Bari tidak langsung menyetujui proposal Vania dan Aditya. Dia mendatangi Pak Tirto sendiri dan beberapa kali merevisi perjanjian beasiswa untuk Shania dan Rayendra sendiri –Vania dan Aditya sudah tidak campur tangan lagi. Tampaknya Bari meminta tambahan pesangon untuk Shania dan Rayendra mendapatkan makanan gratis dari kantin selama sekolah serta peralatan sekolah mereka akan digratiskan. Tidak butuh lama bagi Pak Tirto untuk menyetujui syarat-syarat tambahan Bari.
Tidak hanya itu, Bari bahkan membuang esai yang sudah Vania dan Aditya buat untuknya dan memilih untuk menulis esai sendiri. Tentu saja Vania protes. Sebagai Ratu Debat, seharusnya Vania adalah penulis esai terhebat dan fakta bahwa Bari menolak bantuannya adalah sebuah hinaan secara tidak langsung. Meski demikian, Bari memiliki argumen yang valid; bila bukan dirinya yang menulis esai itu, rasanya menjadi tidak otentik, dan itu akan menjadi bendera merah bagi tim administrasi beasiswa universitas.
Setelah berulang kali Aditya dan Vania merevisi esai yang akan dikumpulkan Bari, akhirnya mereka mencapai kesepakatan akan versi esai terbaik.
'Dari luar, saya bukanlah murid berprestasi atau yang rajin,' adalah kalimat pembuka esai itu, 'tetapi saya adalah murid yang dipaksa menjadi dewasa jauh sebelum waktunya.'
'Ketika orang tua saya meninggal dalam kecelakaan, saya harus menjadi tulang punggung keluarga untuk saya dan adik-adik saya. Kebingungan, tanggung jawab yang besar, dan rasa kehilangan membuat saya memilih jalan yang tidak seharusnya. Saya sangat menyesali perbuatan saya. Namun bila saya dapat mengulang waktu, saya akan memilih pilihan yang sama karena saat itu saya hanyalah disajikan pilihan-pilihan terburuk. Saya harus mengubur mimpi saya dan menjadi seseorang yang saya benci.'
Mata Vania sedikit berlinang tiap kali membaca paragraf tersebut.
'Kini saya sadar bahwa banyak orang-orang baik yang mau membantu saya. Demi mereka, saya berjuang untuk beasiswa ini. Berharap bahwa ketika saatnya tiba, saya akan dapat membalas budi para penyelamat saya.'
Aditya menepuk pundak Bari dengan lembut. "Kami melakukan ini karena kamu berhak mendapat kesempatan ini, Bar. Tidak perlu membalas kami," katanya.
"Memangnya 'penyelamat' di esai ini kalian?" tanya Bari dengan datar.
Aditya mengerjap. Otaknya seakan korslet karena pertanyaan Bari. Melihat ekspresi Aditya yang melongo, Bari tersenyum tipis. "Siapa tahu yang dimaksud cuma Pak Tirto," lanjut Bari, "lagian kalian kan bantuin aku karena Pak Tirto juga."
Rahang Aditya seakan terjatuh. Melihat itu, senyuman Bari merekah, diikuti tawa kecil dari Vania. "Bercanda, Dit." Bari menepuk punggung Aditya dengan keras, membuat Aditya terhuyung ke depan. "Kalian penyelamat gue kok," katanya, "dan gue ga akan melupakan kebaikan kalian."
Senyuman Bari semakin lebar. Ia tersenyum dari hati. Kedua matanya berbinar dengan harapan akan masa depan.
***
"Mau sampai kapan kita merahasiakan keadaan kita dari Bari?" tanya Aditya. Ia menyusul Vania yang sedang duduk di kursi pada teras belakang. Di tangannya, terdapat dua cangkir susu hangat. Ia meletakkan satu cangkir di atas meja sementara cangkir lain tetap ia genggam sembari duduk di kursi sebelah Vania.
Hari itu mereka pulang lebih cepat daripada biasanya karena Bari memutuskan untuk mengumpulkan berkas administrasi kuliah sendiri di rumahnya. Jarang sekali kedua insan ini bisa menikmati langit sore sepulang sekolah. Kini mereka sama-sama menyaksikan kepulangan mentari di ufuk barat dan me
Sudah seminggu ini, Vania tinggal bersama Aditya dan ibunya. Vania ikut membantu pekerjaan rumah setelah pulang dari mengajari Bari, kemudian selalu ikut sarapan bersama.
Bagi Vania, rasanya aneh. Begitu ia kehilangan rumahnya, ia tidak pernah kekurangan. Malah, ia merasa lebih hangat, lebih diterima, dan lebih dimanusiakan di rumah baru.
Ibu Vania mengunjunginya pada hari ketiga membawa sejumlah uang keperluan sehari-hari dan makanan. Meski menangis tersedu-sedu, ibu Vania tidak memintanya pulang. Vania tahu keputusan ia bisa pulang atau tidak ada di tangan Ayahnya dan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan oleh ibunya. Meski demikian, tetap saja rasa sakit menghujam dadanya.
"Dulu, ketika aku masih lugu, aku sering bertanya pada Mami, 'Mengapa Mami tidak meninggalkan Papa saja?'" Vania berkata, "Mami selalu menjawab dengan pertanyaan, 'Bagaimana Mami bisa menafkahi hidup sendiri tanpa bantuan Papa ketika Mami bahkan tidak kuliah?'"
Vania melayangkan pandang pada musuh bebuyutannya selama ini, Aditya. "Mami juga sering bilang, 'Papa kamu kan yang kuliah dan jadi pebisnis sukses. Kita ikuti saja arahan dia.'"
Gadis itu tertawa getir. "Mami yang tidak pernah kuliah selalu merasa rendah diri dan seakan tidak punya kekuatan melawan Papa. Aku melihat Mami selalu menunduk menurut, menerima makian dan pukulan tanpa melawan. Tanpa sadar, aku mulai membayangkan masa depanku seperti itu, bahwa hidupku akan bergantung mood Papa hari itu. Terkadang aku masih memegang harapan bila aku berhasil dapat beasiswa dan dapat gelar kedokteran, mungkin Papa akhirnya akan mengakui potensi diriku dan lebih..."
Suaranya bergetar ketika berkata, "lebih memperlakukanku seperti dia memperlakukan Vano."
Suara mesin motor mengusik ketenangan di antara mereka. "Gojek! Untuk Bang Aditya?" seru petugas go-food di depan pagar.
"Itu saya!" seru Aditya.
Tidak lama setelah itu, tiga motor juga muncul. Dua di antaranya menyerukan 'Gojek, untuk Bang Aditya?' dan satu menyerukan 'Grab, untuk Bang Aditya?'
Aditya menjawab ketiga motor itu dan mengambil keempat paket dengan senyuman lebar. Ia mengangkat kedua tangannya, seakan memamerkan kantong plastik yang ia bawa. Dua plastik putih, satu plastik hitam, dan satu lagi plastik bening. Vania tidak habis pikir mengapa seseorang memesan makanan sebanyak itu.
Ketika Aditya meletakkan semua makanan itu di atas meja di teras, ia mulai sibuk membukakan setiap plastik. Pertama, ia membuka plastik yang bening. Terlihat jelas isinya adalah minuman manis yang terbuat dari susu dan terdapat puding di bagian bawah. "Ini adalah minuman puding."
"Apa?" Vania memincingkan mata, berusaha memastikan tekstur dari minuman di depannya. Warnanya biru dengan corak kekuningan dan terdapat puding berwarna kuning di bawahnya. "Minuman... puding?"
Aditya mencobloskan sedotan berukuran besar pada minuman itu dan memberikannya pada Vania. "Daripada ngeliatin doang, mending dicoba."
Vania berkedip. Ia mendongak melihat Aditya.
"Gue beliin ini buat lo," kata Aditya dengan acuh tak acuh, "Ini semua buat lo?"
Gadis itu hanya bisa berkedip kembali. Buat aku? tanyanya dengan nada hampir berteriak dalam hati, Buat apa Aditya beliin aku makanan?
"Kenapa lo kayak kaget gitu?" tanya Aditya, "Ga pernah dijajanin ama cowok ya?"
Tiba-tiba Vania terbatuk, tersedak akan air liurnya sendiri yang entah bagaimana caranya. Tanpa pikir panjang, ia mengambil minuman yang disodorkan Aditya dan meminumnya untuk melegakan tenggorokkan. Satu detik, ia merasakan manis yang tidak terlalu manis. Dua detik, ia membelalakkan matanya, terkesima dengan begitu lezatnya minuman itu. Lupa sudah ia pada tenggorokkannya yang tersedak satu detik lalu.
"Hmmm!!" Mulut Vania terlalu penuh dengan cairan dan puding yang selembut sutra hingga ia tidak bisa membentuk kata-kata.
"Enak kan?" Aditya tertawa melihat perilaku Vania yang gemas. "Gue tahu lu ada masalah lambung, jadi sengaja ga pesan kopi atau teh. Terus gue pingin lo ngerasain minuman puding ini. Kebanyakan bahannya dari susu, jadi gue pikir harusnya aman."
Lagi-lagi Vania hanya bisa berkedip. Ia meneguk minuman di mulutnya. Aditya segitunya memikirkan gue sampai pesenin gue minuman yang gue bisa minum.
"Coba ini juga, Van," kata Aditya sembari membuka plastik putih dan menyodorkan sebuah kotak berisi martabak, "ini martabak asin kesukaan gue."
"Lo... beliin martabak buat gue juga?" tanya Vania.
Aditya menunjuk beragam makanan di atas meja; ada sekotak martabak asin, satu bungkus bubur goreng, dan satu styrofoam berisi kwetiau. "Ini semua buat lo," katanya dengan ringan.
"Hah?"
"Kan gue udah bilang, hari ini lo akan tahu lo suka makanan apa," katanya mantap.
Vania hanya dapat berkedip. "Ta– tapi gue ga bisa ngabisin ini semua, Dit!"
"Ga perlu dihabisin," kata Aditya, "lo cicip aja, terus lo kasih tahu gue favorit lo yang mana. Besok kita akan cicip makanan lain dan lo kasih tahu gue favorit lo yang mana. Gitu terus sampai akhirnya kita tahu makanan ter-favorit lo apa."
Rahang Vania seakan terjatuh dari wajahnya. "Ke– kenapa lo lakuin ini?"
Aditya menyendok bubur goreng yang ia sudah racik dengan daun bawang, bawang goreng, dan suwiran ayam kemudian mengarahkannya pada mulut Vania. Secara refleks, Vania membuka mulut. Rasa gurih dan lembut meledak di mulutnya. Mata Vania kembali membelalak lebar.
"Enak kan?" tanya Aditya dengan senyuman.
Kemudian ia mengambil sebuah martabak dengan tisu lalu memberikannya pada Vania untuk dicicipi. "Gue mau lo tahu kalau ga semua cowok kayak bokap lo," katanya, "ga semua cowo–"
"Cuma mikirin diri sendiri?" sambung Vania, "merasa perempuan lebih rendah dari mereka?"
Aditya mengangguk. "Lo itu orang tersendiri dan lo berhak mengejar cita-cita yang lo mau. Termasuk mengetahui makanan kesukaan lo."
Pemuda itu menoleh ke arah pintu masuk rumah. "Selama ini Ibu adalah pilarku," lanjutnya, "Meski dia terluka dan sakit, ia selalu tampil tegar dan selalu memprioritaskan diriku. Karenanya aku sudah lama menyadari betapa hebatnya perempuan."
Vania menunduk mendengar itu. "Terkadang... aku berharap Mami lebih seperti ibumu. Lebih... membelaku atau bahkan membela dirinya sendiri."
Sentuhan yang lembut membelai rambut Vania, membuat gadis itu bergeming kaku. Ia tidak berani mendongak untuk bertatapan dengan pemilik sentuhan itu.
"Kamu sudah berjuang keras, Van," kata Aditya dengan lembut, masih membelai rambut Vania, "kamu perempuan yang kuat. Aku selalu mengagumimu."
Kali ini Vania melirik ke atas, menangkap tatapan Aditya. Ia mencari kejenakaan atau bahkan kebohongan di mata Aditya, tetapi tidak menemukannya. Sorot mata Aditya begitu lembut, begitu hangat, tetapi di saat yang sama membuat gejolak rasa dalam dada Vania.
Aditya ngomong ke gue pake aku-kamu?? pikiran Vania seakan lari ke segala arah.
"Kamu... mengagumiku?" tanya Vania pelan, "kupikir cuma aku yang diam-diam..."
"Diam-diam apa?" tanya Aditya ketika Vania berhenti berkata.
"Diam-diam... berpikir kalau... kalau–"
"Kalau...?" Aditya mulai tersenyum lebar. Ia kini sudah berhenti membelai rambut Vania.
Vania berdeham, kemudian mengalihkan wajahnya. "Gajadi." Vania langsung memasukkan martabak ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan kedua pipi menggembung. Ia sengaja melakukan itu agar mengulur waktu tidak perlu menjawab pertanyaan Aditya karena mulut penuh.
Melihat tingkah Vania, Aditya malah tertawa terbahak-bahak.
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku