Sabda
Kututup malam ini dengan hati hangat. Seenggaknya dia sudah janji akan mengantarkan apple watch milikku besok, di kampus. Itu artinya dia masih bersedia buat hidup sampai besok, dan semoga seterusnya.
Bayangan saat dia bersusah payah menaiki motor Aerox tadi sore masih jelas terpatri di pikiranku. Aku dengan sabar menundukkan tubuh, membiarkan bahuku menjadi tumpuan agar dia lebih mudah naik. Tubuhku terasa lebih rendah dari biasanya, bahkan lebih rendah dari kalau dia harus mencapai pundak adiknya sendiri.
Tiba-tiba aku mendapati diriku senyam-senyum sendiri. Segera kupaksa wajahku berubah, kuangkat tangan menutupi senyum cengar-cengir yang tiba-tiba muncul, beruntung tidak ada yang melihat momen konyol itu.
Keesokan paginya aku bangun lebih pagi dari biasanya. Ada semangat yang menggumpal dalam dadaku, sesuatu yang belum pernah kurasakan selama berbulan-bulan. Dengan terburu-buru, aku mandi dan berpakaian, memilih pakaian terbaik yang kumiliki. Aku raih parfum seharga tiga ratus ribuan di meja. Kusemprot di belakang telinga, belakang leher, kedua pundak, dada, dan kedua pergelangan tangan. Aku harus semerbak hari ini.
Saat aku keluar kamar, dua pasang mata langsung tertuju padaku. "Wangi banget," mereka serentak mengomentari. Aku tersenyum puas, karena wangiku bisa menjadi semacam ‘senjata’ rahasia hari ini. Aku yakin, hari ini aku terlihat lebih ganteng dari biasanya.
Aku menunggu di taman SosHum sambil minum susu ultramilk full cream. Aku yakin hari ini aku kelihatan lebih ganteng dari hari biasanya plus wangi, of course. Aku bahkan bisa mencium wangiku sendiri. Enak sekali.
Jarang-jarang aku pakai parfum yang kubeli pikir 10x itu banyak-banyak karena 'mahal' kecuali ada occasion tertentu.
Aku melihatnya berjalan mendekat. Hari ini dia terlihat imut dengan atasan sweater motif garis dipadu bawahan rok plisket warna cream yang congklang, sepertinya sengaja. Tidak ketinggalan headphone beige ia kalungkan di lehernya. Dia punya cara untuk menutupi 'luka' itu rupanya, dengan pakai atasan lengan panjang.
Dia belum sampai, langkahnya pendek, pelan, dan teratur. Memperlihatkan pergelangan kaki yang dibungkus dengan kaos kaki yang tidak terlalu tinggi serta mengenakan sepatu Doc Martens hitam yang menambah kesan tangguh sekaligus feminin. Tangannya memeluk tablet dan sebuah buku dengan sampul biru dongker, sementara tangan kirinya memegang apple watch yang menjadi alasan aku menunggu.
"Makasih, ya..." ucapku, berharap ada pujian buatku keluar dari mulut kecilnya. Aku berdiri sambil merapikan ujung kemeja hitamku yang barangkali terlipat karena aku duduk menunggunya. Aku kan ingin terlihat sangat rapi di hadapannya supaya meninggalkan kesan yang baik.
"Hm.." dia langsung melewatiku begitu saja. Dingin dan cuek. Ini benar-benar menamparku. Outfit yang sudah kupilih sejak semalam, kemeja hitam dan celana bahan abu-abu. Sesuai rekomendasi pinterest. Tidak mendapat atensi sama sekali dari Aya.
Hm begitu saja? Seriously? Hidungnya pasti lagi mampet, aku sewangi ini minimal ditanyain kek 'pakai parfum apa kok wangi banget'. Ah... sia-sia parfum mahalku hari ini. Sepuluh semprot harusnya bisa buat dua hari.
Dia baru saja melewatkan kegantengan paripurnaku hari ini. Tidak ada apresiasi darinya buat kegantengan maksimalku hari ini.
Sebelumnya aku bahkan sudah mengirim foto ke Bunda dan bertanya 'Bunda, aku ganteng kan?' dan bunda langsung menjawab: GANTENG BANGET. Fotoku sampai dibuat story dengan caption 'Anakku lanang'.
"Aya..." panggilku mantap.
Dia menoleh ogah-ogahan.
"Makasih udah hidup ya. Makasih udah bertahan. Entah apapun yang sedang kamu hadapi sekarang... Terima kasih sudah kuat. Ayo hidup lebih lama." Aku melambaikan tangan padanya dengan kedua tanganku yang kuangkat setinggi mungkin. Supaya Aya tahu kalau aku tulus melakukan lambaian ini.
Dari sorot matanya, aku yakin kata-kataku barusan tepat menghujam jantungnya.
Aku melangkah ke arah Aya. Menyodorkan ultramilk cokelat padanya. Karena tangannya diam saja, aku yang pro-aktif mengambil tangannya lalu membuat dia menerima pemberianku. "If you need someone to talk, you know how to find me."
Ekspresinya langsung berubah. Aku tidak ingin Aya menangis. Pikirkan cara supaya dia nggak jadi nangis, Sab. Cepat.
"SIM kamu nembak, ya?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku.
Pertanyaanku diabaikan tanpa tanggapan. Hanya terlihat dari ekspresinya seperti mengataiku 'apa sih, dasar orang aneh'.
Setelah mendongak mencegah air mata jatuh, Aya berjalan dengan langkah cepat seraya mengenakan headphone-nya. Dengan susu kotak pemberianku tergenggam di tangan kanannya.
Semoga harimu seru, Aya. Supaya kamu selalu punya alasan buat tetap hidup besok.
Aku melangkah berputar arah, kelasku masih jam sebelas, tidak ada teman seangkatan yang kukenali.
Tiba-tiba ada dua orang cewek menghampiriku. Salah satunya nampak excited, satunya lagi cuman mengantarkan.
"Kak Sabda, boleh minta foto?" pinta cewek yang kuperkirakan memiliki tingi kisaran 150 cm itu. Aku perlu menunduk agak dalam dan dia perlu mendongak agar kami bisa saling bertatapan.
"Boleh." Meskipun sekarang aku bukan siapa-siapa, masih ada saja orang yang menganggapku penting. Kalau bukan karena wajahku (aku sering dapat compliment itu, bukan karena aku narsis), mungkin mereka akan bodo amat setelah aku pensiun dari olahraga voli.
"Tetap semangat ya, Kak Sabda. Aku fans berat Kakak. Papaku juga selalu muji permainan Kak Sabda setiap kami nonton pertandingan. Aku juga sedih waktu kakak mengumumkan pensiun setelah kecelakaan. Tapi apapun yang kakak jalani hari ini, tetap jadi Kak Sabda yang keren ya."
Jleb.
Tenggorokanku terasa sakit dan dadaku sesak, bola mataku sudah dilapisi air tipis. Kuhela napas panjang-panjang kemudian melempar senyum padanya. Berharap lapisan bening yang membuat penglihatanku buram ini tidak sampai meluncur berlebihan.
"Makasih ya dukungannya." Aku tidak bisa membendung air mataku, sial. Kuseka sudut mataku dengan segera.
Tidak, aku bukannya marah sama cewek ini. Aku marah sama diriku karena se-yupi ini.
Kenapa tiba-tiba ada orang yang mengatakan hal itu padaku. Aku benar-benar tidak bisa mengontrol air mataku. Biasanya aku hanya membaca pesan-pesan hangat itu lewat dm request Instagram atau di kolom komentar. Begitu aku mendengar langsung, aku tidak kuat.
Alhasil aku pamit dari mereka, mereka tampak khawatir melihatku. Ya, aku harus ke toilet dan segera cuci muka untuk menyamarkan air mataku yang kurang ajar ini.
Setelah membasuh wajah, kupandangi wajahku di cermin. Terlihat sedikit lebih chubby karena olahraga fisikku tidak sebanyak dulu saat masih atlet aktif.
Aku sudah mengecewakan banyak orang, ya? Lihatlah, dulu orang di cermin ini punya segalanya—prestasi, pujian, penggemar. Sekarang, aku menjadi ciut. Aku terlalu takut menghadapi kenyataan bahwa aku mengecewakan mereka yang mendukungku.
Tidak sedikit aku menerima hujatan saat kecelakaan terjadi. Banyak yang menuduhku berada di bawah pengaruh obat-obatan saat mengemudi.
Beberapa orang masih menyebar rumor bahwa aku pemakai sekalipun telah diuji dan hasilnya pun negatif.
Aku mengalami kecelakaan karena sempat mengalami micro sleep. Alhasil, mobilku hancur menabrak belakang truk, kakiku patah, karir voliku berakhir.
Sempat stres berat dan dibawa ke psikolog. Di dalam pikiranku, masa depanku sudah hancur. Berpikir untuk apa aku hidup.
Bolak-balik aku harus ke fisioterapi supaya bisa jalan kembali. Bagaikan keajaiban, kurang dari 6 bulan aku pulih.
Psikolog, Psikiater, dr. Ortopedi, Fisioterapis. Selama pemulihan, aku begitu sibuk mengunjungi mereka. Sebenarnya aku enggan, tapi Bunda dan Papa selalu menguatkanku dan mengulang-ulang bahwa 'semua akan baik-baik saja, bunda dan papa selalu jagain kamu'.
Dari situ aku menyadari, di balik kemalanganku, aku beruntung karena memiliki orangtua seperti Bunda dan Papa. Di saat aku sadar, banyak orang di luar sana yang tidak seberuntung aku.
Tenang Sabda, jangan lemah. Aku harus atur napas. Benar-benar ya, doa cewek tadi masih terus berputar di kepalaku bagaikan kaset rusak. Aku gemetaran, dadaku sesak sekali, tenggorokanku sakit.
Beberapa mahasiswa yang hilir mudik masuk toilet pasti menerka-nerka apa yang terjadi padaku. Memalukan, Sabda. Stop nangis. Tenang, Sabda. Jangan lemah. Atur napas.
Aku tidak mau minum obat, sebisa mungkin aku mengatur napas saja. Ternyata tidak mempan, aku tidak kuat lagi.
Tangan gemetar saat membuka botol obat yang kubawa dari psikiater. Aku tahu aku tak boleh menyerah, harus terus bertahan. Kutelan pil itu dengan beberapa teguk air, berharap kekuatan itu segera datang.
Elaine
Susu cokelat pemberiannya, lengkap dengan sticky note kecil berwarna pink yang bertuliskan, “Terima kasih sudah jadi cewek kuat.” Kalimat itu seketika membuat dadaku bergetar dan hatiku terenyuh.
Kenapa Sabda bisa tahu? Apa dia benar-benar mengerti apa yang aku alami? Atau mungkin karena dia kuliah psikologi? Tapi, mereka kan bukan cenayang. Lalu, kenapa kalimat itu terasa seperti pelukan yang aku butuhkan di saat aku sedang rapuh?
Saat dosenku masuk kelas, aku langsung menyimpan susu kotak itu ke dalam tas. Hari terasa pendek apalagi ini hari Jumat. Jadwal kuliahku selesai. Ada tugas kelompok tapi akan dibahas lewat WhatsApp dahulu sebelum eksekusi.
Sambil mencari kunci di dalam tas, mataku tak sengaja terpaku lagi pada kotak susu itu dan catatan kecil yang masih menempel rapi. Seperti itulah cara Sabda menyemangati dengan kata-kata sederhana tapi tepat sasaran. Sepertinya love language-nya memang word of affirmation, pikirku.
Ketemu. Aku langsung melesat meninggalkan area kampus kembali ke rumah. Aku selesai siang-siang, jadi harus bergelut dengan panas terik yang membuat kepalaku berdenyut.
Setibanya di rumah, hanya ada Mbok Dijah. Hari ini aku request supaya dimasakin karena tida ada energi untuk masak dan bingung mau makan apa. Aku serahkan makan hari ini pada Mbok Dijah.
"Mau cumi-cumi pedas manis?"
"Apa aja boleh Mbok. Tapi jangan terlalu pedes ya, biar Nikel juga bisa makan."
"Siap, Non Aya."
Aku mengurung diri di dalam kamar, bebersih diri, dan melanjutkan agenda baca buku. Tidak lupa aku menurunkan derajat AC dan pakai selimut.
Andai saja Toko Kelontong Namiya itu benar-benar ada, aku pasti sudah jadi salah satu pengirim surat di sana. Surat-surat penuh harapan yang mungkin akan kuperoleh jawaban ajaib—entah itu solusi atau sekadar penghiburan.
Tapi kenyataannya aku kembali membaca paragraf yang sama dari buku itu berulang kali, tanpa benar-benar memahami. Pikiran ini melayang ke percakapan absurd yang Sabda lontarkan tiba-tiba tadi pagi. “SIM kamu nembak, ya?” Apa-apaan itu? Dia terlalu random, tiba-tiba bertanya tanpa konteks, tanpa alasan. Apa dia pernah lihat aku nyetir? Atau ada sesuatu yang salah dengan otaknya? Kenapa bisa seabsurd itu?
Benar-benar ya, wajah cowok itu terus terbayang-bayang olehku.Aku mengetuk-ngetuk pelan kepalaku dengan buku, berharap bayangannya bisa sirna, tapi sia-sia. Justru bayangannya makin membesar, memenuhi setiap sudut ruang pikiranku.
Tiba-tiba aku penasaran dengannya. Kuhidupkan macbook-ku lalu mengetikkan namanya di pencarian google.
Sabda Raka Terluka, Dunia Voli Berduka: Harapan Emas yang Tertunda
Dari MVP ke ICU: Kisah Tragis Atlet Voli Muda, Sabda Raka
Citra Sang Atlet Retak: Benarkah Sabda Raka Kecelakaan karena Obat Terlarang?
Tak Lagi Layak Bertanding? Sabds Raka Resmi Dicoret dari Skuad Nasional
Aku mengetikkan 'Sabda Atlet Voli'. Muncul banyak sekali hasil pencarian tersebut. Dia benar-benar orang terkenal. Beritanya banyak sekali dan paling atas soal kecelakaan. Ah, jadi dia berhenti jadi atlet karena kecelakaan? Separah apa?
Kubuka salah satu berita, terlampir gambar mobil ringsek. Aku bergidik ngeri melihatnya. Kubaca paragraf demi paragraf, Kenapa tubuhku mendadak merinding begini. Mungkin kecelakaan ini juga menyebabkan otaknya terganggu?
Aku coba membuka berita yang lain soal karirnya sebagai atlet voli. Dia terlihat bahagia di foto ini dan ternyata benar dia pernah jadi MVP di salah satu laga. Sekeren itu ya? Aku tidak tahu sama sekali dunia olahraga. Pantas saja banyak yang sering menyapanya.
Dia benar-benar kelihatan bahagia dengan karirnya di bola voli. Beberapa foto juga kudapati terlihat sangat magical, saat dia melayang di udara. Menurutku itu terlihat indah, seperti bukan dia yang kukenal saat ini. Mereka orang yang sama kan?
Aku klik salah satu video dari Tiktok yang muncul di hasil pencarian. Servisnya langsung bisa membuahkan poin. Spike-nya juga sangat keras sampai mengenai wajah pemain lawan hingga mimisan. Wah, dengan hanya mengetikkan namanya saja semua tentang dia bisa orang akses dengan mudah. Sayang sekali dia harus pensiun.
Dia melewati ujian seberat ini tapi masih se-bersinar sekarang. Dan kecelakaan ini belum lama terjadi. Apa dia sudah pulih dari segala hal yang membuatnya patah?
Seseorang mengetuk pintu kamarku. "Siapa?"
Tidak ada jawaban berarti jawaban. Aku melangkah pelan menuju pintu. Kubuka perlahan.
Tatapan mata kami bertemu. Tatapan tajam yang sama dan tidak pernah berubah. Di balik ketegasan wajahnya, dia orang baik.
"Kamu apa kabar?"
"Aku baik, Mama gimana?"
Sudah lama aku tidak lihat Mama sejak Mama memutuskan pindah dari rumah ini. Hanya aku dan Nikel yang mendiami rumah ini sekarang. Mama hanya sesekali menjenguk.
Meskipun dia Mama kandungku, rasanya asing. Dan kami berdua selalu canggung satu sama lain. Mama nggak salah, laki-laki itu yang salah sehingga hidup kami jadi berantakan seperti ini.
Hening, kami diam-diaman cukup lama. Aku terlalu canggung untuk memulai namun Mama segera menarikku dalam pelukannya. Mama tidak menangis tapi aku tahu Mama terluka dan luka itu kuyakini jauh lebih sakit dibandingkan lukaku.