Sabda
Setelah seminggu aku banyak diam dan tidak berkomunikasi selain ngegoblok-goblokin diri sendiri, hari ini aku harus menjadi makhluk sosial lagi.
Senang tapi tidak senang, gimana ya mengekspresikannya. Senang karena Aya mengingatku saat dia butuh. Tidak senang karena aku sedang dalam kondisi busuk seperti ini. Pakai pingsan segala.
Tadi dia bilang apa? Semua orang yang sayang kamu pasti khawatir? Aku terenyuh. Aku tahu banyak yang sayang sama diri ini, tapi kalau diri sendiri nggak sesayang itu sama diri sendiri?
"Aku yang jaga Nikel nggak apa-apa pas kamu kuliah. Lagian aku udah seminggu gak masuk."
Kakak beradik itu saling melempar pandang. Aku tahu apa yang mereka berdua pikirkan.
"Aku kurang sehat aja sih." Mungkin memang aku dihadapkan dengan situasi ini supaya aku kembali menjadi Sabda yang 90% orang kenal: ceria dan periang. Padahal sebenarnya aku introvert tapi aku suka keramaian meski itu sering menghabiskan energiku. Orang-orang sering nggak percaya waktu aku bilang aku introvert saking aku ini terlalu talkative.
"Mungkin setelah 3 harian Nikel udah boleh balik kalau udah enakan. Jadi aku bisa stay di sini terus dan kamu bisa... balik. Kalau mau balik sekarang. Lagian ada Mbok Dijah juga. Aku nggak bermaksud ngusir tapi aku ngerasa udah ngerepotin kamu banget." Aya menghela napas panjang.
Aku bilang aku sama sekali nggak merasa direpotkan. Aku juga bilang kalau aku senang sudah jadi orang yang dia ingat saat situasi genting.
Kulirik jam di dinding, aku sampai lupa waktu. Suara bising dari luar perlahan berubah jadi senyap. Tidak ada suara sama sekali selain denting jam jika kami tidak mengobrol.
"Aku boleh stay di sini malam ini?" pintaku. Entah kenapa suasana di ruangan Nikel di rawat inap ini lebih terasa mendingan daripada kontrakanku.
Iya, sofa merahnya cuman satu. Sisanya kursi dia pasti mempertanyakan bagaimana kami tidur.
"Nanti aku tidur di kursi nggak masalah. Aku bisa tidur dengan berbagai macam gaya." kelakarku.
"Ya sudah," Aya tampak pasrah, "Kamu di sofa dulu aja, aku masih mau di sini," katanya yang sedari tadi memandangi wajah Nikel. Saat ini Nikel sudah terlelap dengan kompres di dahinya. "Aku masih harus mengganti kompres Nikel."
Aku mengeluarkan ponsel, layarku langsung menunjukkan notifikasi dari grup penghuni kontrakan yang diberi nama 'cogan soleh'. Bian yang memberi nama itu. Mereka menanyakan kemana pergiku, akhirnya kujawab aku sedang di Rumah Sakit Bunda Cahaya dan menceritakan sedikit kronologi.
Waktu bergulir, aku terbangun. Dasar, aku barusan ketiduran usai sholat isya. Sekarang jam di dinding menunjukkan pukul 1.37 tengah malam. Suasana makin sunyi karena kami semua tidur. Aya pun tidur dengan kepala menindih kedua lengannya yang di lipat di atas ranjang Nikel. Kasihan.
Aku langsung membentangkan jaketku melapisi sweater yang Aya kenakan. Dia agak menggeliat, tapi tidak bangun. Kalau aku gendong pindahin ke sofa dia pasti bangun. Begini dulu saja deh, dia sepertinya kecapekan banget.
Aduh, perutku agak sakit dan mulai bunyi. Aku cari warung madura atau indomaret deh, tiba-tiba pengin makan pop mie sama sosis kanzler yang isi keju.
Sepelan mungkin aku membuka kunci dan pintu lalu keluar membawa kunci mobil. Indomaret agak jauh aku tidak mungkin hanya jalan kaki. Kalau ketemu klitih atau orang mabuk bisa kacau.
Dingin banget, aku cuman pakai kaos karena jaketku buat nyelimutin Aya tadi. Jalanan benar-benar sepi. Aku tiba di Indomaret pun yang berjaga hanya satu mas-mas. Dia nggak takut hantu, ya? Keren...
Langsung saja aku menuju rak display pop mie. Aku ambil yang rasa baso, itu paling enak dari varian rasa lainnya. Aku juga langsung ke bagian sosis dan mengambil sosis isi keju. Nggak lupa juga aku ambil air mineral. Tiba-tiba aku lupa ini hari apa.
"Mas, sekarang hari apa sih?" tanyaku sembari menunggu belanjaanku ditotal dengan mesin.
"Hari ini udah Sabtu sih."
"Oh iya... beberapa jam yang lalu kan aku keluar kamar karena diajakin sholat Jumat sama anak-anak." gumamku, mungkin terlalu keras dan terdengar si mas-mas tapi beliau memilih tidak menggubrisku, untung saja. Untung mas-mas ini bukan tipikal orang yang sok akrab.
Setelah total belanjaanku disebutkan, "Sendirian aja nggak takut, Mas?" tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Soalnya aku penasaran, daripada cuman kubatin kan. Kadang saking lamanya aku relapse dan tidak bicara, energi bicaraku bisa menghasilkan reaksi-reaksi spontan begini. Masnya cuman nyengir sambil nunjukin al-quran kecil di dekat mesin kasir. "Saya punya Allah, Mas. InsyaAllah nggak takut apa-apa."
Aku cukup shock mendengar jawaban mas berwajah chinese itu, islam ternyata. Jawaban yang keren dan jantan. Aku pun segera menuju dispenser untuk membuat pop mie sembari nunggu sosisku dihangatkan. Duduk sendirian di kursi besi Indomaret sambil menghirup aroma bumbu pop mie bikin perutku semakin meronta-ronta. Sabar, belum lembek mie-nya, Sab. Maafkan aku lambung, baru minum obat buat lambung malah kumasukin pop mie.
Pop mie sudah lunak, sosis sudah hangat. Itadakimasu! Sembari makan, kupandangi susu ultramilk cokelat, ultramilk full cream, dan silverqueen chunky bar di meja. Aku sengaja tidak minta plastik, tadi semuanya kubawa dengan cara kupeluk saja karena lupa tidak bawa totebag belanja. Aku sedang berusaha untuk menjadi manusia yang sayang sama bumi. Pasalnya, yang aku tahu plastik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai, bahkan ratusan hingga ribuan tahun, tergantung jenisnya. Contohnya, kantong plastik bisa memakan waktu 10-20 tahun untuk terurai. Meskipun aku masih suka jajan sih, kemasannya memang jahat, tapi mau bagaimana lagi. Maafkan aku, bumi.
Selesai makan, aku masuk kembali membeli pena dan sticky notes. Kudapati mas itu sedang melayani seorang cewek membeli pembalut sambil berusaha ditutup-tutupi. Dia pakai outfit nyeblak seorang diri di jam segini, tadi aku lihat dia nggak pakai helm, pasti warlok. Ngapain malu deh orang itu wajar. Pembalut dijual kan memang buat dipakai, ngapain kalau beli selalu sembunyi-sembunyi. Ada juga yang kalau minta pembalut di sekolah sudah kayak transaksi barang haram, aku sering melihat teman-teman perempuanku begitu.
Aku kembali ke rumah sakit, sepelan mungkin kubuka pintu karena tidak mau membangunkan siapapun. Waktu pintu terbuka, Aya tidak ada di tempat duduknya. Jaketku sudah terlipat rapi di atas sofa. Aya ke mana deh? Tidak lama kemudian aku melihat Aya keluar dari toilet dengan beberapa bagian tubuhnya yang basah.
"Loh?" sama-sama kaget, tapi cuman aku yang bersuara. Aya menyeka wajahnya dengan tangan kanan kemudian meraih mukena travel yang ia bawa di ransel.
"Dari mana?" akhirnya Aya peduli dengan eksistensiku, "Aku kira kamu pulang."
"Indomaret," jawabku. "Kamu mau tahajud?" pertanyaanku mendapat anggukan. Aku mempersilakan. Rasanya pengin ikut sholat juga berdiri di depannya, jadi imam. Tapi sependek yang orang tidak soleh ini ketahui, tidak boleh sholat berjamaah satu laki-laki dan satu perempuan yang bukan muhrim. Kupandangi dia sholat hampir nggak kedip, sampai waktu dia salam barulah aku pura-pura sibuk open dan close Instagram.
Tangannya menengadah, diam-diam kulirik. Doanya cukup panjang ternyata.
"Maaf ya aku malah ketiduran di sofa semalam."
"Nggak apa-apa." ucapnya seraya melipat kecil mukena bunga-bunga warna pink miliknya. Mukena yang pernah kulihat di video TikTok kalau dia akan terbang tertiup angin bahkan sampai lepas.
"Kamu laper nggak? Aku tadi beli susu." kuserahkan susu ultramilk cokelat beserta silverqueen untuknya karena yang full cream milikku hehe. Ia menerimanya sambil berterimakasih lalu duduk di sebelahku di sofa merah.
"Tiba-tiba banget ngasih cokelat." katanya datar.
"Kan nggak harus ada sesuatu dulu buat ngasih sesuatu." kilahku.
Dia tampak setuju dengan perkataanku, "Ya, you're right. Makasih ya."
Aku berdiri dan pindah ke kursi, mempersilakannya tidur dengan lebih nyaman di sofa. Aku tarik kursi itu menempel di tembok agar aku bisa bersandar dengan proper. Kupejamkan mata, dingin.
"Pakai jaketmu." Aya menyodorkan jaketku yang sudah ia lipat rapi. Kami saling tatap. Aku menerima kembali jaketku dan segera mengenakannya. Sekilas aku bisa mencium wangi Aya menempel di jaketku entah di bagian mana.
Ternyata aku jadi susah tidur karena kenyang. Rasanya juga mataku jadi fresh banget ditambah wangi Aya ada di dekat hidungku. Saat buka mata, ternyata Aya juga tidak tidur. Dia tampak mengganti posisi berkali-kali sampai kulihat dia akhirnya duduk lalu meraih ponsel.
"Aya..."
Dia menoleh.
"Kamu dekat banget ya, sama Nikel?"
Aya menghela napas panjang, "Begitulah. Dia adik cowok terbaik apapun yang terjadi sampai aku nggak mau tuker dia sama siapapun. Meskipun anaknya tengil, tapi dia my best little brother ever." Aya menatap Nikel yang terlelap, dengan tatapan bangga.
Aku mengangguk, jadi kangen Tsana. "Aya..." panggilku sekali lagi. Jam segini ngobrol sebenarnya adalah jam paling enak karena segala sesuatu yang terucap hanya kejujuran. Tapi aku tidak enak, siapa tahu Aya mau tidur jadi terganggu.
"Makasih ya." ucapku akhirnya.
"Harusnya aku yang bilang makasih." katanya.
"Nggak, aku yang makasih. Soalnya... aku jadi pengen hidup lebih lama."
"Maksudnya?" dia menatapku serius, tapi aku tidak menjawabnya karena tiba-tiba spontanitasku ini membuat aku sendiri malu. Akhirnya aku tutup wajahku dengan jaket supaya tidak mengintip lagi ke arah Aya. Aku bilang begitu karena semenjak bertemu dengan Aya, aku merasa sesuatu yang magical baru saja masuk dalam hidupku. Sampai detik ini aku belum bisa bilang kalau aku naksir, tapi aku hanya senang berada di dekatnya seperti ini. Lebih lama, makanya aku ingin Aya juga hidup lebih lama.