"Baik, saya akan nilai sesuai nomor presensi." Guru mulai manggil siswa runut dari bawah. Biasanya dari nomor urut satu, sepertinya hari ini beliau ingin membuat perbedaan.
Sebelum giliran jatuh padanya, Raya coba berlatih sendiri. Karena dimulai dari nomor terbawah, otomatis Raya tidak ada banyak waktu. Tetapi dia ingin mengusahakan yang terbaik. Jujur, semua perubahan yang serba cepat ini berkat Donna. Caranya yang sedikit memaksa dan tidak banyak bicara membuat Raya mempertimbangkan sarannya. Untuknya tidak selalu menggubris apa kata orang.
Kalo ini Raya berpasangan dengan Rasya. Supaya lebih seru, guru memasangkan dengan siswa dari kelas yang berbeda. Kebetulan Raya nomor presensinya sama dengan Rasya.
"Duh, kenapa sama Rasya, sih? Pasti ntar diejek kalo gagal," gumam Raya sambil bangkit dari duduknya.
"Inget kata gue. Fokus sama penilaiannya, jangan lihat hal lain, termasuk siapa pasangan lo." Donna berbisik supaya tidak banyak orang dengar. Dia cukup melihat saja cowok itu ada perhatian khusus pada teman sebangkunya. Sedangkan Raya memang tidak peka atau pura-pura tak tahu.
Pemandangan itu tentu saja dibenci Eca, matanya dari tadi tidak lepas dari Rasya. Dia berharap sekali bisa berpasangan sama cowok itu. Sayang, harapannya pupus begitu saja.
Ada bagusnya juga ide Pak Guru kali ini. Selain supaya tidak bisa, beliau juga berharap mereka bisa saling kerjasama meskipun bukan teman sekelas.
"Makasih, Don. Doain gue, ya."
"Doa sendiri lah. Gue juga nggak minta lo, kan." Kata-kata Donna memang ketus kedengarannya. Tetapi entah kenapa Raya merasa dia tulus, tidak penuh kepura-puraan.
"Iya, gue akan doa sendiri." Raya tersenyum.
Rasya sudah siap di depan Raya. Kemampuan cowok itu tidak perlu diragukan lagi. Raya sempat mendengar dia pernah bergabung dengan tim profesional. Sayang, mimpinya harus terkubur karena cedera lumayan parah, akibat kecelakaan.
Dia pasti sedih banget waktu itu. Udah ganteng, banyak yang suka, pinter basket, kurang apa lagi, coba? Hh, dia kurang tertawa, senyum aja, jarang.
Raya menggelengkan kepalanya beberapa kali. Gawat kalau dia melamun kelamaan. Menyesal sempat kepikiran cowok menyebalkan, tapi sudah pernah berjasa buatnya.
"Ray, fokus! Kalo kepala lo kena bola, jangan salahin gue." Rasya memberi peringatan saat melihat Raya malah melamun tidak jelas.
"I-iya!" Raya bersiap mengambil posisi sesuai yang dicontohkan guru.
Dribble pertama diawali oleh Rasya, sesuai aturan hanya boleh melangkah tiga kali langsung dioper ke pasangan. Sudah bisa diduga Rasya bisa melakukannya dengan sangat lancar.
Begitu giliran Raya, tangannya malah gemetar. Payah, bola lepas dan Raya harus mengejarnya hingga dapat. Dia ditertawakan, dan yang paling senang melihat Raya gagal, siapa lagi? Eca dan gengnya.
"Awas, ntar terbang! Anginnya kenceng, loh!" Entah siapa yang bilang, tapi cukup jelas di telinga Raya.
Lo harus belajar nggak gubris omongan orang. Kalimat Donna terngiang di saat yang tepat. Raya harus membuat telinganya tuli. Paling tidak sampai gilirannya selesai. Kalau tidak dimulai sekarang, mau kapan lagi.
Kesempatan masih diberikan oleh guru. Dan kali ini Raya berhasil. Bahkan dengan lancar bisa beberapa kali putaran.
"Stop, Raya dan Rasya. Good job, Raya. Terus tingkatkan semangat belajarnya, ya!" Guru tersebut lega melihat peningkatan positif. Siswinya satu ini memang berbeda. Biasanya dia akan putus asa dan menyerah. Untuk itu pantas rasanya dia memberi pujian.
Raya mengangguk sambil tersenyum. "Makasih, Pak!" Raya segera menyingkir, giliran presensi berikutnya sudah dipanggil.
Langkah Raya terhenti mendadak. Ternyata ulah Rasya yang menahan lengannya.
"Sya, lepasin gue. Dilihatin, tuh!" Raya memalingkan wajah ke arah lain. Dia tidak ingin melihat reaksi teman-temannya.
"Diem sebentar!" Rasya tiba-tiba jongkok. Aksinya itu tentu saja mengundang sorakan teman-temannya.
"Lo mau ngapain, Sya?" Raya sadar saat Rasya mengikatkan tali sepatunya. Rupanya sudah lepas beberapa saat lalu. Untung dia tidak jatuh pas penilaian.
Sorakan membahana dan sempat membuat guru mereka tersenyum. Bahkan Donna yang biasanya enggan bereaksi, dia tersenyum tipis.
Hanya satu orang yang tidak suka melihat adegan sok romantis itu. Eca mencengkeram celana olah raganya. Tatapan Rasya pada Raya sudah sangat jelas baginya. Dia tidak bisa meraih cowok itu. Semua jelas dan terpampang nyata kalau sudah terjadi sesuatu di antara mereka berdua. Sudah begini ego Eca masih besar. Dia tidak terima dan berencana merebut perhatian Rasya hanya untuknya. Kalau dia tidak bisa meraih cowok itu, cewek lain juga tidak.
***
"Selamat ya, Raya. Wah, aku salut loh, sama kemajuan kamu. Guru aja sampe muji. Selamat, ya!" Tini mengulurkan tangannya.
Selesai usai pelajaran olahraga, siswa kembali harus berganti seragam. Raya selalu menunggu toilet tidak banyak orang. Sebenarnya dia tidak sendirian. Donna yang mengajak barengan, harus balik ke kelas untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Saat itulah, anteknya Eca datang. Kebetulan yang sama sekali tak diharapkan.
Tak lama Eca dan antek satunya menyusul. Tumben sekali mereka belakangan ganti baju. Biasanya juga lebih dulu dan sering banget menyerobot antrian.
Tini melipir. Tangannya ditarik lagi. Raya meragukan ketulusan ucapan Tini. Karena itu juga dia tidak menyambut uluran tangannya.
"Jangan ngerasa di atas angin dulu. Kalo mau aman mending lo jauh-jauh dari Rasya. Lo sadar kan, dia terlalu baik dari segala sisi dibanding lo. Nggak seimbang. Paham??" Anak seorang donatur terbesar di sekolah, mulai menunjukkan taringnya.
Eca memang menakutkan. Cara bicaranya lembut tapi penuh ancaman. Wajah cantiknya, badannya yang proporsional, ternyata beda jauh dengan sifat aslinya.
Keringat dingin mulai membasahi tubuh Raya. Dia mundur. Ternyata dia belum sekuat yang diharapkan. Semua yang dikatakan Donna tadi tidak bekerja sekarang. Mustahil Raya mengabaikan semua ancaman Eca.
Sekelebat perlakuan perundung di masa SMP muncul lagi. Dengan alasan berbeda, Raya dirundung lagi. Siswi yang melihat tak ingin ikut campur. Mereka memilih aman dan tetap sejahtera sekolah di sana. Eca selalu membanggakan jasa orangtuanya yang mengeluarkan banyak dana, untuk membuat fasilitas di sekolah begitu nyaman. Dengan patuh padanya, itu sama saja balas budi.
"Kalo Raya nggak pantas buat Rasya, siapa yang pantas? Yang pasti bukan lo." Donna datang tepat waktu.
Rasya yang sengaja menuju toilet perempuan demi mengecek Raya, bergegas mendekat. Tetapi Donna lebih cepat sampai dan menyelamatkannya. Tidak masalah, Rasya akan melihat dari jarak jauh. Dilihat dari situasinya, Donna cukup pintar mengatasi keadaan.
"Kamu itu seharusnya ada di pihak kami," ujar Sisi menengahi.
"Kata siapa harus? Emang kalian siapa? Jangan sombong, semua kekayaan yang kalian banggain, masih milik orangtua. Jangan atur-atur gue, selama kalian nggak bisa hasilin uang sendiri." Skakmat. Donna sudah kesal dari awal melihat ulah mereka yang seenaknya sendiri.
***