuk sama-sama 'sembuh' dulu karena sembuh bukan tugas orang lain, tapi tugas diri kita sendiri. Sembuh bukan untuk orang lain, sembuhlah sebagai wujud sayang diri sendiri.