Raya menyelesaikan hari ini lebih baik dari hari kemarin. Pelajaran Matematika yang sejak SD jadi hantu pertama baginya, perlahan berubah. Tidak semenakutkan dulu. Dia belum sepenuhnya bisa, tapi paling tidak ketakutannya berkurang. Sehingga dalam berpikir dan menentukan langkah solusi soal, Raya lebih tenang dan fokus.
"Raya!" tiba-tiba saja Rasya sudah di depan pintu kelasnya.
Situasi sudah sepi karena Raya memilih belakangan keluar kelas. Dia tidak suka harus berjalan cepat-cepat di antara siswa yang bersamaan menuju pintu gerbang sekolah atau tempat parkir untuk mengambil motor. Situasi ini dimanfaatkan Rasya untuk mendekati Raya, sepertinya.
"Gue ikut seneng lo lebih baik hari ini." Rasya menyusul langkah Raya.
"Maksudnya apa, sih? Lo tuh, nggak jelas." Raya terus berjalan sambil menanggapi cowok menyebalkan di sebelahnya.
Begitu sampai di depan, Tio sudah menunggu. Hari ini giliran dia jemput adiknya. Kalau bukan Tio, Nina atau kalau tidak ada yang bisa, ada ojek langganan yang tinggal di dekat rumah Raya.
"Gue duluan." Raya merapatkan jaketnya lalu menaiki motor.
Rasya tidak menghalangi langkah Raya, karena memang tujuannya bukan itu. Rasya tertarik dengan Raya karena satu hal. Cewek itu mengingatkan dia pada seseorang di Jakarta. Sosok yang membuat dirinya jadi seperti sekarang. Kebetulan sekali Raya pernah tinggal di kota metropolitan itu. Makin penasaran lah, dia.
Tio sempat memperhatikan ada cowok yang mengikuti adiknya. Tadinya mau turun dan menegur, karena melihat adiknya yang terlihat tidak nyaman. Tapi sepertinya dia tidak berusaha mengganggu, bahkan menganggukkan kepala menyapa. Tentu saja Tio membalas sapaan itu dengan mengangguk juga.
"Tadi siapa, Dek?"
"Cuma temen." Lana menjawab singkat. Kelihatan sekali dia malas membahas yang katanya teman itu.
"Ooh, kirain pacar atau crush kamu." Tio tidak mendapat jawaban lagi. "Kamu ngantuk, Dek?" lanjutnya.
"Enggak, Kak! Aku cuma pengen cepet balik."
Tio tersenyum. Padahal kalau memang adiknya itu suka juga tidak masalah. Asal bisa membuatnya bisa jadi lebih ceria dan terbuka dengan keluarganya sendiri.
Sepeninggal Raya, Rasya menuju mobilnya lalu meninggalkan sekolah yang makin sepi. Belum jauh meninggalkan gerbang sekolah, ada telepon masuk di ponselnya. Rasya memutar kemudi ke arah kiri, sebuah lapangan rumput yang cukup luas jadi tempatnya menghentikan mobil sejenak.
"Halo. Gimana hasilnya?" Seseorang di seberang menjawab kalau orang yang dicari ternyata satu sekolah dengannya. Informasi detail lainnya belum dapat lagi.
"Ok, makasih banyak, Om." Rasya menyandarkan kepalanya. Dia sadar sepenuhnya mencari orang dengan ciri-ciri yang kurang detail, pasti banyak kendala. Apalagi kejadian itu sudah empat tahun berlalu.
***
Hari ini pelajaran olahraga entah ke berapa. Awalnya Raya melewatkan jadwal dengan alasan sakit perut karena datang bulan. Kalo ini Raya tidak mungkin melakukan itu lagi. Guru olahraga sekolah ini seorang pria juga. Tetapi usianya paruh baya, sudah berkeluarga dan anaknya juga seusia dirinya. Itu hal yang beliau katakan waktu perkenalan di awal pertemuan.
Meskipun otaknya terus berusaha mensugesti kalau sosok ini berbeda. Dia bisa membatasi dirinya sendiri saat harus berinteraksi langsung. Hari ini senam lantai menjadi tema yang harus dipelajari. Beliau mempraktekkan cara roll depan dan roll belakang, yang aman dan benar. Beberapa matras sudah disiapkan di aula, semua siswa juga sudah melepas sepatu masing-masing.
Saat giliran siswa mempraktekkan sendiri, Raya mengira kalau guru tersebut akan ikut membantu. Benar beliau membantu tapi tidak selalu kontak fisik. Raya benar-benar memperhatikan dengan detail. Satu persatu teman perempuannya melakukan dengan aman. Tidak ada perlakuan yang berlebihan.
"Baik, Raya silakan giliran kamu!" Pak Guru menepi setelah matras diluruskan ke posisi semula.
Ragu datang, tiba-tiba saja bayangan sosok guru amoral di masa lalunya mengganggu. Raya memejamkan mata, mengambil napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia tidak mau bertindak aneh karena ingatan buruknya muncul.
Raya, ini tempat lain, gurunya juga lain. Beliau tidak sama dengan orang di masa lalu. Tenang dan fokus. Lakukan sesuai yang diajarkan pasti bisa. Lakukan dan selesai.
Apa pun yang dilakukan Raya, perhatian sudah terpusat padanya. Bisik-bisik mulai berdenging di telinganya. Sebisa mungkin dia tak menggubris reaksi di sekitarnya. Semakin lama dia berdiam, makin lama juga dia jadi pusat perhatian. Raya melakukan tugasnya dengan cepat. Tetapi saat roll depan Raya tidak sampai selesai. Kepalanya nyaris terkena lantai karena posisi badannya agak miring.
Raya sudah siap merasa sakit, tapi sebuah tangan lebih dulu menahan kepalanya.
"Cara kamu salah, Raya. Seharusnya dagu menyentuh ke dada, jadi waktu kamu mulai, posisi kepala masuk ke dalam. Cara itu mencegah terjdinya cedera yang berbahaya."
Raya langsung bangkit begitu mendengar suara dari gurunya. Wajahnya tertunduk, dia mundur perlahan. Keringat dingin mengucur di seluruh bagian tubuhnya.
"Raya, kamu nggak apa-apa? Saya nggak marah sama kamu." Pak Guru melihat Raya ketakutan karena tubuhnya gemetar dan terus menjauh darinya. Ekspresinya juga terlihat takut dan sangat tidak nyaman.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma ingin ke toilet sebentar." Raya langsung pergi bahkan tanpa memakai sepatunya lebih dulu.
"Saya ijin menyusul, Pak. Mau kasih sepatunya." Rasya juga menyusul pergi dengan menenteng sepatu milik Raya.
Tidak ada yang peduli lagi dengan kejadian tadi. Mereka memang sempat membicarakan reaksi Raya yang terlalu berlebihan. Padahal guru bicara dengan nada biasa. Tidak membentak atau memarahi. Bukan cuma dengan Raya, jelas-jelas siswa yang sebelumnya salah juga dapat teguran. Tapi mereka sudah tahu Raya memang aneh. Makanya dengungan itu tidak berlangsung lama.
Di depan toilet perempuan, Rasya menunggu dengan sabar. Dia mendengar semua ocehan Raya dari luar. Ocehan kesal dan marah pada diri sendiri yang makin membuatnya penasaran.
"Lo kenapa sih, Ray? Guru itu bukan dia. Lo sudah hebat bisa lewati hari demi hari di sini. Jangan sampai semua usaha lo sia-sia karena orang biadab di masa lalu. Come on, Raya. You can do it."
Raya mencuci muka, mengambil napas dalam supaya lebih tenang. Tak lama dia membuka pintu toilet dan menemukan cowok menyebalkan di sana. Raya makin sebal karena hanya Rasya yang peka dengan membawakan sepatunya.
Lo berharap apa sih, Ray? Lo memang nggak punya teman, kan. Bukannya bersyukur, ya ada Rasya yang begini peka sama kondisi Lo?
"Makasih."
"Apa?" Rasya bukan sengaja, tapi memang kurang jelas mendengar ucapan Raya yang cuma menggumam.
Raya berdecak. "Makasih." Kali ini suaranya lebih kencang.
Rasya tersenyum. "Sama-sama, Raya."
Begitu ada suara siswa lain terdengar, senyumnya pun menghilang. "Gue pergi dulu."
"Eh, Rasya, lo ada apa sama cewek aneh itu? Sampe bela-belain bawa sepatunya." Tiga cewek, teman sekelas Raya, yang kepo sama kakaknya Raya, ternyata juga tidak senang lihat Raya didekati Rasya.
Secara, Rasya adalah salah satu cowok cool dan tampan, idaman cewek-cewek di sekolah. Mereka dikenal karena orangtuanya kaya dan jadi donatur di sekolah. Padahal donatur itu tidak hanya dari orangtua mereka bertiga. Beberapa donatur lain memilih tidak gembar-gembor, dan biasa saja. Mereka bertiga saja yang membanggakan hal itu secara berlebihan.
"Gue males jelasin!" Tanpa banyak bicara lagi, Rasya langsung meninggalkan ketiganya tanpa menoleh lagi.
Rasya sudah tahu sepak terjang cewek-cewek minus itu. Hampir semuanya minus, plus-nya mungkin hanya di muka cantiknya.
Raya mendengar obrolan sepihak tadi. Dia tahu kalau tidak keluar sekarang, bisa habis dia dicecar ketiga cewek itu di toilet. Entah, apa yang bisa mereka lakukan. Inilah hal kedua yang ingin dia hindari. Lebih tepatnya Raya malas kalau harus ada interaksi detail sama teman sekelasnya itu. Dari sikapnya saja, bisa diduga tidak bisa dipercaya.
"Heh! Cewek aneh!"
Raya berhenti sejenak, tapi langsung melanjutkan langkahnya lagi tanpa menggubris panggilan itu. Apalagi namanya kan, bukan 'heh'.
Selesai pelajaran olahraga, ada wali kelas masuk bersama seorang siswa cewek. Banyak kasak-kusuk yang bilang dia murid baru dari Jakarta.
"Bukannya cewek aneh itu juga dari Jakarta?"
"Tapi dia ndak nyebut dari sekolah mana?" timpal yang lain dengan logat lokalnya.
Sekolah Raya memang sekolah swasta yang muridnya banyak berasal dari luar kota. Tidak mendominasi, tapi karena hal itu bahasa gaul dari luar Jawa bukan jadi sesuatu yang aneh.
Raya memasuki kelas tepat saat wali kelasnya memperkenalkan sang murid baru.
"Teman baru kalian ini berasal dari Jakarta. Asal sekolah dari SMA Terang Pelita, Jakarta. Informasi yang lain silakan perkenalkan diri."
Raya mengetuk pintu dan dipersilakan masuk. Dia berjalan ke bangkunya tanpa melihat si murid baru. Belum juga sampai di bangkunya, wali kelas memanggilnya.
"Raya!" panggil wali kelas.
Raya menoleh dan tatapannya bertemu dengan sang murid baru. Keduanya sama-sama terhenyak. Sontak Raya mengalihkan pandangannya. Sorot mata teman lamanya masih membawa pengaruh begitu besar baginya. Padahal sudah bertahun-tahun Raya tidak bertemu.
"Donna, dia di sini," gumam Raya tanpa sadar.
Tak berbeda dengan Donna, dia juga terkejut bisa bertemu lagi dengan teman lama. Ah, mungkin lebih tepat musuh lama.
***