Raya tidak bisa melawan saat dipaksa ikut ke kamar mandi. Sekolah makin sepi dan satpam juga mungkin fokus di depan gerbang sekolah. Raya tidak bisa berharap keajaiban, ada orang yang datang ke sana, lalu membantunya.
Keterlaluan. Satu kata yang bisa menggambarkan tindakan Eca dan gengnya. Raya diguyur air kotor yang bercampur sampah. Basah kuyup dan bau menyengat langsung mengganggu penciuman. Menggigil dan putus asa, entah apa lagi yang akan dilakukan Eca, Raya sudah tak ada tenaga lagi. Lelah menyapu dan mengepel hingga berulangkali, dalam kondisi perut kosong membuat Raya lemas.
"Udah cukup, Guys. Kita tinggalin dia di sini." Eca melepas sarung tangan dan membuangnya.
Menyusul dua temannya melakukan hal yang sama. Mereka menatap jijik dan mencemooh seorang Raya yang meringkuk di pojokan. Di luar hujan turun dengan deras disertai petir. Tangis Raya pecah, sekencang apa pun suaranya, mustahil orang akan dengar.
Dia mengambil ponsel di saku baju, kondisinya parah. Mati dan tidak bisa dinyalakan. Entah karena lowbat atau sudah rusak, Raya tidak tahu. Tetapi dia berharap ponselnya aman. Kalau sampai rusak, entah apa akibatnya nanti. Dia pasti kena marah Nina lagi.
Jaket yang dipakai, ternyata masih belum bisa menghangatkan tubuhnya. Mungkin seharusnya dia ganti baju yang kering.
Jangan nyerah, Raya! Bertahan dikit lagi, lo harus keluar dari sini dan pulang.
Raya ingat kondisinya yang bau dan kotor. Dia nggak tahu apa taksi akan mau mengantarnya. Mau order ojek online, ponselnya mati. Tepat saat hujan berhenti, Raya dapat ide. Dia berusaha berdiri dan berjalan perlahan keluar.
"Gue harus bisa jalan sampai ke pos satpam. Tahan dikit, Raya. Lo pasti bisa," gumam Raya untuk memotivasi supaya tidak lemah.
Sampai di pos satpam, tidak ada orang. Raya menggaruk rambutnya yang mulai tidak nyaman.
"Ray, lo masih di sini?" Rasya mencium bau tidak sedap. "Ini bau dari mana, sih?" Rasya mencari sumber bau yang mengganggu.
Saat mendekati Raya bau itu makin kencang. Rasya mulai menangkap ada yang aneh. Rambut gadis itu basah kuyup dan dia menggigil.
"Ray, lo kenapa?"
"Stop! Berhenti di situ! Jangan deketin gue!" cegah Raya. Dia tidak mau kena masalah lagi. Entah Eca sudah pulang atau belum, tapi dia ingin jauh-jauh dari cowok yang membuatnya seperti ini.
Rasya sontak menghentikan langkahnya. Setelah melihat dengan jelas, rambut Raya ada kotoran yang tidak terlihat kalau dari jauh. Dia pikir tadi basah karena gadis itu kehujanan. Ternyata bukan itu sebabnya. Firasat buruk menghampiri Rasya seketika.
"Siapa yang lakuin ini?"
Raya menoleh dengan tatapan penuh kesedihan. Dia ingin marah tapi Rasya tidak bersalah apa pun. Ingin pulang tapi dengan kondisi sekarang dia pasti akan kena masalah lagi di rumah. Belum nanti Kak Tio akan khawatir. Jawaban Raya hanya gelengan kepala.
"Lo nggak baik-baik aja, Ray! Cerita sama gue siapa yang udah lakuin ini sama lo?" Rasya bersikeras lebih mendekat. Dia sudah tidak peduli bau dan kotornya Raya.
"Ya udah, karena lo belum mau jawab. Gue anterin lo pulang."
"Jangan! Jangan sekarang, Sya! Gue mohon," sela Raya cepat.
Rasya menghela napas panjang. Dia tahu situasi Raya sedang tidak ingin didekati. Tetapi kalau hanya diam saja, dia bisa sakit. "Ray, lo ke rumah gue dulu aja. Lo bisa ganti baju di sana, seperti waktu itu. Jadi pulang ke rumah lo udah bersih."
Saran Rasya ada benarnya. Raya dilema antara tidak mau ada masalah dengan Eca dengan menjauhi Rasya. Tetapi di sisi lain dia tidak bisa ke manapun dalam kondisi kotor dan bau.
"Ray, kalo kelamaan di sini lo bisa sakit. Langitnya udah gelap lagi, tuh!"
Raya mendongak. Benar kata Rasya. Sebentar lagi hujan pasti turun lagi. "Tapi mobil lo ntar kotor, Sya."
"Kotor masih bisa dibersihin. Tapi kalo lo sampe sakit, gue yang khawatir." Rasya menggigit bibir dalamnya sambil menoleh ke arah lain. Lagi-lagi dia kelepasan. Lama-lama dia geregetan sendiri menghadapi Raya. Kenapa sih, tidak langsung nurut saja tanpa protes, gitu.
Tak ada waktu setelah kalimat Rasya meluncur. Petir tiba-tiba muncul dan membuat Raya reflek bergeser lebih dekat ke Rasya.
"Dibilangin nggak percaya." Rasya berbalik dan berjalan lebih dulu ke mobilnya.
Raya menyusul dan sempat terdiam di depan pintu.
"Masuk, Ray! Keburu petirnya dateng lagi, lho!"
Kali ini Raya menurut. Gue utang lagi sama lo, Sya. Entah, gue bisa bayar kebaikan lo atau nggak. Karena apa yang ingin gue lakuin akan berimbas buruk ke gue. Mungkin juga ke lo.
"Mending lo kirim pesan ke kakak lo. Takutnya dia khawatir."
"Ponsel gue mati. Nggak tahu karena batereinya habis atau rusak kena air."
Rasya mengambil kabel pengisi daya di samping kursinya. "Coba diisi daya pake ini."
"Haaaah, syukurlah. Ternyata cuma batereinya habis. Kalo sampe rusak, entah apa reaksi Mama." Raya lega satu ketakutannya bisa hilang. Ponselnya baik-baik saja.
"Mama lo masih semarah itu sama lo?" Rasya bertanya dengan suara pelan dan tidak memaksa.
Raya diam dan melihat pemandangan luar dari kaca jendela di sampingnya. Hujan mulai turun tapi tak sederas tadi. Mobil masih bisa berjalan dengan jarak aman.
***
Jawaban dari pertanyaan tadi tidak Rasya dapatkan. Bukan masalah karena baginya sekarang, kondisi Raya baik-baik saja. Setiap kali datang ke rumahnya gadis itu sedang terkena masalah besar. Ada harapan terucap semoga kunjungan Raya berikutnya semua dalam keadaan baik dan ada bahagia di sana.
Kalo kedua Raya memasuki kamar Rasya. Baju yang dipinjamkan juga sama. Kenangan waktu papanya meninggal kembali tanpa permisi. Hari itu di kamar yang sama, baju yang sama, dia menangis terisak. Hari itu juga dia seperti mengalami kehilangan dua hal sekaligus. Sosok papa dan kasih sayang mamanya.
"Ray, udah selesai?" Terdengar ketukan pintu dan suara lirih Rasya memanggil. "Ray, gue masuk, ya?" tanya Rasya lagi sambil membuka pintu perlahan.
Begitu pintu terbuka, dia menemukan Raya tertidur di atas sofa dekat jendela. "Hhh, lo pasti lelah luar biasa. Takut dan kedinginan juga. Gue punya firasat semua ini ulah Eca, Ray. Kalo lo bangun nanti gue harap lo jujur sama gue. Karena gue yakin bisa bantu."
Iya, Raya pada awalnya hanya ingin duduk di sofa sebentar sambil melihat matahari dari jendela. Tapi empuknya sofa malah seperti menariknya untuk berbaring dan tidur.
Rasya mengambil selimut dan menutupi badan Raya. Pendingin ruangan dinaikkan supaya tidak terlalu dingin. Dia biarkan Raya beristirahat di sana. Soal pulang ke rumah dia akan tanggung jawab nanti.
"Mas Rasya, apa saya boleh pulang?" tanya asisten rumah tangga. Makanan sudah disiapkan dan bekas makan malam nanti akan dia cuci besok pagi-pagi sekali.
"Mbok, malam ini apa bisa menginap di sini, aja? Tolong temani Raya tidur di kamar saya. Kasihan dia, Mbok."
Simbok melihat gadis yang pernah diajak sebelumnya oleh Rasya. Tanpa menunda lagi Simbok mengangguk. Tidak tega juga melihat gadis ringkih itu tertidur di sofa.
***