Elaine
Aku dan Nikel sama-sama mendengar orkes dari perutnya. Dia lapar? Kebetulan ini juga sudah jam makan malam. Tubuhnya memberikan sinyal lebih awal daripada rencanaku. Aku memang sudah berencana menraktir Sabda, mungkin cari makan dari gerobak-gerobak yang biasanya mangkal di pinggir rumah sakit: nasi goreng, bubur ayam, bakmie jawa.
Namun langkahku terhenti saat lengan sweater-ku ditarik olehnya. Dia sempat hendak mengajukan pertanyaan lengkap sebelum akhirnya dia tiba-tiba ambruk tidak sadarkan diri. Bibirnya semakin pucat.
"Sabda!” aku panik. Tubuhnya jatuh menimpa lenganku sebelum terkulai ke lantai. Matanya terpejam. Nafasnya tetap ada, tapi dangkal. Bibirnya membiru, sangat pucat, seperti tidak mengandung darah. Kaget bukan kepalang, aku langsung berteriak memanggil dokter jaga. Suaraku menggema di lorong rumah sakit yang sunyi.
Sepasang perawat datang bergegas bersama seorang dokter paruh baya dengan jas putih yang sedikit kusut. Suaraku gemetar, dan tanganku ikut menggigil.
Nikel jadi ikut panik melihatnya. Dia sampai terduduk untuk melihat yang baru saja terjadi. Ada apa ini sebenarnya, kenapa semua orang pingsan. Kakiku benar-benar lemas, aku hampir tidak sanggup berdiri hingga berpegangan pada besi ranjang erat-erat.
Tubuh jangkung Sabda segera dibaringkan di ranjang persis sebelah Nikel. Dokter langsung memeriksanya, wajahnya tenang meski situasi di sekeliling kami terasa mencekam. Ekspresi dokter tidak menunjukkan kekhawatiran berlebih, dokter senior itu menyimpan kembali alat perangnya dengan sigap.
Beberapa menit kemudian, Sabda mengerjap. Matanya bergerak-gerak sebelum akhirnya terbuka penuh. Napas lega meluncur dari dadaku. Hampir saja aku sujud syukur di lantai rumah sakit ini.
"Halo, kamu sudah sadar. Alhamdulillah. Gimana? Apa yang dirasain?" tanya dokter itu saat Sabda mengerjap-ngerjap mengumpulkan nyawa yang sempat naik ke langit-langit rumah sakit. Dokter tersebut menyalakan senter kecil dan menyorot mata Sabda perlahan. Berbicara dengan mahasiswa seperti bicara dengan anak kecil, ramah sekali.
Dia berusaha duduk dan langsung kubantu dia untuk duduk. "Kamu sakit?" tanyaku padanya dijawab dengan gelengan.
"Saya nggak apa-apa kok, Dok. Cuman belum makan aja."
Dokter mengangguk membenarkan, katanya memang beliau tidak menemukan atau melihat tanda-tanda anomali pada tubuh Sabda. Katanya tidak tanda-tanda medis yang mengkhawatirkan. Tidak ada demam, tidak ada tensi yang aneh, tidak ada tanda-tanda dehidrasi parah.Tapi aku cukup tidak percaya, selemah itukah seorang Sabda sampai belum makan saja dia pingsan begini? Memangnya belum makan dari kapan? Dia kan mantan atlet, seharusnya punya ketahanan tubuh lebih baik.
"Nanti saya resepin vitamin sama obat lambung, ya." pungkas dokter senior yang nampak ramah karena sedari tadi murah senyum itu sebelum meninggalkan kami.
Aku pun izin untuk keluar mencari makan malam. Sabda berusaha menahanku. Tangannya menggenggam ujung sweaterku sekali lagi, kali ini lebih lemah dari sebelumnya. Terpaksa sedikit pakai nada tinggi pada Sabda yang berusaha menahanku. Bukan membentak sekeras itu, hanya berusaha meyakinkannya supaya istirahat dan diam saja di tempat. Aku hanya keluar cari makan, bukan berburu dan meramu, pasti akan cepat.
“Diam aja, istirahat. Kamu tadi baru pingsan,” ujarku tegas.
Awalnya dia bersikukuh hendak ikut bersamaku, menemaniku. Namun setelah kuberikan pemahaman dan ku'bentak', dia akhirnya tidak rewel lagi.
Saat aku kembali dari membeli nasi dari warung nasi uduk serta jus buah, kudapati bahwa hasil pemeriksaan Nikel telah keluar. Aku lega sekaligus bersusah hati setelah mendengar kalau ternyata Nikel terkena demam berdarah. Lega karena dia bukan terkena kanker otak yang sempat ia khawatirkan sebelumnya. Gara-gara Nikel bilang seperti itu, jauh dalam pikiranku, aku juga mengkhawatirkan hal yang sama.
Dengan demikian, melihat kondisi adikku ini yang sudah sampai mimisan, Nikel harus rawat inap di rumah sakit. Aku usap kepalanya sambil bilang tidak apa-apa. Biar cepat sehat hitung-hitung dia jadi bisa istirahat nggak sekolah atau basket dulu.
"Mbak sumpah aku takut." selain takut darah, Nikel takut jarum suntik. Dia terus mencengkram tanganku erat-erat saat tindakan mulai dilangsungkan. Tangannya basah dan dingin sekali.
"Cuman kayak digigit semut. Permisi ya. Rileks..." kata petugas yang menginfus. Aku mengusap-usap punggung tangan dan kepala Nikel bergantian sambil bilang nggak apa-apa. Saat jarum menusuk punggung tangannya, Nikel sempat memekik keras sebelum akhirnya mencoba menenangkan diri.
"Jangan kebanyakan bertingkah makanya." ucapku sambil tersenyum bangga karena Nikel tidak menangis seperti saat masih tk dulu dia waktu diinfus karena terkena muntaber.
Aku menawarkan pada Nikel untuk kusuapi sementara kupersilakan Sabda makan duluan. Sabda bilang dia tidak mau makan kalau tidak bersamaku. Aku bilang aku harus menyuap Nikel. Dia kekeh bilang akan menungguku selesai menyuapi Nikel.
Usai diperiksa sekali lagi oleh dokter, ruangan kamar tempat rawat inap Nikel jadi hening untuk tiga orang penghuni di dalamnya.
Kulirik ke arah Sabda yang sedari tadi menunggu sambil berdiri di bawah kaki Nikel. "Makan dulu."
"Kamu juga. Aku nggak mau makan sendiri." ujarnya lalu duduk pada sofa merah itu.
"Aku mau beliin Nikel sup di..."
"Aku mau makan ini aja, Mba Aya. Emoh sup. Lagian mulutku pahit, aku juga nggak tahu bakal doyan makan atau nggak. Daripada Mba Aya capek-capek." Nikel memotongku.
"Nggak apa-apa biar ada kuahnya, Kel."
Nikel menangkap tanganku, tangannya sudah tidak sedikingan saat akan diinfus lagi, masih terasa hangat. "Nggak usah Mbak Aya... Di sini aja jangan ke mana-mana." rengeknya. Sejak kapan Nikel jadi sebayi ini?
Aku beli jus yang beli dua gratis satu, sebuah kebetulan gratisannya jus jambu biji (guava). Sejauh yang kutahu, jambu biji bagus buat penderita DBD. Setahuku jambu biji bagus untuk meningkatkan trombosit. Kusisihkan yang jambu biji untuk Nikel sementara aku dan Sabda jus alpukat. Aku hanya mengira-ngira Sabda juga akan suka jus alpukat. Memangnya siapa yang tidak suka alpukat?
Kami bertiga pun mulai makan dengan khidmat. Aku masih penasaran, kenapa terlambat makan saja sampai pingsan.
"Kamu belum makan dari kapan?"
"Dari tadi pagi." Sabda menjawab sambil menghancurkan nasi yang mengepal setelah sempat berpikir agak lama. Apakah harus berpikir selama itu untuk menjawab pertanyaan sederhanaku. Dari caranya bicara sepertinya dia tidak mengatakan yang sebenarnya. Apa terjadi sesuatu padanya sampai dia skip makan beberapa hari? Aku sedikit merasa dia lebih kurus. Entah perasaanku saja atau memang demikian.
"Kamu ada GERD?"
Dia mengangguk tanpa suara. Wajahnya sedikit menegang. Ada jeda panjang yang menggantung di udara. Mungkin dia menyembunyikan sesuatu, tapi siapa aku untuk mendesaknya? Oh, ternyata bisa jadi karena itu juga. Sepertinya aku sudah terlalu berburuk sangka pada orang yang tidak begitu kukenal. Ada jeda. Aku tidak berani bertanya lebih jauh. Tapi dia tidak sedang baik-baik saja, aku yakin itu. Tubuhnya bicara lebih banyak daripada mulutnya.
"Aku nggak tahu seberapa kamu sibuk, tapi tubuhmu juga butuh kamu jaga, Sab. Jangan ngorbanin kesehatan Kalau kamu kenapa-kenapa… pasti orang-orang yang sayang sama kamu khawatir."
Aku berharap dia tidak menangkap nada ganjil dalam kata-kataku. Aku tidak bermaksud mengaku menyayanginya. Maksudku... mungkin... ya, siapa pun yang dekat dengan dia, keluarganya, temannya, orang yang menyukainya. Aku jadi sedikit overthinking khawatir dia salah paham.
Sabda menarik napas, lalu mengembuskannya pelan, seperti sedang menahan sesuatu yang terlalu lama dipendam.
"Maaf, aku... aku lagi nggak tahu harus gimana."
Suaranya nyaris hilang di antara suara kertas minyak yang kemeresek. Bukan karena malu, tapi lebih karena lelah menjelaskan apa yang bahkan ia sendiri belum mengerti.
Bahunya sedikit menurun, seperti menanggung beban yang nggak kelihatan. Matanya tidak menatap siapa pun. Seolah dunia di depannya terlalu terang, sementara yang ada di dalam dirinya masih gelap dan sesak. Seolah-olah dia lebih percaya kepada lantai rumah sakit yang kusam itu daripada kami yang ada di hadapannya. Ada kelelahan yang tidak bisa dipulihkan hanya dengan tidur.
Sunyi.
Hening yang muncul setelahnya terasa lebih berat dari tangisan. Aku tidak tahu dia kenapa, tapi aku tahu dia tidak sedang baik-baik saja. Entah kenapa aku jadi merasa setelahnya dia jadi salah tingkah.
Aku berkata pelan, "Jangan buru-buru makannya. Pelan-pelan aja, nanti perutmu kaget," kataku, setengah berbisik karena tiba-tiba saja dia seperti sengaja makan dengan cepat.
Sabda tidak menjawab. Tapi tangannya bergerak pelan mengambil jus kemudian menyeruputnya. Bukan sekadar mengambil tapi dengan satu lirikan singkat ke arahku. Lirikan yang terasa seperti ucapan terima kasih yang tidak tahu harus diwujudkan dalam bentuk apa.
"Makasih, udah bantu bawa Nikel. Maaf udah ganggu waktu kamu."
"It's okay." jawabnya dengan suara parau kemudian membuatnya harus berdeham. "Aku nggak merasa terganggu." lanjutnya kemudian.
"Makasih ya Mas Sabda. Maaf ngerepotin. Mas Sabda sampai pingsan juga."
Sabda tampak tersenyum tipis, sangat tipis. Itu lebih terlihat seperti senyum yang membutuhkan tenaga besar untuk muncul. Dari tadi memang bibirnya banyak mengatup dan bibirnya juga pecah-pecah seperti tanah kekeringan. Padahal sebelumnya yang kuingat dia selalu terlihat segar dan terawat.
"Aman." jawabnya singkat. Sesingkat itu. Aku dan Nikel saling berpandangan. Sepertinya kami sama-sama merasa, ada sesuatu yang berubah dari Sabda. Sesuatu yang tidak kami pahami.
Hening kembali menyergap kami.
"Aya... Nikel..." Sabda menyebut nama kami bergantian. Aku dan Nikel sempat saling melempar pandang.
Dengan hati-hati kami menyahut, "Ya? Kenapa?"
Sabda menggaruk hidungnya dengan punggung tangan, "Terima kasih ya, aku jadi ngerasa berguna."
Aku menatap Sabda. Lama. Tidak tahu kenapa, rasanya seperti melihat seseorang yang sedang berusaha keras untuk tetap ada. Tetap bernapas. Tetap terlihat biasa-biasa saja. Seperti melihat diriku sendiri.
Padahal aku tahu, orang-orang yang paling sering bilang 'aman' justru seringkali sedang tidak baik-baik saja. Mereka terlalu banyak memendam agar tidak mengusik pikiran orang lain, sementara pikiran sendiri dibiarkan penuh sesak oleh rasa bersalah.
Aku menghela napas pelan. Lalu bilang padanya, “Kadang kita ngerasa harus melakukan hal besar buat bisa dibilang berguna. Tapi ternyata, hadir aja buat orang lain... itu udah lebih dari cukup.”
Sabda tidak menjawab. Tapi aku bisa lihat matanya sedikit memerah. Mungkin capek. Mungkin juga, akhirnya ada kata yang berhasil menembus benteng dalam dirinya.
Sabda menatap langit-langit ruangan. Lalu berkata pelan, seperti bicara ke dirinya sendiri, “Aku takut nggak ada yang butuh aku lagi.”
Hatiku mencelos. Ada bagian dari kalimat itu yang membuatku ikut merasa kosong.