Raya masih bergeming di tempatnya. Sendok bekas dipakai Rasya tadi masih tergeletak begitu saja di atas tisu.
"Dasar. Nggak jelas banget, sih!" gumam Raya setelah sadar. Dia mengelap sendoknya lebih dulu sebelum melanjutkan makan.
Tak lama gerombolan cewek yang minta kenalan dengan Tio tadi pagi, masuk ke kelas.
"Katanya ada yang habis makan bareng, nih! Sama cowok kelas sebelah, lagi. Diam-diam ternyata menghanyutkan."
Raya tahu itu sindiran untuknya. Dia tidak mau ambil pusing. Setelah bekalnya habis, Raya memilih pergi ke perpustakaan. Sekolah ini punya fasilitas literasi yang bagus. Salah satunya perpustakaan dengan koleksi-koleksi kerennya. Sayangnya, yang memasuki tempat ini tidak banyak. Hanya siswa tertentu terutama mereka yang bergabung di ekskul jurnalistik.
Saat ini situasi perpustakaan lengang. Raya mengedarkan pandangannya ke sekeliling, cuma beberapa siswa yang sedang asyik sendiri-sendiri membaca buku. Dia beralih ke rak bagian fiksi, novel-novel berbagai genre dan alur cerita terpajang apik di rak khusus. Raya mengambil satu karya Nara Lahmusi yang judulnya Gagal Kronis.
Setelah menemukan tempat yang nyaman, Raya menikmati bacaannya. Jalan dari kelas menuju perpustakaan, tidak melewati banyak kelas dan lorongnya cenderung sepi. Siswa lain lebih tertarik di kantin dekat masjid sekolah. Di sana siswa cowok memanfaatkan bagian belakang kantin untuk merokok atau membolos. Hal ini membuat Raya menghindar.
"Hai! Lo suka juga ke sini."
Belum genap membaca satu paragraf sudah terganggu dengan kedatangan cowok tengil yang memaksa minta bekal makannya. Iya, dia Rasya. Saking kesalnya Raya sampai ingin menangis.
Melihat tatapan tajam dengan wajah datar, Rasya malah menahan tawanya. Cewek ini bisa marah juga. Dia pikir Raya ini sejenis makhluk autis yang asyik dengan dunianya sendiri, tanpa peduli sekitarnya. Kelihatannya tidak, hari ini cewek itu menunjukkan kalau dirinya manusia biasa.
"Baiklah, Nona. Gue nggak akan ganggu lo. Kita bicara lagi lain waktu."
Lega rasanya. Raya melanjutkan bacanya. Selama menghabiskan sisa waktu jam istirahat, Raya bisa membaca beberapa halaman. Dia akan pinjam dan melanjutkan baca di rumah. Inilah yang membuat Raya nyaman di perpustakaan. Orang-orang di dalamnya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mereka tak ada waktu mengurusi orang lain.
Ada hal yang membuat Rasya penasaran sama Raya. Penampilannya, sikap tak banyak bicaranya, semua menjadikan sosok Raya itu susah didekati. Ada yang bilang mereka enggan berteman karena justru Raya yang menghindar.
Sepeninggal Rasya tadi, Raya memikirkan semua sikap aneh dia. Mereka sama-sama kelas X dan belum lama kenal. Tetapi karena Rasya segitu intens mendekatinya tentunya membuat Raya bingung dan tidak yakin dengan niat Rasya sebenarnya.
Kejadian tak menyenangkan di waktu lalu masih membekas kuat di benak Raya. Hal itulah yang membentuk Raya di versi yang tertutup dan lebih nyaman sendiri seperti sekarang.
Sesampainya Raya di rumah, Nina sedang membereskan dapur. Makanan baru saja siap. Harum masakan mamanya memang juara. Raya menuju meja makan setelah melempar tasnya ke sofa.
"Ma, Raya makan sekarang, ya? Kak Tio pulang jam berapa?"
Nina yang sedang memasukkan stok sayur ke dalam kulkas geleng-geleng. "Kamu ini pulang nggak ngucap salam, udah langsung mau makan." Nina senang kalau selera makan Raya bagus begini. Dia sendiri tidak paham dengan putrinya itu. Selalu menutup diri saat diajak bicara dari hati ke hati.
"Tadi sudah ucap salam, kok! Tapi nggak kenceng, mungkin Mama nggak denger." Raya mencuci tangannya di wastafel. Perutnya sudah menahan lapar sejak jam terakhir pelajaran berlangsung.
"Iya kali, ya. Mama tadi sempat ke belakang ambil jemuran. Oiya, Kak Tio pulang agak telat. Mau ketemu dosbim, katanya. Kamu makan aja, duluan." Dengan telaten Nina mengambilkan lauk dan sayur. Segelas air putih juga sudah terisi. Senyumnya terbit melihat Raya begitu lahap menghabiskan makannya.
Muncul keinginan untuk menanyakan sesuatu, tapi Nina menahannya. Raya sedang menikmati makanannya. Nanti saja kalau makannya sudah selesai. Nina menemani Raya dengan mengupas buah jeruk.
"Mama nggak makan?" Raya sudah menandaskan makan siang menjelang sorenya. Tak perlu diminta semua peralatan makan bekas pakainya tadi dicuci hingga bersih.
"Raya, kita bicara dulu sebentar bisa?" tanya Nina dengan lembut tanpa sedikitpun nada memaksa.
Raya gugup, pandangan matanya kesana kemari tidak tenang. "Mama mau bicara apa?"
"Kita duduk, ya? Mama akan bawa salad buah kesukaan kita."
Raya tersenyum. Dia dan Nina punya banyak kesukaan soal makanan. Tak heran Nina sering mengajaknya makan di luar berdua atau masak sendiri di rumah. Tio lebih suka di rumah tapi menitip begitu banyak list cemilan.
Ruang tengah menjadi tempat pilihan Raya untuk mereka bicara.
"Mama mau tanya sesuatu, tapi tolong jawab dengan jujur, ya." Nina menggenggam tangan Raya lembut. "Mama lihat kamu seperti ada masalah. Penampilan kamu juga mengundang tanda tanya besar buat Mama. Kamu selalu memakai jaket, nggak peduli cuaca panas sekalipun. Dulu kamu nggak begini Raya. Ada apa?"
Gugup dan panik datang. Raya tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Karena kalau dia menjawab satu pertanyaan, dia harus membuka masa lalu yang sama sekali ingin dilupakan.
"Ma ... Raya ma-mau g ganti baju dulu b boleh?" Suaranya sangat lirih dan gemetar.
Nina tahu ini cara Raya menghindar lagi. Dia tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut. Ayahnya Raya tidak ada di rumah, entah di mana sekarang. Pekerjaannya di kapal pesiar membuat kepala keluarga mereka jarang berada di rumah. Karena itu Nina merasa tanggungjawab jatuh padanya sampai waktu suaminya pulang.
"Raya, tolong cerita ke Mama, Sayang. Kami semua sayang kamu. Mama, Kak Tio, Papa, nggak ada yang mau kalau kamu sendirian menanggung masalah." Nina selembut mungkin membujuk putrinya supaya mau bicara.
"Ingat, Raya! Mama janji nggak akan menyela, nggak akan menghakimi apa pun. Kamu tetap anak Mama Papa. Tetap adik tersayangnya Kak Tio. Jadi jangan takut cerita." Setelah ini kalau Raya belum mau bicara, Nina akan berhenti membujuk. Dia tidak ingin jatuhnya akan memaksa Raya nanti.
"Ma, Raya akan cerita tapi nggak sekarang. Please, jangan bujuk Raya lagi. Raya janji nanti pasti cerita."
Nina mengangguk. Rasa khawatir masih menggantung begitu berat. Melihat reaksi Raya barusan, Nina tidak tega. Akhirnya dia mengangguk saat Raya ingin ke kamarnya.
Tidak mudah melewati fase ini. Raya mengunci pintu kamarnya. Dia melepas sweater lalu menuju kaca seukuran badannya yang diletakkan di dekat meja belajar. Dipandangnya lekat-lekat tubuhnya. Dari depan, lalu memutar ke samping kiri, kanan, apa dia memang sekurus itu? Melihat ukuran dada Raya langsung mengalihkan tatapannya.
"Kamu itu kurus, kerempeng. Jangan belagu, deh! Kalau bukan saya kelak kamu nggak bakal ada yang suka. Ngelirik juga, enggak."
"Yang bener, aja! Badan sekurus itu mau ikut peragaan busana. Mendingan juga si Donna."
"Awas, ati-ati, ntar ketiup angin!"
Raya menutup kedua telinganya. "Raya tenang, mereka cuma ada di masa lalu lo. Sekarang nggak ada lagi. Tenang, Raya!"
Sekuat tenaga Raya menghalau bisikan-bisikan buruk dari masa lalu itu. Peristiwa hampir dilecehkan guru olahraga, lalu sindiran dan ejekan teman-teman di SMP, telah membentuk Raya seperti sekarang. Dia tidak pernah berani cerita, karena malu dan dia takut akan makin dipermalukan. Jadi, selama itulah dia pendam lukanya serapat mungkin dari siapa pun.
Belum sempat cerita dan ketahuan, orangtua Raya harus pindah ke kota Semarang, setelah sebelumnya tinggal di Jakarta. Selain dekat dengan keluarga besar Nina, di Semarang juga tempat Tio melanjutkan kuliah.
Tentu saja Raya lega luar biasa. Dia minta mamanya untuk tidak memberitahukan ke mana mereka pindah. Raya hanya memberi alasan kalau dia sedang patah hati. Nina percaya saja dan mengikuti kemauan putrinya. Dia maklum usia remaja memang waktunya mengenali fase romantika masa muda. Dia bersyukur Raya cerita. Sayang, yang terjadi tidak seperti itu.
Raya merebahkan diri ke ranjang. Menatap langit-langit yang digambar bintang-bintang dan bulan oleh papanya. Salah satu cara ampuh supaya bisa tidur, Raya melihat bintang-bintang buatan itu sambil membayangkan dia terbang di antara mereka. Cara yang selalu ampuh untuk Raya bisa tidur dan menepis rindu pada ayahnya.
***
Hari itu Rasya dan gengnya nongkrong seperti biasa. Raya lewat dengan langkah cepat.
"Jangan buru-buru jalannya, Neng!" Seperti biasa teman Rasya yang lebih banyak jahil.
'Nang neng nang neng, namanya Raya bukan Oneng," sahut yang lain lagi.
Raya mempercepat langkah tanpa menoleh sedikitpun. Begitu sampai di kelas, masih ada beberapa temannya yang berbisik-bisik. Entah mereka bicara tentang siapa, kembali Raya harus bisa mengendalikan otak dan hatinya.
Raya, mereka bukan bicara tentang kamu. Ingat tarik napas, embuskan perlahan. Buang pikiran buruk dari otakmu. Mereka teman barumu, baru kenal dan tidak mengenal masa lalumu. Bahkan keluargamu saja tidak tahu.
Hampir dua bulan penuh Raya sekolah di sini, tapi masih belum terbiasa juga. Lirikan, tatapan, dan kasak-kusuk itu membuatnya tidak nyaman.
"Selamat pagi, Raya!" Rasya tiba-tiba saja sudah duduk di kursi sebelahnya.
Cowok ini saat bersama gengnya dia cool dan tak banyak tingkah. Sekarang dia seperti berubah jadi orang lain. Meskipun bukan senyum lebar, ekspresinya cenderung jahil dan ada senyum tipis di sana. Sontak Raya mengalihkan tatapannya. Berulangkali dia geleng-geleng demi mengusir senyum Rasya.
"Jangan bilang lo terpesona sama gue." Setiap Rasya bicara dengan Raya tidak pernah kencang. Jadi, jangan harap orang bisa mencuri dengar apa isi obrolan mereka.
"Apa?" Raya langsung menoleh karena ucapan itu. "Jangan sembarangan kalo ngomong," lanjut Raya dengan sedikit kesal.
Percaya diri Rasya mengundang emosi, memang. Raya tidak cantik dan tidak populer di sekolah. Banyak yang lebih cantik dan pantas digodain. Raya tidak habis pikir, kenapa dirinya? Kenapa bukan cewek-cewek yang lebih segalanya darinya?
"Lo itu udah cantik apa adanya. Nggak usah peduliin omongan orang. Termasuk gue. Lo cuma perlu yakin pada diri lo sendiri."
Tak ada angin, tak ada hujan Rasya mengatakan hal yang Raya sendiri tidak paham betul apa maksudnya.
"Gue nggak tahu lo ngomong apaan. Tapi makasih, sarannya." Raya mengambil buku pelajaran yang jam pertama akaan berlangsung sebentar lagi. Dengan cara ini dia harap Rasya tahu kalau dia harus keluar.
Bersambung