Keputusan Rasya tidak salah, kan? Dengan membiarkan Raya tidur sejenak di rumahnya. Toh, mereka tidak hanya berdua. Simbok bersedia menemani. Tak lama Rudi pulang dan terkejut mendapati putranya tidur di sofa ruang tengah.
"Rasya. Kok, tidur di sini? Pindah ke kamar sana!" perintah Rudi tanpa tahu apa yang sudah terjadi. Melihat jam dinding sudah jam sembilan malam, Rudi menggoyang tubuh Rasya sekali lagi.
"Kamar Rasya dipakai Raya, Pi. Biarin Rasya tidur di sini." Rasya menjawab dengan mata masih terpejam. Namun, seketika kantuknya hilang karena jawabannya sendiri.
Raya? Oh, gawat, Papi bisa salah paham, ini. Apa gue pura-pura tertidur aja kali, ya? Papi pasti langsung masuk kamar.
"Bangun sebentar, Rasya. Papi tahu kamu bisa jelasin sekarang. Atau besok pagi kamu mau masakin Papi sesuatu?"
"Ok, Pi. Rasya akan jelasin sekarang, aja." Daripada memasak Rasya lebih rela disuruh mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Pelajaran itu paling susah masuk ke otaknya.
"Jadi?" Rudi duduk di sofa berhadapan dengan putranya. Dia menyilangkan kedua lengan dengan ekspresi tak terbaca.
"Rasya kena perundungan, Pi. Rasya nggak tahu kejadiannya jadi telat nolongin."
"Perundungan?" Rudi mencondongkan badannya ke depan. Keningnya berkerut tak percaya. Jaman sekarang masih ada anak yang menghina temannya. "Gimana kondisinya sekarang? Perlu ke rumah sakit?" tanyanya lagi dengan nada khawatir.
"Enggak, Pi. Dia bilang cuma kedinginan dan lelah. Makanya pas Rasya tahu dia ketiduran, nggak tega mau bangunin."
"Jadi, sebelum Papi pulang kalian hanya berdua di rumah?" selidik Rudi.
"Piii! Rasya nggak sejahat itu. Simbok tidur di kamar Rasya juga nemenin dia." Lagian kalo cuma berdua, Rasya nggak bakal macem-macem kali, Pi.
Rudi lega, putranya masih bisa jaga diri dengan baik. "Ya, sudah. Malam ini biar Raya menginap saja. Kamu bisa tidur di kamar Papi."
Rasya menghela napas panjang. Lega rasanya setelah tahu reaksi Rudi sangat open minded.
Setelah dicek lagi tak ada pergerakan sama sekali dari kamarnya. Jadi Rasya langsung menuju kamar Rudi. Dia butuh istirahat juga setelah berusaha membujuk Raya dan seharian mengurus banyak hal.
***
Pagi itu sinar matahari memasuki sela-sela tirai jendela. Mata Raya berkejap beberapa kali karena silaunya. Saat pandangan menyapu seluruh ruangan, barulah dia sadar ini bukan kamarnya.
"Astaga! Gue tidur semalaman di sini?" Raya menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Gimana, ini? Mama pasti marah besar. Habis gue!"
Raya tidak mau terlalu lama berdiam diri. Dia bangun dan langsung keluar kamar. Tetapi begitu membuka pintu, ternyata Rasya berdiri di depan pintu sambil membawa nampan berisi sarapan.
"Pagi! Ini sarapan lo." Rasya menyodorkan nampan yang langsung diterima Raya.
"Sya, tunggu!" panggil Raya saat Rasya hendak beranjak pergi.
"Gue ... minta maaf ketiduran di kamar lo. Seharusnya lo bangunin gue."
Rasya memasukkan kedua tangannya di saku celana. Tatapannya tidak tajam, juga tidak lembut. "Gue nggak tega bangunin. Ya, udahlah. Mending lo sarapan terus gue antar pulang."
Raya sungguh merasa tidak enak, seharusnya dia tidak ketiduran dan seharusnya juga Rasya membangunkannya. "Semalam dia tidur di mana kalo kamarnya gue pakai?"
Raya menghabiskan sarapannya lalu membawa piringnya ke dapur. Di sana ada Simbok yang sedang membersihkan kompor dan peralatan bekas memasak.
"Eh, Mbak Raya, taruh saja di wastafel, biar Simbok yang cuci."
"Nggak apa-apa Mbok, saya bantu sekalian saja." Tanpa canggung Raya mencuci semua sampai bersih dan meletakkan di rak. Dia sudah biasa melakukan itu di rumah. Apalagi setelah papanya meninggal Nina jarang sekali memasak buat keluarga.
"Semalam Simbok disuruh tidur nemenin Mbak Raya di kamar Mas Rasya. Dia nggak tega mau bangunin."
"Oya? Terus Rasya tidur di mana, Mbok?"
"Biasanya di kamar Pak Rudi. Beliau tahu kalau Mbak nginep."
Entah apa yang Raya rasakan sekarang, masalahnya belum selesai karena memang tidak sesederhana itu. Dan sekarang dia malah merepotkan Rasya.
"Mbak, jangan gampang nyerah, ya. Mereka yang salah, bukan Mbak Raya. Jadi berhenti mikir buat lakuin hal yang membuat mereka menang. Lawan sampai titik darah penghabisan," ujar Simbok dengan semangat.
Raya tersenyum sekaligus ingin menangis rasanya. Air mata sudah berkumpul di sudut pelupuk mata. Tak menunggu lama menetes dan langsung dihapus Raya. Simbok ini sudah tua, pasti sudah banyak pengalaman hidup yang dia dapatkan. Tak ada salahnya mendengar saran dari orang tua. Meskipun dia orang asing, selama yang dia katakan benar, kita patut mempertimbangkannya.
"Baju Mbak Raya sudah kering dan wangi saya setrika. Tadi saya taruh di kamar mandi kamarnya Mas Rasya."
"Makasih buat semuanya ya, Mbok!"
Simbok tersenyum. Tangannya terulur mengelus puncak kepala Raya. "Kamu masih muda, jadi nikmati hidupmu. Jangan dengarkan mereka yang bisanya menyakiti orang lain."
Raya mengangguk. Hatinya lebih tenang setelah mendengar petuah beliau. Rasya yang mendengarkan diam-diam tersenyum lega. Apa yang dikatakan Simbok adalah permintaannya. Meskipun latihan tidak sebanyak itu, prakteknya melebih espektasi.
Dalam perjalanan pulang Raya mulai cemas lagi. Bagaimana menghadapi kemarahan Nina karena tidak pulang semalam. Ponselnya sudah banyak panggilan dari Tio dan Donna. Tapi dia sengaja tidak menjawab, karena bingung mau menjelaskan dari mana.
"Lo kenapa?" Rasya menoleh sesekali ke arah Raya yang terlihat cemas.
"Meski sudah bisa ditebak bakal dimarahi, tetep aja gue nggak siap. Mau jelasin apa, coba?"
"Gue semalam sudah hubungi Kak Tio dan jelasin lo ada tugas yang harus dikerjakan berkelompok."
"Terus dia bilang apa?"
"Bilang apa? Ya, cuma bilang semangat nugas dan nitipin lo ke gue."
Mata Raya melebar. "Nitipin gue? Ke lo?" Raya mengubah posisi duduknya sedikit ke arah Rasya.
Rasya menanggapi hanya mengangkat kedua bahunya. "Tanya sendiri aja sama kakak lo."
Mobil kembali berjalan setelah lampu hijau menyala. Tio memang rese', buat apa nitip segala. Bukannya jemput adiknya biar bisa pulang dan tidur di rumah sendiri.
"Nggak usah mikir yang aneh-aneh." Rasya tidak begitu khawatir menghadapi reaksi keluarga Raya nanti. Toh, Tio tahu siapa dirinya. Apalagi semalam Rudi membantunya bicara.
"Sya, mendingan gue turun di sini aja. Lo nggak usah ikutan masuk." Raya tidak mau Rasya melihat dia dimarahi Nina. Selain malu dia tak nyaman kalau cowok itu terlalu banyak melihat tentang hidupnya.
"Kenapa? Gue nggak bisa jadi pengecut, nganterin anak orang di jalan." Rasya tidak memedulikan permintaan Raya. Dia tetap memasukkan mobilnya hingga ke depan rumah Raya.
"Gue cuma nggak mau lo terlalu banyak lihat real life gue." Percuma mau pakai alasan bejibun juga, soalnya cowok ini kan terus keukeuh sama apa yang dia mau. Apalagi yang menurut dia benar.
Rasya tertegun sejenak. "Bukannya gue udah tahu banyak, ya? Apa bedanya kalo sekarang gue lihat lagi?" Rasya menghentikan mobil tepat di dekat gang rumah Raya. Dia sempurna menghadapi cewek itu dan menatap matanya. "Gue peduli sama lo, terlepas siapa lo dan apa yang lo alami. Bodo amat juga apa kata orang, anggapan lo aja, gue nggak peduli. Gue cuma mau berbuat baik. Titik."
Gugup menyerang Raya. Dia berusaha mengalihkan pandangannya, tapi tatapan Rasya seolah-olah menahannya tetap di tempat.
***