Elaine
Bagiku, kamar sudah seperti surga pribadi yang tenang dan tertata rapi, dindingnya dicat warna sage yang menenangkan, dengan lampu belajar kuning hangat di sudut meja. Di rak kayu dekat jendela, buku-buku berjajar rapi, beberapa kuiberi penanda sticky note berwarna pastel. Di sebelah rak, ada lilin aromaterapi lavender yang sudah lama tidak kunyalakan tapi aromanya masih samar terasa. Di sisi tempat tidur, boneka kecil pemberian mantanku waktu SMP masih duduk di pojok bantal.
Aku tidak menyimpan nomornya, tapi kertas nota itu masih kusimpan di dalam laci meja belajar. Kutarik laciku kemudian kuketikkan angkanya. Aku simpan dengan nama sama seperti ia tuliskan di kertas.
Should I text him now? Dari ekspresi Nikel sepertinya memang ketinggalan, tidak ada upaya sekongkol. Aku ingat alasan dia menulis nomornya karena tidak bawa handphone.
Elaine (me)
(Mengirim foto smartwatch)
Begini saja cukup, kan?
Langsung centang dua biru.
Langsung mengetik.
Sabda
itu punyakuuuuuu
astagaaa
makasih yaaaa
ternyata ketinggalan yaaa 🥹
aku lupa banget taruh di mana sampe pusing nyariin dari tadi weh
besok aku ambil yaaaa
aku ke rumahmu atau kita ketemuan di kampus aja?
Typing-nya ramah sekali, banyak hurufnya. Langsung kujawab 'di kampus' lalu dia mengirimkan pesan bubble lagi.
Sabda
okeyyy
baiklaaaaahh
thank you ya ayyy
besok ketemu di kampussss
Tidak kubalas, hanya ku react pesan terakhirnya dengan emoji jempol.
Gaya gravitasi ke kasur begitu besar. Kubanting diriku ke kasur, kupandangi langit-langit kamar. Kuangkat lenganku melihat bekas luka di sana. It's been a while. Aku lumayan bangga sama diriku.
Aku percaya bahwa setiap manusia membawa misi dalam hidupnya. Kalau memang belum selesai ya masih akan tetap memijak bumi ini. Meski percobaan mengakhiri hidup, kalau belum waktunya pasti ada saja momen gagalnya.
Aku kembali bangkit kemudian segera mandi sebelum kembali memeluk koleksi buku-bukuku.
Saat mandi dan menggunakan sabun, tanganku agak sakit karena cakaran salah satu kucing di Paralayang tadi. Aku sudah tahu dia agresif tapi kan lucu.
Selesai mandi, pakai deodoran spray, pakai pakaian, dan pakai hand body lotion, aku sudah segar kembali.
Kuambil bacaan dari atas rak buku, hanya ini satu-satunya buku yang keluar dari barisan karena sedang kubaca. Novel dengan cover sederhana tapi karena aku sudah tahu isinya, dia terlihat sangat hangat.
Membaca, jadi salah satu caraku untuk tetap sendiri tapi tidak sendirian. Banyak karakter yang hidup dalam imajinasiku.
Aku suka sepi tapi aku nggak suka sendirian karena itu membuat pikiranku melayang-layang tidak karuan.
Sejak 3 tahun lalu aku mulai mengoleksi banyak buku dengan uang jajan yang kusisihkan. Memiliki perpustakaan pribadi kecil di ujung kamar menjadi kepuasan tersendiri bagiku.
Ada banyak buku bacaan mulai dari novel berbagai genre hingga buku-buku self improvement. Dari sekian banyak buku, aku punya kebiasaan mengulang bacaan. Aku mengulang baca Keajaiban Toko Kelontong Namiya, ini ketiga kalinya. Rasanya lebih nyaman mengetahui apa yang akan terjadi.
"Mbak Aya..." suara Nikel memecah keheningan. "Boleh masuk?" Suaranya terhalang tembok dan pintu.
"Masuk aja..."
Tubuh tinggi menjulangnya muncul dari balik pintu. "Mau makan apa malam ini?"
Ya Allah, aku sampai lupa ini jam makan malam. Tadi rencana mau mampir sekalian beli makan malah lupa.
Mbok Dijah ART kami memang hanya di sini sampai pukul 16.00 WIB karena tugasnya hanya membantu bebersih rumah, cuci pakaian, dan cuci piring.
"Mau makan apa, Kel?"
"Pengen sate." dia mengusap perut.
"Boleh, yuk." Aku turun dari ranjang kemudian mengekor di belakang adikku yang bongsor ini. Kusambar jaket varsity di gantungan baju yang baru kupakai sebentar.
Aku cari kucir rambutku di mana ya tadi, ah ya sudah nanti kugelung asal saja.
"Mbak, kamu belum jawab pertanyaanku."
"Soal apa?"
"Kenal Sabda gimana? Iya kalian sekampus, tapi kan pasti ada cara akhirnya bisa saling kenal."
Aku mampir sebentar menghampiri bowl Kiko lalu menuangkan dry food ke mangkuk buntalan bulu kesayanganku. Senangnya lihat Kiko mulai makan dengan lahap.
"Oh iya, Mbak, dia juga kemarin nanya, Mbak Aya lagi pacaran atau dekat sama seseorang atau enggak."
"Kamu jawab apa?"
"Aku jawab Mbak Aya jomblo. Memang mau dijawab apa lagi? Kan emang jomblo." kenapa nada bicara Nikel jadi setengil ini.
"Waktu itu dia nemuin Kiko pas Kiko kabur, yang aku bilang Mbok Dijah lupa nutup pintu pas lagi belanja sayur. Pas awal-awal." jelasku sambil melepas kunci lalu memasukkannya ke dalam saku jaket.
"Hahhhh? Serius???? Woah, dunia sesempit itu. Dia itu atlet yang banyak fans-nya loh, Mbak. Aku yang cowok aja mengakui dia ganteng. Aslinya lebih ganteng ternyata. Gila sih." Nikel menekan tombol starter pada motor Aerox miliknya.
Aku memegang kedua pundaknya untuk naik ke aerox yang bagiku dengan tinggi 163 cm ini, aerox terasa tinggi sekali.
Nikel mengarahkan spion kiri menyasar mukaku. "Ganteng, kan?"
"Iya kalau ganteng terus kenapa?"
Aku bisa lihat wajah tengil Nikel yang ingin menggodaku. "Udah yuk jalan." kutepuk pundaknya supaya kami lekas melaju.
Setibanya di tempat sate yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumah - tapi kami tetap naik motor, aku menangkap sosok itu. Baru saja duduk menghampiri dua orang lainnya. Satunya kakak tingkat yang nggak mau ngalah soal parkiran.
Di tempat seramai ini, kenapa dia lagi dia lagi.
Sepertinya Nikel belum menyadari keberadaan Sabda. Aku sengaja mau buang muka dan mendorong Nikel ke arah yang agak jauh tapi tadi sepertinya kami malah hampir kontak mata sepersekian detik.
"Heiii!" pekiknya.
Yah, ketahuan.
Nikel tidak bergeming, dia sedang fokus menyebutkan pesanannya pada penjual.
"Hei, Nikel!" Dia tahu aku mungkin tidak akan menoleh jadi dia panggil nama adikku.
Mendengar panggilan itu Nikel langsung bereaksi mencari sumber suara. "Lah itu si Sabda." Nikel tersenyum sumringah lalu membalas lambaian tangan.
"Mau duduk di sana?" tawar Nikel.
"Di sini aja, kosong sini." jawabku sambil meletakkan handphone di meja.
Nikel tidak mendengar kata-kataku. Setiap meja memang cukup untuk enam orang.
Sekarang Nikel sudah bergabung bersama tiga orang di sana.
"Mba Aya sini!" pekik Nikel. Nyebelin banget sih. Kenapa jadi sering nggak sengaja ketemu sama dia gini.
Aku menatap orang itu, langsung kontak mata. Langkah terpaksaku membawa ke meja orang-orang itu.
Takdir apa yang membuat kami sering bertemu? Katanya setiap orang ada waktunya dan setiap waktu ada orangnya. People come and go.
Sabda
Mumpung Malam Jumat dan aku baru habis nyairin fee nge-job freelance, biasanya aku sering sedekah lewat ngasih makan Bian sama Karel. Malam ini pun demikian.
Mungkin karena niat baikku juga, aku dapat kabar baik smartwatch-ku nggak hilang, tapi ketinggalan di rumah Aya. Alhamdulillah.
Apa efek aku kepikiran dia terus ya sampai-sampai aku lihat orang mirip dia dan adiknya. Eh, tapi itu bukan halusinasi, itu benar Aya dan Nikel.
Tanpa ragu aku panggil nama Nikel karena sepertinya kalau aku panggil pun Aya enggan menoleh.
Kenapa ya rasanya jadi senang melihatnya baik-baik saja setelah nangis seorang diri tadi. Jujur aku masih agak jetlag karena perjalanan naik turun tadi. Belum lagi aku men-judge cara bawa motor Aya lumayan ngawur.
Tadi selama perjalanan mengawalnya ada kali 5 kali dia hampir nabrak dan ditabrak.
"Makan di sini juga?"
"Yoi, Mas. Ngidam sate klatak." Nikel duduk di sebelahku jadi tersisa space kosong di hadapanku, samping Bian.
"Kamu yang waktu itu, kan?" sergah Bian sambil nunjuk-nunjuk.
"Aku di meja sana aja lah, Kel." ngambek, Aya hampir menginggalkan kami, namun segera kukejar dan kutangkap lengan jaketnya.
Sengaja tidak kugenggam, takut dianya risih.
"Kemana? Makan bareng aja. Ngobrol kita."
"Aku mau makan bukan ngobrol."
"Gini aja deh, anggap aku mau balas budi makan siang gratis kemarin."
Kulirik Bian yang sedang mencoba menjelaskan kejadian pada Karel.
"Tukeran sama gue?" Tanya Karel pada Bian.
"Gak usah, udah pewe aku di sini deket kipas."
"Ya udah, kalem kalau gitu." Aku menoyor lengan Bian supaya dia lebih behave lagi.
Aku menunggu dan memastikan Aya duduk dengan baik baru aku kembali ke tempat dudukku yang berhadap-hadapan dengannya.
Waktu minuman datang, aku senang dia tidak pesan es teh lagi.
"Kenapa senyam-senyum?" ketus banget tapi malah lucu kalau dia galak tapi mukanya gak mendukung.
"Aku seneng aja kamu nggak pesen es teh lagi."
"Lah? Orang aku emang lagi pengen es jeruk."
Meskipun dia bilang begitu, tetap saja aku senang. Memang lebih baik es jeruk daripada es teh sehabis makan besar.
Dia mendengarkanku. Aku beneran senang.
"Kenapa ya jadi sering ketemu terus." dia bertanya setelah minum dari sedotannya tanpa menatapku.
"Itu namanya red car theory."
Aku sengaja tidak melanjutkan, "Apa?" tanyanya, sepertinya antara tidak dengar atau tidak paham.
"Red car theory."
Wajahnya nampak clueless namun lebih ke bodo amat, tidak ada usaha berpikir.
"Pernah nggak sih, baru aja beli mobil merah, terus tiba-tiba di jalan rasanya semua orang juga punya mobil merah? Padahal sebelumnya nggak nyadar."
Dia masih diam.
Aku kembali menjelaskan kenapa hal itu lumrah terjadi. Soalnya gini... Begitu kita udah “ngeh” sama seseorang entah baru kenal, habis ngobrol, atau bahkan mulai naksir otak kita tuh kayak langsung on alert.
Tanpa disuruh, dia mulai nyari-nyari sinyal soal orang itu. Kadang tanpa kita sadar juga.
Makanya jadi kayak,
“Loh kok ketemu dia mulu ya?”
“Eh, muncul di IG story temen?”
“Atau tiba-tiba ada aja yang nyebut namanya?”
Padahal sebenernya dia dari dulu juga ada di sekitar. Cuma dulu otak kita belum anggap penting, jadi kelewat aja.
Simpelnya:
Begitu kita sadar atau aware sama sesuatu, otak kita langsung nyaring semua info di dunia buat nunjukin hal itu terus.
Simpelnya lagi, sesuatu atau seseorang itu mungkin dari dulu memang ada di situ atau di sana cuman kita nggak nyadar atau nggak peduli aja, kan belum kenal.
"Nangkep?" aku mencoba mengetes komprehensi Aya dalam memahami penjelasanku.
"Ngelih aku, Sab, gak iso mikir." (Lapar aku, nggak bisa berpikir), ucap Karel yang terdampak logat jawa timuran teman-teman jurusannya.
"Paham aku paham." Bian ikut menimpali.
Aku menjelaskan pada Aya tapi ternyata yang menyimak satu meja.
"Aku nangkep, Mas! Besok aku kuliah psikologi aja kali, ya, Mbak? Seru keknya." Nikel mengacungkan tangan cukup tinggi. Lalu meminta pendapat kakaknya terkait jurusan kuliah. Psikologi memang jadi jurusan favorit. Aya di hadapanku hanya terdiam dengan ekspresi 'bebas, pilih saja jurusan kuliah yang kamu suka'.
"Mantap Nikel. Kamu?" aku mengejar tanggapan cewek di hadapanku.
"Yaa." jawabnya singkat sambil aduk-aduk es jeruknya pakai sedotan.
Aku lanjutkan, “Jadi mungkin bukan kita yang sering ketemu. Tapi kamu yang sekarang lebih sadar keberadaanku.” kuangkat kedua alisku cepat.
“PD amat sih,” katanya datar. Tanpa melihat ke arahku. Aya sibuk membersihkan mejanya dengan tisu.
Aku tertawa kecil. “Nggak PD, logis aja.”
Sate klatak pesanan kami sudah tiba. Kecuali Bian yang pesan sate kecap. Dia pemilik lidah Jogja yang suka manis.
"Nikel mau?" Aya menawarkan koyor pada adiknya. Lalu memindahkan itu ke piring Nikel.
"Nggak suka?" tanyaku.
Dia cuman menggeleng. Matanya fokus ke piring dan sesekali noleh kiri ke adiknya. Nggak pegel ya?
Dari sini aku bisa lihat matanya sedikit sembab. Setiap senyum, matanya nggak ikut senyum, sekosong itu. Semoga kamu baik-baik saja dan terus bertahan ya, Ay?
“Hidup memang kadang kayak sate ini, ya,” ujarku tiba-tiba, sambil menusuk satu tusuk sate klatak, “terkadang manis, tapi kadang juga pahit.”
Aya menoleh ke arahku. Matanya setengah mengantuk, tanpa ekspresi khusus, cuma sekadar menanggapi. “Hidup? Kamu tiba-tiba jadi filsuf sate, ya?”
Aku angkat bahu, senyum kecil. “Ya, biar nggak terlalu serius. Kadang kita butuh filosofi sederhana, biar nggak pusing mikirin hidup yang ribet.”
Dia mengangguk pelan, hampir seperti setuju tanpa semangat. Suaranya pelan, datar. “Kalau gitu, kita harus makan yang manis-manis lebih banyak, ya.”
“Jangan nanti diabetes, mending lihat aku, kan aku manis.” kulirik Bian dan Karel yang saling sikut mendengar gombalanku. Apa sih mereka. Untung saja aku yang traktir, kalau tidak pasti congor mereka akan mulai me-roasting-ku.
Aya tidak menghiraukan gombalanku dan malah seperti orang OCD yang sedari tadi sibuk mengelap meja dengan tisu. Mungkin itu sebagai wujud penolakannya untuk diajak mengobrol lebih banyak.
"Dan pas lagi ngerasa hidup ini pahit, jangan disimpan sendiri. Cari seseorang yang kamu percaya buat keluarin semua yang bikin pikiran kamu sesak. Karena rasa pahit, kalau disimpan terus, bisa berubah jadi racun. Tapi kalau dibagi ke orang yang tepat, bisa berubah jadi obat."
Aku lihat dia menatapku, lama. Ada sesuatu yang seolah mau dia ucapkan tapi belum berani. Aku hanya mengangguk, membuka ruang.
Malam itu, di bawah lampu temaram warung sate yang hangat, aku merasa, meski dunia kadang berat, kehadiran sederhana bisa jadi penopang terkuat.
Aya diam-diam melirikku saat aku terus menatapnya, lalu mengalihkan pandangan ke piringnya lagi, tanpa banyak bicara. Aku mengerti, tidak semua orang mudah bercerita apalagi menceritakan hal yang mengusik mereka. Jadi, daripada memaksa mereka buat cerita, lebih baik memaksa diri kita sendiri untuk lebih peka sama setiap sinyal yang dimunculkan. Aku harap kalian tidak akan pernah merasakan trauma yang sama denganku, aku kehilangan sahabat dekatku saat SMA karena bunuh diri.