"Ada yang lagaknya mau jadi pahlawan kesorean. Ini bukan urusan lo." Eca tidak gentar sedikitpun.
Eca ini benar-benar jumawa, merasa tidak akan ada yang berani mengusik, apa pun kesalahannya. Donna tidak bisa gegabah melawan. Bukan hanya dirinya saja yang akan kena masalah. Tapi Raya juga akan dapat imbasnya.
Melihat Donna mulai kehabisan akal, Rasya keluar dari persembunyian. Dia sengaja masih memakai kaos olahraga, supaya ada alasan kalau ada yang tanya.
"Heh, ngapain rame-rame di sini?" Tatapannya tak lepas dari Raya yang sudah tertunduk ketakutan. Tangannya mencengkeram lengan Donna, untuk mencegah tindakan yang tak terkendali.
"Lo ngapain lagi sih, Ca? Cari masalah mulu, apa nggak bosen, lo?"
Seketika ekspresi Eca berubah 180 derajat. Sok manis dan memutarbalikkan fakta yang sudah dia lihat sejak awal.
"Gue nggak cari masalah, Rasya. Sahabat gue cuma tanya sama Raya, terus ngajakin ngobrol. Eeh, Donna dateng langsung nuduh kita yang enggak-enggak."
Donna membuang mukanya malas. Mulai deh, drama sok jadi korban, cuma dia yang paling bener. Males.
"Kita duluan ganti. Nggak usah ikutan drama mereka," bisik Donna lalu menarik tangan Raya masuk ke toilet.
"Eh, jangan kabur kalian!" Tini keceplosan. Seharusnya dia udak bereaksi berlebihan, toh semua juga mau ganti baju, kan.
Rasya langsung menatap tajam Tini yang langsung menunduk ketakutan. Duh, setelah ini dia habis sama Eca. Sisi menenangkan supaya Tini diam saja. Jangan banyak bicara.
"Kalian kalo mau cepet pake toilet lain, deh! Kelas kalian mau pelajaran Kimia, kan. Inget aja, siswa yang terlambat di pelajaran Kimia nggak pernah ada yang selamat."
"Oh iya, Ca, udah deh, kita mbalik aja, yok!" Tini lagi-lagi panik dan keceplosan. Dia langsung diam dipelototi Eca.
Rasya sendiri masuk ke toilet cowok tanpa peduli lagi. Raya sudah aman. Dia bisa lega dan segera kembali ke kelas.
Eca dan teman-temannya memasuki kelas tepat saat guru Kimia sampai di depan pintu. Mereka berlari secepat mungkin sampai kaki Tini kebentur bangkunya sendiri. Beruntung hari itu gurunya lagi good mood. Ketiganya selamat dari hukuman yang sudah pasti susah dan memalukan.
Sialan! Gue akan balas kalian. Dan guru Kimia ini, kalo sampai berani hukum gue, nggak bakal selamat ngajar di sini.
***
Tio menunggu di depan gerbang sejak lima belas menit sebelum bel pulang dibunyikan. Dia tidak mungkin salah mengira Raya menghindarinya. Setelah Papa meninggal dan perubahan Mama, Raya tidak lagi mau cerita padanya. Sebagai laki-laki di rumah, kewajibannya menjaga semuanya tetap baik-baik saja.
Begitu pintu gerbang dibuka dan siswa-siswa keluar, Tio keluar dari mobil. Seperti biasa penampilan Tio, mau sesederhana apa pun tetap menarik perhatian siswi yang lewat.
Matanya tak lepas mencari Raya di antara kerumunan orang. Tidak begitu sulit karena Raya tadi pagi memakai kardigan warna ungu muda. Tio tinggal melihat siswi dengan ciri itu.
Saat matanya menangkap Raya berjalan keluar, Tio melambaikan tangannya. Bersamaan dengan itu dia tertegun Raya tersenyum. Bahkan nyaris menjadi tawa. Namun, lengkung bibir itu perlahan memudar saat mata mereka bertemu.
"Itu kakak lo?" Donna memberikan tote bag yang sempat dibawanya saat Raya membetulkan tali sepatu.
"Iya, dia Kak Tio. Gue pengen balik bareng sama lo aja!"
"Jangan gila, deh! Lo udah dijemput kakak lo, pake mobil, nggak kepanasan. Kalo sama gue ntar item lo! Mana mendung mau hujan."
Karena Raya masih diam di tempatnya, Tio inisiatif menghampiri. Dia ingin berkenalan dengan teman cewek yang bersama adiknya. Sepertinya dia membawa hal positif untuk adiknya.
"Halo, teman sekelas Raya? Boleh kenalan? Saya Tio, kakaknya Raya."
"Iya, Kak. Saya Donna." Donna menyambut uluran tangan Tio tanpa canggung. Dia tersenyum tipis, sekadar menghormati yang lebih tua.
"Gue duluan, ya? Makasih banyak udah bantu gue hari ini."
"Apaan, sih. Santai, aja!"
"Donna mau bareng?" Tio menawari. Tak ada salahnya, kan. Apalagi dia teman pertama yang terlihat bisa akrab dengan Raya selain Rasya.
"Gue bawa motor, Kak. Tadi nganterin Raya dulu sampe dapet taksi. Tapi udah sama Kak Tio, jadi gue pergi."
Tio menyembunyikan keheranannya, kenapa Donna harus mengantar Raya ke gerbang sampai dapat taksi. Padahal biasanya kalau tidak ada yang jemput, Raya naik taksi sendiri. Kebetulan ojek langganan Raya sudah berhenti. Tapi tidak ada masalah dengan itu. Kenapa hari ini dia sampai harus diantar?
Suasana di mobil benar-benar senyap. Tak ada yang mulai ngomong. Tio sebenarnya sudah gatal mau bertanya dan minta kejelasan. Tetapi melihat wajah lelah dan stres menahan niatnya.
Mama mereka sekarang makin sibuk di kantor. Setelah Papa meninggal, Mama menerima tawaran kerja di kantor temannya. Itu bagus, Tio berharap bisa mengalihkan pikiran negatifnya. Termasuk terus menerus menyalahkan Raya. Niat baiknya sering dapat reaksi kurang puas dari Nina.
"Kak Tio nggak ke kampus?" tanya Raya begitu masuk rumah.
Tio menggeleng. Langkahnya langsung ke dapur sambil membawa satu tas lumayan besar. Raya melihat kakaknya agak kesulitan memasukkan barang ke kulkas.
"Sini, biar aku aja, yang rapihin!" Raya merapikan stok yang sudah ada di kulkas. Lalu baru memasukkan stok baru.
Tio menunggu sambil membuat minuman dingin untuk mereka berdua. "Kak Tio beli kue kesukaan kamu. Kalo sudah beres, temenin Kakak makan ya? Ada nasi padang juga buat kita makan siang."
Raya mencuci tangannya lalu menyusul Tio. Di sana sudah ada sepiring potongan kue tiramisu dan dua piring nasi padang. Di antara makanan enak, dia gelas jus jeruk juga sudah tersedia.
Kalau begini apa Raya bisa menolak? Semua kebencian Nina, bukan salah Tio. Tak seharusnya Raya lampiaskan kemarahannya pada kakaknya itu. Untung Tio lebih dewasa dan paham situasi yang dialami adik semata wayangnya.
Ada kekhawatiran kalau Raya akan menolak lagi. Tetapi begitu adiknya duduk di sebelahnya dan meminum jus, napas lega langsung diembuskan.
"Syukurlah. Mari makan!" Momen ini yang akhirnya bisa mencairkan suasana. Raya tidak suka banyak bicara. Sedangkan Tio terlalu banyak ragu dan berprasangka sebelum menjalankan niatnya. Jadilah komunikasi yang buruk.
Setelah bersih-bersih badan, Tio ingin berbicara serius dengan Raya lebih dulu. Dia harus bisa membuat keluarga ini hangat lagi. Selanjutnya ada rahasia yang harus dia kuak dari Raya. Nina pernah memintanya mengajak ngobrol Raya sebelum papanya meninggal. Meskipun Nina sedang membenci Raya tanpa sebab yang jelas, dia tidak akan berhenti.
***
"Kita perlu bicara supaya nggak ada salah paham lagi, Dek."
Raya mengangguk. Dia langsung setuju saat Tio mengatakan keinginannya untuk bicara dari hati ke hati.
"Kakak tahu kamu ngehindarin Kakak karena Mama. Kakak nggak bisa salahin kamu. Itu reaksi wajar yang mungkin Kakak akan lakuin hal sama kayak kamu. Tapi kita nggak bisa diemin suasana makin buruk. So, please, jangan menghindar lagi. Mending kamu ngomong apa yang kamu mau. Kita bisa diskusi."
"Maafin aku, Kak. Aku memang sempat benci Kak Tio. Kenapa aku yang disalahkan Mama atas meninggalnya Papa? Kalau soal beli hadiah, bukan cuma hadiahku aja yang Papa beli. Punya Kak Tio juga. Raya frustrasi, nggak ngerti sama Mama. Maafin, Raya, Kak!"
Ada sedikit lega merayapi diri Raya. Selama ini dia menyimpannya sendiri. Selama ini kalau diingat-ingat, Darto lebih dekat dengan Raya dibanding Tio. Tapi bukan berarti dia nggak ada stok kasih sayang untuk Tio. Raya lebih banyak cerita dan manja pada Darto. Sedangkan, Tio lebih banyak menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Kakak paham. Jangan minta maaf lagi." Tio memeluk adiknya erat. Hhh, akhirnya tak perlu drama yang rumit, kesalahpahaman bisa diurai.
"Kita sekarang sudah baikan, dong! Kakak lega, kepikiran terus sampe nggak fokus bimbingan skripsi."
"Kak, Raya juga mau jujur soal sesuatu."
Tio menatap adiknya. Apa ini rahasia Raya yang harus Tio cari? Kalau benar, Tuhan sangat baik memudahkan semua rencananya.
"Kamu mau cerita? Kakak dengerin, sampe malem juga nggak apa-apa. Besok libur, kan?"
Raya gugup. Duduknya tak lagi nyaman, karena akan membuka luka lama. Tapi sudah saatnya dia harus jujur pada Tio, sebagai anggota keluarga. Jujur tentang semua yang dia alami dulu. Mungkin terlambat, tapi dia butuh dukungan orang terdekatnya supaya bisa menghilangkan traumanya.
"Raya pengen sembuh, Kak."
Deg! Tio menegakkan tubuhnya.
***