Dua muda-mudi terpintar di SMA Garuda Nusantara berdiri berdampingan di depan pintu kantor Pak Tirto. Mereka menghela napas panjang secara bersamaan. Begitu sadar, mereka menangkap tatapan satu sama lain kemudian tertawa kecil.
"Lo yakin, Van?" tanya Aditya.
Vania tersenyum pada Aditya kemudian mengangguk. Sebagai balasan, Aditya ikut tersenyum. Meski... sorot matanya tampak tak rela.
"Gue juga punya permintaan, Dit." Vania memijat-mijat jemarinya. "Lo... um... jangan salah sangka ya. Tapi... rasanya aneh kalau lo manggil gue pakai nama dan bukannya..."
"Princess?" Senyuman Aditya merekah. Terutama ketika ia melihat pipi Vania bersemu merah.
Sebelum Aditya dapat menggoda Vania lebih lanjut, Vania cepat-cepat berjalan melewati Aditya. Ia menunduk, tidak sudi memberi kepuasan bagi Aditya untuk melihat ekspresinya sekarang.
Bahaya, pikir Vania. Semenjak kemarin malam mereka telah saling jujur dan menuangkan beban masing-masing, Vania terus saja teringat momen ketika Aditya membenamkan wajah pada pundak Vania. Pundak! Kemarin malam Vania tidak berpikir panjang mengenai hal itu, bahkan ketika membelai rambut Aditya. Namun setelah mereka kembali ke kamar masing-masing, ia tidak bisa tidur memikirkan... betapa... betapa lembutnya rambut Aditya. Juga betapa... hangatnya kulit Aditya ketika bertemu dengan kulitny–
Argh! Kenapa gue terus mikirin dia sih? tanya Vania dalam batin. Selama ini dia hanya melihat Aditya sebagai saingan, sebagai hambatan untuk mendapatkan keinginannya. Namun kini ketika keinginan itu sudah dibuyarkan oleh kenyataan, Vania mulai melihat Aditya dari sudut pandang yang berbeda. Dan sudut pandang ini sangat menyebalkan, pikir Vania dengan wajah yang panas.
"Princess!" panggil Aditya dari belakang, "tunggu gue!"
Vania terus berjalan, meski ia tahu Aditya dengan kaki yang lebih panjang akan dengan cepat dapat menyusulnya.
***
"Makanan favorit lo apa, Cess?" tanya Aditya.
Selama mereka berjalan kaki bersama, Aditya terus saja menanyakan pertanyaan-pertanyaan acak pada Vania. Mulai dari warna favorit, musik favorit, opini Vania tentang politik zaman kini, dan sekarang makanan favorit Vania.
"Uh... gatau," jawab Vania.
"Kok gatau?" Aditya mengangkat satu alis. "Gini deh, lo suka asin atau manis?"
Vania masih menghindari tatapan Aditya –yang kini sudah memelankan langkah agar bisa berjalan berdampingan dengan Vania. "Hm, gatau."
"Kok gatau lagi? Lo ga pernah makan sesuatu terus merasa 'Wow! Ini adalah makanan terenak!'?"
"Engga tuh."
Aditya melirik Vania. "Kalau makanan favorit bokap lo tahu?"
Pundak Vania sedikit terlonjak mendengar sebutan 'Bokap' tetapi ia dengan cepat bersikap seperti tidak ada yang memengaruhinya. "Dia suka sayur asam," jawab Vania dengan ragu.
"Kalau adik lo?"
"Vano... suka yang manis-manis. Cokelat dan puding."
"Nyokap lo?"
"Mami suka orange chicken."
Aditya berhenti secara tiba-tiba, membuat Vania juga berhenti dan menoleh pada pemuda itu dengan tatapan bingung. Aditya membalas tatapan Vania dengan sorot mata sedih.
"Hm."
"Hm apa?" tanya Vania dengan satu alis terangkat.
"Lo tahu makanan kesukaan semua orang kecuali diri lo sendiri," lanjut Aditya dengan pelan. Raut wajahnya seakan dia terluka, padahal dia sedang membicarakan Vania. "Apakah orang-orang rumah lo sama sekali ga tertarik dengan apa yang lo suka? Jangan bilang mereka juga ga cukup peduli untuk menjaga makanan di rumah agar asam lambung lo ga kambuh-kambuhan?"
Vania berkedip. Ia mematung di depan Aditya. Lagi-lagi dengan cepat, Vania memasang wajah acuh tak acuh, seakan tidak ada yang mengganggunya. "Papa tidak menganggapku penting, Mami tidak bisa membelaku, dan Vano... dia hanya mengikuti ajaran Papa Mami. Lagian aku minum obat lambung rutin kok."
Perempuan itu kembali berjalan. Ia menarik napas panjang, berusaha menegarkan remukan di dadanya agar ia tidak menangis. Ia terus mengatakan pada dirinya sendiri : Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Namun tak lama, sentuhan hangat menggenggam tangannya. Vania yang kaget menoleh cepat ke arah Aditya yang kini sudah mengaitkan kedua tangan mereka.
"Di akhir hari ini, lo akan menemukan makanan favorit lo," kata Aditya mantap. Senyumnya mengembang.
Sebelum Vania dapat merespon, Aditya sudah menariknya untuk berjalan kembali. Tujuan mereka adalah Indomarket.
Begitu sampai di depan Indomarket, Vania cepat-cepat melepaskan genggaman Aditya. Aditya tersenyum tipis sementara Vania membuka pintu toko dengan lebar.
"Belajar apa kita hari ini?" tanya Bari dari balik meja konter dengan senyuman ceria. "Ngomong-ngomong, kalian telat banget."
Aditya meletakkan sebuah amplop cokelat besar di atas meja konter. "Hari ini lo akan mendengarkan proposal gue dan Princess."
Bari mengangkat satu alisnya.
"Bar," lanjut Vania, "Kalau kita bilang lo bisa kuliah tanpa perlu memikirkan biayanya, apakah lo akan mau kuliah?"
Mantan Berandal Sekolah itu mengangkat alis satunya. "Kan gue udah pernah bilang ke lo," jawab Bari dengan pelan, "gue butuh sertiikat lulus SMA karena perlu langsung kerja."
"Lagian kalau ada biaya kuliah," lanjut Bari, "Gue akan pakai buat biaya sekolah Shania dan Rayendra. Mending gue tabung buat mereka berdua kuliah."
Aditya dan Vania saling bersitatap untuk sepersekian detik. Sebuah pengertian muncul di antara mereka tanpa perlu bicara.
"Nah!" Aditya membuka amplop cokelat itu dan mengambil sebuah dokumen kemudian menyerahkannya pada Bari. "Shania juga akan dapat beasiswa untuk lanjut ke SMA Garuda Nusantara sementara Rayendra dapat beasiswa ketika masuk SMP. Selama lo kuliah, lo tetap bisa part time untuk nabung."
"Lalu setelah lo lulus kuliah, tentunya gaji S1 lebih tinggi, jadi lo bisa semakin nabung untuk biaya kuliah Shania dan Rayendra," sambung Vania, "jadi, uang benar-benar tidak usah dipikirin lagi."
Bari mulai membaca dokumen di tangannya kata demi kata. Kemudian dia menggeleng, seakan tidak percaya. "A– apa sih maksud kalian? Berhenti mengada-ngada deh. Sudah lama gue terima prioritas hidup gue harus bergeser untuk menafkahi adik-adik gue. Jadi... jadi..."
Pemuda itu terdiam, terhanyut dalam kalimat demi kalimat pada dokumen di tangannya.
"Ini apa... kenapa di sini ada... esai kalau gue mau masuk Universitas Angkasa?" Mata Bari membaca kilat esai tersebut. "Dan... kenapa esai ini bisa pas banget dengan keadaan gue?"
Dia mengambil dokumen lain dan mulai membacanya. "Terus ini... kenapa ada kontrak antara Pak Tirto dan gue... tentang beasiswa untuk Shania dan Rayendra?"
Vania mengambil satu pena dari salah satu rak di Indomarket kemudian meletakkan pena itu di atas meja kasir. "Gunakan waktu sebanyak yang kamu perlu untuk membaca dokumentasi itu, Bar. Pak Tirto juga masih terbuka terhadap perubahan yang mungkin kamu mau ajukan. Kalau kamu sudah siap, tinggal tanda tangan."
"Ta... tapi... biaya kuliahnya dapat dari mana?"
"Pak Tirto akan memberikanmu surat rekomendasi untuk mendapat beasiswa Universitas Angkasa," kata Vania.
"Bukannya itu surat rekomendasi yang kalian perebutkan?" tanya Bari.
Vania dan Aditya saling menatap. Sebuah pemahaman muncul antara mereka berdua tanpa perlu bersuara.
"Pak Tirto memutuskan untuk memberikan surat rekomendasi untuk kita bertiga," jawab Aditya pada akhirnya.
Mata Bari membelalak tidak percaya. Ia hampir saja melempar berkas-berkas di tangannya karena sangat terkejut. "Serius? Lo serius?" serunya. Kedua matanya berbinar dengan pengharapan untuk pertama kalinya sejak kedua orang tuanya meninggal. Selama beberapa tahun terakhir, hanya ada kabar buruk demi kabar buruk yang melanda Bari dan adik-adiknya. Bari pun sudah mengentalkan hati agar tidak lagi mengharapkan yang terbaik dan hanya mengantisipasi hal terburuk setiap harinya. Namun hari ini, dua siswa terpintar yang selama ini ia pikir berada di level jauh dari jangkauannya, telah merentangkan tangan ke arahnya dan memberinya harapan.
Harapan.
Sebuah hal abstrak yang membuat dadanya berbunga dan pikirannya melambung dengan berbagai mimpi yang sebelumnya ia lupakan. Mimpi-mimpi yang sebelumnya terpaksa ia kubur dalam-dalam kini serasa... dapat digapai.
Perasaan penuh yang menyeruak dari dalam dadanya membuat kedua mata Bari terasa panas. Bibirnya bergetar dan tenggorokkannya terasa perih.
Ketika Vania dan Aditya mengangguk bersama dengan senyuman sebagai jawaban dari pertanyaannya, saat itu juga satu air mata bergulir turun dari matanya. Kemudian tetesan demi tetesan air mata membanjiri kedua pipinya. Ia berusaha menutup mulutnya tetapi terlambat. Sebuah erangan lega sekaligus senang keluar dari mulutnya. Seakan ia sedang melepaskan semua luka dan perih karena sebelumnya harus menghapus mimpi-mimpi miliknya dan menghadapi kepahitan hidup. Kedua pundaknya bergetar hebat dan entah bagaimana, ia sudah berjongkok di lantai, menangis seperti bendungan air yang akhirnya pecah karena sudah terlalu banyak air.
Vania dan Aditya menghampirinya. Masing-masing menyentuh pundak Bari. Mereka tidak mengatakan satu hal pun, juga tidak menyuruh Bari berhenti menangis. Mereka hanya memastikan Bari tahu mereka hadir untuk Bari.
Tanpa Bari ketahui, Aditya dan Vania saling bersitatap. Kedua mata mereka mengilat tetapi masing-masing menahan tangisan mereka. Aditya melihat Vania dengan cemas. Pemuda itu masih saja merasa khawatir karena tidak seperti Vania, ibu Aditya masih memiliki tabungan untuk kuliah Aditya. Bahkan, ibu Aditya sendiri lebih ingin uang itu dipakai untuk kuliah Aditya dibandingkan untuk operasi dengan risiko besar. Sementara Vania kini tidak punya cara untuk membiayai kuliahnya. Perempuan itu membalas tatapan khawatir Aditya dengan senyuman tipis yang tidak menyentuh matanya.
Aditya tahu ini adalah keputusan Vania. Aditya tahu ia harus menghargai keputusan Vania. Namun tetap saja, Aditya berharap Vania juga bisa kuliah bersamanya dengan Bari. Entah bagaimana caranya.
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku