Loading...
Logo TinLit
Read Story - Batas Sunyi
MENU
About Us  

Elaine

Malam itu, kami makan malam bertiga di meja makan sederhana di ruang keluarga rumah yang terasa hening. Cumi pedas manis buatan Mbok Dijah tersaji hangat di tengah meja, aroma bumbu yang menggoda menusuk hidung, tapi di antara kami, seolah ada dinding tebal yang membatasi percakapan. Aku, Mama, dan Nikel duduk bersebelahan. Sunyi yang hadir bukan karena kami tak ingin bicara, tapi karena setiap kata terasa berat.

Mama makan dengan perlahan, matanya tak lepas dari piringnya. Aku melihatnya dari sudut mata, ada garis lelah di wajah yang dulu kuanggap kuat. Nikel, adikku yang biasanya riang, kali ini hanya sibuk memainkan sendok dan garpu, mengaduk-aduk nasi tanpa benar-benar makan. Aku tahu, kami bertiga sama-sama memendam perasaan yang sulit diungkapkan.

Rumah ini, mengingatkan Mama pada sosok laki-laki itu. Dan aku, mengingatkan Mama juga pada sosok laki-laki itu karena orang bilang kami mirip.

Menatapku saja Mama hampir tidak sanggup.

"Mama mau menginap hari ini?" Nikel bertanya setelah menusuk cuminya dengan garpu. Terlalu sunyi memang sampai suara garpu beradu dengan piring terdengar nyaring.

Mama menggeleng, tanpa menjawab banyak, “Maaf, Sayang.”

Hening lagi. Aku memandang Mama. Sudah lama dia memilih pergi dari rumah ini, meninggalkan kami dengan luka yang tak kunjung sembuh. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang, malah menjadi sumber rasa sakit. Sosok laki-laki yang dulu pernah jadi bagian hidup kami telah merenggut banyak hal, termasuk kehangatan di rumah ini.

Orang-orang bilang aku mirip Papa, dan aku tahu, melihatku mungkin membuat Mama mengingat semuanya, bahkan hal-hal yang ingin dia lupakan. Aku bisa melihatnya dari tatapannya yang seringkali menghindar. Seolah menatapku adalah menghadapi bayang-bayang masa lalu yang terlalu pahit.

Keesokan paginya aku bangun kesiangan karena pasca Mama pergi lagi, aku sulit tidur.

Kulangkahkan kaki ke kamar Nikel. Kuketuk pintunya perlahan.

“Kel...?” suaraku pelan.

“Mas Nikel tadi keluar jogging, Non,” jawab Mbok Dijah yang kebetulan lewat di dekat pintu.

"Oh, terima kasih ya, Mbok."

"Pagi ini Non mau saya masakin atau..."

"Aku coba nitip makan Nikel aja, Mbok." Kemudian Mbok Dijah pamit melanjutkan aktivitas bersih-bersih rumah.

Kuhubungi Nikel, belum ada tiga detik langsung diangkat.

"Halo Mbak..." aku bisa dengar suara napas Nikel yang tidak biasa. Dia masih lari saat menerima panggilan dariku.

"Kamu sampai mana jogging-nya?" 

"Ini hampir sampai ke bubur ayam. Rencananya mau mampir sarapan. Mba Aya mau nitip?"

"Iya, satu ya, Kel. Ada uang, kan?"

"Aman, Mbak. Baru aja di transfer Papa."

Deg.

Jantungku rasanya seperti lepas waktu Nikel menyebut kata yang sudah lama tidak kusebutkan.

"Kamu hati-hati pulangnya nanti ya." pesanku pada Nikel sebelum aku mengakhiri panggilan.

Kupandangi foto keluarga yang jauh dari kata cemara. Kak Ethan, aku tiba-tiba kangen. Oh iya, aku yang menempel stiker di wajah 'orang itu'.

Seminggu kemudian, sepulang kuliah aku mendapati Nikel duduk tertidur di ruang keluarga. Tubuhnya menggigil.

"Nikel." kusentuh bahunya hingga ia terbangun, kelihatan lemas sekali. "Kamu pucet banget loh, dek." Kuraih dahinya. Panas tinggi sampai aku kaget, seperti memegang ceret yang baru saja turun dari kompor.

"Rasanya panas banget, Mbak." ia melenguh tidak berdaya. Iya, soalnya kamu panas tinggi.

Aku semakin lemas waktu mendapati Nikel mimisan. Nikel takut darah, begitu dia tahu ada darah segar keluar dari hidungnya, dia langsung tidak sadarkan diri.

Saat ini drumah hanya kami berdua, bisa kalian bayangkan betapa paniknya aku. Betapa takutnya aku melihat Nikel tidak sadarkan diri dengan hidung berdarah.

Aku bingung harus minta tolong pada siapa sampai wajah Sabda tiba-tiba saja muncul. Dan aku langsung teringat perkataannya, 'if you need someone to talk, you know how to find me'. 

Tanpa pikir panjang, aku langsung menghubunginya. Aku takut keputusanku untuk meminta bantuan padanya adalah sebuah kesalahan.

Tidak lama kemudian kudengar suara klakson mobil dan langsung membukakan pintu.

Dia sampai ke rumah dengan wajah tidak sebersinar biasanya. Ya, Sabda tampak pucat. Dia juga banyak diam. 

Setelah kuingat-ingat, sudah cukup lama aku tidak melihatnya di sekitar kampus. Meskipun eksistensinya menyebalkan, saat dia tidak ada rasanya cukup aneh. 

Aku duduk di samping kemudi. Selain mengawasi Nikel yang ditidurkan di baris kedua, aku juga mengawasi orang di balik kemudi. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia terlihat tidak senang. 

Sepanjang perjalanan dia tidak mengatakan sepatah katapun. Cuman saat di rumah tadi dia bertanya "Kenapa bisa mimisan? Dia habis ngapain?" setelah itu dia membisu.

Bukan seperti Sabda yang aku kenal. Dia benar-benar jadi seperti orang lain. Dia juga terlihat pucat dan dia yang biasanya bersinar jadi gelap.

Sepertinya dia jadi terpaksa menolongku. Menolong orang yang sering bersikap tidak ramah padanya. Aku jadi merasa tidak enak padanya.

Harusnya aku pikirkan itu dari awal sebelum menghubunginya. Tapi aku terpaksa lakuin ini, demi Nikel.

Maafkan aku, Sabda.

Sesampainya di rumah sakit, aku membantu membopong Nikel masuk ke IGD. Dia sudah sadar, tapi masih sangat lemah dan ketakutan.


Sabda

Rasanya seperti semua orang sedang menghakimiku. Aku takut keluar rumah. Ini sudah hari keenam aku mengurung diri di kamar semenjak hari itu. Hari saat ada yang mengaku penggemar dan mendoakan kebaikan bagiku.

Sudah seminggu juga aku nggak masuk kuliah. Aku benar-benar takut bertemu orang banyak. Kemarin aku menyempatkan diri mengunjungi Bu Lidia, psikolog yang menanganiku selama ini. Aku menceritakan asal muasal aku kumat lagi merasa unworthy. Jawaban Bu Lidia membuat air mataku nggak terbendung. 

"Sabda, terima kasih ya, sudah berani cerita. Aku tahu, pasti nggak mudah menyampaikan semua ini. Apalagi kalau kamu merasa sedang di titik paling rentan. Perasaan unworthy itu... bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Kadang, ia datang dari luka yang belum selesai kamu rawat. Luka yang mungkin kamu anggap tanggung sendiri sejak kamu harus mundur dari sesuatu yang kamu cintai—voli. Sabda, boleh aku tanya satu hal? Ketika si penggemar itu datang dengan tulus dan mendoakanmu, bagian mana dari dirimu yang merasa bersalah?"

Seperti biasa Bu Lidia membiarkan Sabda memproses semuanya. Namun, tidak ada satu kata pun keluar dari mulutku. Aku tercekat. Sakit sekali rasanya. Pandanganku pun masih kabur karena air mata.

"Kalau aku boleh tebak... mungkin karena kamu merasa tidak lagi pantas menerima dukungan. Padahal, dia datang bukan karena kamu juara, tapi karena kamu Sabda. Manusia yang pernah menginspirasi. Manusia yang tetap layak dikasihi, dihargai, bahkan saat kamu sedang tidak ada di lapangan. Sabda, aku tahu kamu takut. Tapi mengurung diri selama enam hari bukan solusi. Itu cara tubuhmu bilang, “Aku lelah.” Tapi isolasi berkepanjangan justru bisa bikin luka makin dalam. Kamu boleh istirahat, tapi jangan hilang. Dunia luar mungkin terasa berat, tapi kamu nggak sendiri kok."

"Karena aku ngerasa nggak layak. Dia lihat aku sebagai sosok yang kuat... padahal aku bahkan nggak bisa keluar kamar. Dia masih mendoakan aku, Bu. Sementara aku sendiri bahkan udah nggak yakin aku pantas didoakan." jawabku kemarin.

"Kamu cuman sedang istirahat, Sabda. Itu bukan kelemahan. Bolehkah hari ini... kamu mulai dari hal kecil? Nggak usah keluar rumah dulu. Cukup buka tirai jendela kamar kamumu. Biar cahaya masuk. Biar kamu bisa lihat... bahwa dunia di luar belum selesai menerima kamu."

Bu Lidia berhenti di situ, memberi ruang. Tidak memaksa. Tapi cukup untuk menyodorkan harapan.

Hari ini juga aku membuka tirai, jendelaku langsung menghadap halaman rumah kontrakan yang ditanami banyak tanaman hijau. Termasuk pohon cabe yang biasa kami petik untuk tambahan telur daar.

Aku melarang Bian maupun Karel menghubungi keluargaku karena aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Aku lebih suka menghubungi keluargaku saat aku dalam keadaan terbaikku, bukan terburukku. Selama aku sakit tempo hari, aku sudah cukup merasa jadi beban buat kedua orangtuaku sekalipun mereka bilang tidak pernah menganggapku beban.

Kudengar barusan ada yang mengetuk pintu kamar. "Sab, lo beneran nggak mau keluar? Gue bawa pulang mie godog kesukaan lo nih. Kita makan bareng ayo." suara Karel terdengar ceria tapi penuh harap.

Ayo, Sabda, bangkit. Boleh nangis, boleh ngegoblok-goblokin diri, boleh menghilang, tapi jangan lama-lama. Aku menghela napas, mengumpulkan keberanian, dan perlahan melangkah membuka pintu.

Kugerakkan kakiku menuju pintu, aku harus keluar dari kamarku. Dengan langkah gontai, aku berhasil sampai pintu dan membukanya.

"Alhamdulillah." Karel menghela napas lega melihatku sambil mengelus dada. "Ayo, keburu dingin." ajaknya ramah. Dia tidak seramah ini saat aku baik-baik saja.

Sampai kudengar handphone-ku berdering. Namanya muncul di layar. Apakah aku sedang bermimpi?

"Halo." kataku membuka percakapan.

"Sab, aku butuh bantuan. Bantuin Nikel." suara Aya terdengar gemetaran.

"Kamu di mana, Aya?

Dia bilang Nikel pingsan, sebelummya sempat mimisan. 

Bian menyusulku, "Loh, malah mau kemana, bro?" tanyanya penuh selidik melihatku memakai jaket dan mengambil kunci mobil HRV di meja ruang tengah. 

Aku tidak sempat menjawabnya karena aku juga ikut panik. Apa yang terjadi pada Nikel? Aya pasti lebih panik lagi. Aduh, kenapa pandanganku malah kabur.

Kulajukan mobilku menuju rumah mereka sambil memijati pelipis. Aku langsung disambut Aya yang wajahnya basah dan air mata terus mengucur dari kedua matanya. Dia terlihat sangat gelisah.

Kami tidak banyak berinteraksi, aku langsung membopong Nikel masuk ke mobil. Aku akan mengantarkannya ke rumah sakit terdekat supaya segera dapat penanganan.

Aku tahu ini terlalu hening, bahkan tidak ada sound apapun yang kuhidupkan di mobil. Maaf ya, Aya. Aku sedang tidak mampu untuk banyak bicara saat ini. Kamu pasti merasa aneh. Aku tahu dari tadi kamu melirik ke arahku.

Setibanya di rumah sakit, aku dan Aya membantu Nikel melangkah. Dia sudah sadarkan diri semenit yang lalu dan mengaku takut lihat darah makanya pingsan.

Aku menemani Aya membawa Nikel ke masuk IGD. Sementara Aya mengurus pendaftaran, aku yang menemani Nikel. Kusuruh Nikel rebahan sembari menunggu dokter jaga memeriksanya.

"Kita cek darah ya." ujar dokter yang sudah punya indikasi. Akhirnya kami menunggu hasil lab keluar.

Aya telah kembali. Ia tampak begitu khawatir hingga menggenggam tangan Nikel yang hampir dua kali lipat besar tangannya itu dengan erat.

"Kalau aku kena kanker gimana dong, Mbak. Aku takut..." ucap Nikel dengan suara bergetar.

"Ish, jangan ngomong gitu. Paling cuman karena kamu kecapekan. Hari ini tadi kamu eskul basket, kan? Pasti cuman gara-gara itu, dek. Jangan mikir yang aneh-aneh ah." ucapnya sambil menitikkan air mata.

Pemandangan ini, terasa hangat. Aya sangat sayang pada adiknya. Ah, jadi kangen adikku sendiri.  

Aku tahu, kami semua sedang terluka. Tapi di tengah luka itu, aku merasa sedikit lebih hidup karena akhirnya aku merasa dibutuhkan. Mungkin ini bukan tentang jadi pahlawan. Mungkin ini tentang jadi manusia, yang tetap tinggal meski dunia terasa gelap.

Sial, barusan perutku bunyi. Aku pura-pura batuk meski terlambat. Aya dan Nikel kontan menatapku dengan sorot mata iba. 

Aya bangkit dari tempat duduknya lewat di hadapanku. Karena aku tahu dia beraksi setelah mendengar orkes dari perutku, langsung kutangkap lengan sweater-nya.

"Mau ke man..." tiba-tiba pandanganku buram. Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Yang ( Tak ) Di Impikan
563      422     4     
Short Story
Bagaimana rasanya jika hal yang kita tidak suka harus dijalani dengan terpaksa ? Apalagi itu adalah permintaan orangtua, sama seperti yang dilakukan oleh Allysia. Aku melihat Mama dengan maksud “ Ini apa ma, pa ?” tapi papa langsung berkata “ Cepat naik, namamu dipanggil, nanti papa akan jelaskan.” ...
MANGKU BUMI
149      139     2     
Horror
Setelah kehilangan Ibu nya, Aruna dan Gayatri pergi menemui ayahnya di kampung halaman. Namun sayangnya, sang ayah bersikap tidak baik saat mereka datang ke kampung halamannya. Aruna dan adiknya juga mengalami kejadian-kejadian horor dan sampai Aruna tahu kenapa ayahnya bersikap begitu kasar padanya. Ada sebuah rahasia di keluarga besar ayahnya. Rahasia yang membawa Aruna sebagai korban...
REMEMBER
4595      1373     3     
Inspirational
Perjuangan seorang gadis SMA bernama Gita, demi mempertahankan sebuah organisasi kepemudaan bentukan kakaknya yang menghilang. Tempat tersebut dulunya sangat berjasa dalam membangun potensi-potensi para pemuda dan pernah membanggakan nama desa. Singkat cerita, seorang remaja lelaki bernama Ferdy, yang dulunya pernah menjadi anak didik tempat tersebut tengah pulang ke kampung halaman untuk cuti...
KAU, SUAMI TERSAYANG
664      458     3     
Short Story
Kaulah malaikat tertampan dan sangat memerhatikanku. Aku takut suatu saat nanti tidak melihatku berjuang menjadi perempuan yang sangat sempurna didunia yaitu, melahirkan seorang anak dari dunia ini. Akankah kamu ada disampingku wahai suamiku?
Di Bawah Langit Bumi
2173      852     86     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
My LIttle Hangga
783      509     3     
Short Story
Ini tentang Hangga, si pendek yang gak terlalu tampan dan berbeda dengan cowok SMA pada umunya. ini tentang Kencana, si jerapah yang berbadan bongsor dengan tinggi yang gak seperti cewek normal seusianya. namun, siapa sangka, mereka yang BEDA bisa terjerat dalam satu kisah cinta. penasaran?, baca!.
KESEMPATAN PERTAMA
534      370     4     
Short Story
Dan, hari ini berakhir dengan air mata. Namun, semua belum terlambat. Masih ada hari esok...
Sebuah Kisah Tentang Dirinya
1062      611     0     
Romance
Setiap orang pernah jatuh cinta dan mempunya ekspetasi tinggi akan kisah percintaannya. Namun, ini adalah kehidupan, tak selalu berjalan terus seperti yang di mau
Senja Belum Berlalu
4072      1440     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
Dessert
1037      544     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...