Loading...
Logo TinLit
Read Story - Eagle Dust
MENU
About Us  

Malam itu, aku masih sebagai gadis kecil yang manis dan tidak tahu apa pun mengenai seluk beluk gelap dunia. Aku hanya tahu, bintang berkelap-kelip di atas langit pekat, bulan purnama berbentuk bulat sempurna dan bercahaya kekuningan. Aku senang, dan selalu kukatakan pada Mom kalau aku tidak akan bisa tidur sebelum menyaksikan 1Milky Way terbentang indah di atas langit. Tentunya, Mom senantiasa bersabar menungguiku di beranda belakang rumah hanya untuk membiarkanku terkesima dengan jutaan titik bercahaya di cakrawala langit.

Namun, tidak dengan malam itu. Tidak seperti malam keakraban kami biasanya.

Mom memintaku pulang secepatnya setelah mengantarkan pakaian yang sudah selesai dijahit kepada pelanggannya di rumah bordil. Ia sudah memberiku pesan dengan sangat tegas. Meski hanya satu kalimat.

"Cepatlah pulang, atau kau tidak lagi bisa melihat langit cerah malam ini." Mom tersenyum, indah sekali. Senyum yang belum pernah kulihat secantik itu tentu saja membuatku tak bisa memalingkannya.

Bergegas aku menjatuhkan sepedaku di sembarang tempat. Tak sabar, perutku terlalu kecil untuk menahan lapar yang terlalu besar. Tadi, sebelum aku pergi ke mengantarkan pakaian, aku mengintip dapur sedikit dan kulihat Mom sedang memasak ayam goreng mentega yang harumnya sangat memikat. Kakiku tidak dapat kukuasai untuk begitu saja masuk ke dalam rumah guna mencari apa yang sudah kunanti. Ini sudah kurencanakan sedari perjalanan pulang ke rumah. Menyaksikan bintang sambil menikmati makan malam buatan Mom.

Mom, aku tidak mendapatinya di dalam rumah. Aku tidak mendapatinya berada di dapur, di kamar mandi, di belakang rumah, ataupun― astaga, aku lupa kalau Mom punya kamar. Jangan berpikir aku akan menemukan Mom menyendiri di kamar itu sebagaimana ia sering menyendiri. Nyatanya, mataku terbelalak kaget saat menemukan dua orang pria ada di dalam ruangan sempit itu.

Dua pria itu, faktanya sedang melakukan sesuatu yang di luar akal sehat. Keseluruhan tubuhku mendadak gemetaran melihat pemandangan yang sama sekali belum pernah kutemui. Momku tergeletak di atas ranjang, tangannya terikat, matanya tertutupi oleh sehelai kain hitam yang kuyakini itu adalah scraf kesayangan milik Mom yang sering digunakan membelit lehernya jika musim dingin. Satu pria berkulit hitam berlutut di atas paha Momku, bergerak maju mundur dengan ritme yang sepertinya sangat membuat Momku tersiksa. Sementara pria berkulit putih dan berambut panjang satunya menghimpitkan wajahnya di atas dada Mom.

Itu adalah kegilaan yang sangat tidak masuk akal. Tak ada sehelai benang pun menempel di kulit Mom kecuali kain penutup mata itu. Udara pengap di kamar seolah menyuram, jeritan Mom adalah suara kelemahan yang sama sekali tidak dihiraukankan oleh kedua pria tersebut.

Sungguh, aku tidak tahu harus melakukan apa selain menangis di balik celah pintu yang sedikit terbuka. Aku hanya tahu jerit dan tangisan yang keluar dari mulut Mom adalah sebuah penderitaan yang menyakitkan. Momku menangis, Momku tersakiti.

Dan bodohnya, aku berteriak. "MOMMY ...!"

Kedua pasang mata pria itu seketika mengarah padaku. Gemetaran di bibir dan tubuhku semakin tersulut dalam skala lebih besar. Namun setidaknya, tindakanku berhasil membuat gerakan mereka berhenti dan menyurutkan rasa sakit yang diderita Mom.

"Siapa anak itu?" tanya pria berkulit hitam itu pada pria satunya. "Sialan! Dia melihat kita."

Pria berambut panjang kepirangan itu mendengkus keras, menatap mataku dengan sorotan monster yang hendak menerkam.

Tidak, ini tidak baik, pikirku.

"Pergi, Ellie ...! Pergi!" Teriakan keras Mom menghenyakkanku. Kenop pintu yang semula kuremas kuat melonggar. "Jangan hiraukan Mom, lari dan pergilah!"

Pergi? Bagaimana aku bisa pergi dan meninggalkan Mom di situ? Sendiri, bersama dua pria asing yang menakutkan dan terlihat kejam. Di saat genting, yang bisa kulakukan hanyalah menggeleng. Bergeming bersama hasutan pandangan yang mengundang amarah kedua pria tersebut.

"Kau tidak dengar? Mommy-mu bilang pergi! Maka pergilah dari situ dan tinggalkan kami." Pria berkulit hitam itu turun dari ranjang. Membetulkan kaos dan juga celana jeansnya agar terpasang baik di tubuhnya.

"Kalian menyakiti Mom! Ini rumah Mom, rumah kami, kalian yang harusnya pergi!" Sekeras suaraku yang menggema hingga langit-langit rumah, seberani itu pula aku membuka pintu kamar lebar-lebar.

Sangat jelas, aku melihat wajah pria berkulit hitam berkepala plontos itu mulai mengeratkan pipinya berang. Sorotan matanya tajam, ada bekas luka sobek di sudut bibir kirinya, serta luka bekas sayatan di pipi sebelah kanannya.

Dan pria berambut panjang itu, suaranya serak, gigi bagian depannya keluar dari jalur gusi, matanya sayu dengan alis yang layu hampir jatuh. Buruk sekali, sama buruknya dengan perlakuan mereka yang melebihi binatang.

"Anak kecil itu menyuruh kita pergi, Ron, yang benar saja?"

Pria berambut pirang itu berdecih, mengotori lantai kamar Momku dengan air liur menjijikkan. "Kau tahu hukuman apa yang akan didapatkan anak pembangkang sepertimu, heh?"

"Jangan sakiti anakku, kumohon ... biarkan dia pergi!" Ada isakan tangis di sela-sela permohonan Mom. Kedua tangannya terus bergerak, berusaha melepaskan ikatan yang terkekang bersama kerangka besi tempat tidur.

Itu adalah peringatan terakhir yang dihujamkan Mom padaku. Teriakannya yang memintaku untuk pergi sama sekali tak kugubris. Aku

hanya berniat menolong Mom, melemparkan segala macam barang yang ada di kamar Mom pada dua pria yang kini sudah berdiri tegap dan melangkah maju sedikit demi sedikit. Sementara tanganku tak berhenti melontari mereka dengan buku, lampu meja, kotak kosmetik milik Mom, sepatu, dan apa saja. Yang penting bisa kugunakan untuk membuat mereka menyerah dan pergi.

Meski yang terjadi justru sebaliknya. Aku berteriak saat tangan pria yang bernama Ronald berhasil mendekapku. Kuat sekali, gerakan apa pun yang kuciptakan tak sanggup menandingi tenaganya yang terlanjur membuat napasku sesak. Sementara suara memelas Momku tak kunjung berhenti memohon.

"Kau adalah gadis pembangkang yang tak tahu diri! Harusnya kau menuruti kata-kata ibumu." Tubuhku melonjak, semakin kuat, membuat kedua pria itu berinisiatif mengikat tanganku ke belakang, ditambah dengan isolasi hitam yang berhasil membungkam. Akhirnya, tak ada lagi teriakan keluar dari mulutku.

Pria berkulit hitam itu keluar dari kamar, dan beberapa detik kemudian kembali dengan membawa sebotol cairan pembersih lantai kamar mandi.

"Apa yang akan kaulakukan, Gerald?" Pria bernama Ronald―yang sedang menahan geliatan tubuhku―mendelik saat melihat rekannya membawa benda berbau menyengat. Mataku ikut melebar saat tangan pria yang memegang botol berisi cairan Sodium Laureth Sulfate mendekat ke wajahku.

"Sedikit bermain, kawan! Anak ini harus di beri pelajaran supaya dia tidak mengulangi kebiasaan mengintipnya."

"K-kau, Kau gila, Gerald!"

Pria bernama Gerald itu tersenyum miring, membuka tutup botol itu kemudian mengudarakan tangannya.

"Hmmpfff ... hmmpfff ...." Aku mencoba berteriak meski tanpa suara. Mataku mendelik saat pria itu hampir menuangkan isi botol itu ke wajahku.

"Pegangi dia, Ron! Jangan biarkan dia bergerak!"

Ronald mengikuti instruksi rekannya, sementara tangan kanan Gerald, merenggangkan ibu jari dan jari tengahnya untuk memaksa kelopak mataku tetap terbuka. Tanpa rasa kasihan sedikit pun, pria itu mulai menuangkan cairan putih pekat dan menyengat itu tepat di kedua mataku. Mengguyurnya tanpa rasa ampun sampai cairan yang semula penuh itu tinggal setengah.

Apa salahku? Aku hanya seorang anak berumur tujuh tahun yang tidak mengerti apa-apa. Aku hanya ingin melindungi Mom, melindungi Mom ... tapi yang kudapat mengapa justru siksaan menyakitkan seperti ini.

Telingaku hampir tidak punya daya untuk mendengar teriak bercampur tangis Mom yang meminta ampun. Kakiku menggelinjang sekuatnya saat cairan perih dan beracun itu meresap dan membalur ke dalam kedua bola mataku. Menelusup ke dalam, mengelabui saraf-saraf dan menjangkit seluruh sensasi rasa sakit. Bahkan, tanganku tak dapat kugunakan untuk menyapu cairan yang sudah bersimbah di pelupuk mataku.

Aku hanya bisa memejamkannya sekuat tenaga, tanpa teriakan, tanpa perlawanan. Sedangkan kedua pria itu, tertawa. Suara mereka berdengung di telingaku, mengalahkan lengkingan suara Mom yang minta tolong. Aku tak mampu lagi berharap siapa pun datang untuk membalas perbuatan mereka. Hal yang terjadi kemudian, kedua pria tersebut pergi begitu saja, meninggalkan tubuhku yang tak bisa berhenti meronta.

Mom hanya bisa menangis, tak bisa melakukan apa pun saat mendengar geleparan tubuh anaknya seperti ikan yang kekeringan air. Kakiku menendang semua benda yang ada, membenturkan kepalaku ke sudut lemari. Berulang kali, sekuat tenaga, sampai pelipis dan kelopak mataku mengucurkan darah. Semua kegilaan itu kulimpahkan hanya untuk menghilangkan rasa sakit yang tak kunjung membuatku pingsan. Pedihnya melebihi pisau yang mengiris bola mataku secara sadar.

Ketahuilah bahwa kekejaman hidupku di mulai sejak malam itu. Satu jam kemudian, Tuan Laurent—tetangga sebelah rumahku— mendapati kengerian yang kami alami dengan kepanikan luar biasa. Ia meminta istrinya membantu Mom, membawa tubuhku yang sudah tak sadarkan diri ke rumah sakit.

Namun sayang, semua sudah terlambat. Tak ada yang bisa diselamatkan dari penglihatanku. Mom yang sejak awal memang pendiam, berubah menjadi wanita dingin dan jauh lebih pendiam dari sebelumnya. Ia syok, melebihi apa yang kurasakan. Menangis pun Mom tak lagi bisa terbendung. Hanya saja, ia tak pernah menunjukkan hal itu padaku.

Tubuhnya mengurus secara perlahan akibat beban pikiran. Terlebih saat mendapatiku kesulitan melakukan aktivitas seperti anak atau manusia pada umumnya. Ia memberikanku guru khusus untuk bisa mengajariku membaca huruf braille. Belajar banyak hal. Membekaliku ilmu agar kelak aku bisa menjalani kekuranganku tanpa kekurangan. Namun tetap saja, di atas itu semua, Mom adalah guru yang terbaik untukku.

"Mom tahu, kau adalah anak yang kuat, Ellie. Usiamu sudah sebelas tahun dan Mom lihat, kau lebih pintar dari anak normal lain. Setidaknya, kau punya semangat dan tekad yang tinggi. Itu adalah takhta dirimu yang tidak bisa digantikan dengan apa pun." Mom memelukku kala itu, setelah sebelumnya, ia menceritakan bagaimana bintang- bintang di atas langit sana tak lagi sebenderang sebelumnya.

Pantulan cahaya lampu kota memengaruhi gemerlapan langit. Aku tersenyum, mengeratkan pelukanku di pinggang kurus Mom, berusaha mengingat seperti apa rupa langit malam yang dulunya sangat kucintai. Bintang dan bulan, itu hanya sebilah kenangan yang lama-kelamaan akan pudar dengan sendirinya.

"Aku mencintaimu, Mom. Kau adalah guru terbaikku. Tetaplah seperti ini, menjaga dan menemaniku setiap malam. Selalu ada untukku."

Lalu Mom mengecup pucuk kepalaku, menciumi kedua mataku. Hal yang selalu ia lakukan sebelum membawaku tidur di pelukannya. Di atas ranjang yang hanya cukup untuk kami berdua, Mom menyelimutiku dengan kehangatan kasih sayang yang akan selalu membuatku nyaman dalam keadaan apa pun.

Meski lagi-lagi, kekejaman itu datang kembali.

Paginya―saat aku terbangun―aku memanggil Mom dengan teriakan berulang-ulang. Mungkin ada ratusan kali sampai tubuhku terseok-seok, terjatuh dan terus-terusan membentur benda keras. Aku tersungkur saat berputar-putar di halaman depan rumah. Derai tangisku tak dapat berhenti bahkan setelah menemukan fakta bahwa Mom tidak juga kutemukan.

Mom tidak lagi ada. Entah ke mana. Mom menghilang. Tidak lagi ada bersamaku dengan sebab yang hingga sekarang tak pernah kuketahui. Tuan Laurent dan istrinya, juga mengalami kepanikan yang sama denganku. Tak ada satu pun dari mereka mengetahui kapan Mom pergi, apa yang terjadi padanya, dan―mengapa Mom meninggalkan seorang gadis kecil yang buta untuk menjalani hidupnya sendirian?

Sudah berulang kali kukatakan, kekejaman itu adalah sebagian dari pola hidupku. Nyatanya, Mom tidak meninggalkan apa pun padaku kecuali tangisan iba. Tak ada yang bersedia menampungku untuk menjadi anak asuh. Tuan Laurent juga sudah mulai frustrasi mengasuhku yang tak bisa berbuat apa-apa selain duduk, merenung, tidur, dan terjatuh-jatuh. Kecuali satu orang, Tuan Van Yallen.

Ia mendatangi rumah keluarga Laurent malam-malam. Yang kudengar dari percakapan mereka, Tn. Van Yallen adalah seorang dermawan yang selalu siap menampung anak-anak yatim piatu seperti diriku.

Dari sudut pendengaranku, pria sekitar empat puluh tujuh tahunan itu adalah pemilik suara berat juga teratur tata bicaranya. Ia berbicara dengan Tn. Laurent menggunakan intonasi suara yang sangat merdu, sopan dan tentunya sangat mengesankan. Ada karisma yang tergambar dari cara ia bertutur kata.

Dan sejak itu pulalah, sejak ia membawaku masuk ke dalam mobil pribadinya yang beraroma rosmery, aku terkesan. Ia membelai pucuk kepalaku dan mengujarkan kalimat yang tak pernah bisa kulupakan hingga saat ini.

"Hidup itu tidak pernah baik, Ellie. Yang ada hanyalah hidup yang harus diwaspadai. Jika ibumu pergi, bukan berarti dia tidak menyayangimu. Mulai sekarang, kau harus bertekad, bagaimanapun caranya, dengan seluruh kekuatan yang nantinya kau miliki, kau akan berada di tempat yang paling dihargai, tidak terkecuali ibumu."

Wajahku menoleh padanya, mengerutkan dahi dengan kedua tangan teremas di atas paha. Aku menyimpulkan senyum, selaras harapan yang mungkin akan mengubah segalanya. Kehidupan yang di luar batas, mungkin, itu yang kubutuhkan.

Sejak itu pula aku bertekad untuk melupakan segala hal tentang Mom meski sulit bagiku untuk mengabaikannya. Waktu mengiringi ingatan yang memudar. Segala hal tentang masa lalu seolah tiada dan jikapun hadir, maka itu hanya serupa bentuk bayang-bayang yang membuat pribadiku semakin kuat.

Namun, jauh di dasar tekadku yang terpendam, aku bersumpah untuk tidak membiarkan diri ini terbengkalai oleh apa yang sudah dibuat ibuku.

Mom, ketahuilah bahwa aku tidak akan berhenti menemukan keberadaanmu bahkan jika harus mengorbankan darah.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
RAIN
678      452     2     
Short Story
Hati memilih caranya sendiri untuk memaknai hujan dan aku memilih untuk mencintai hujan. -Adriana Larasati-
Communicare
12334      1746     6     
Romance
Menceritakan 7 gadis yang sudah bersahabat hampir lebih dari 10 tahun, dan sekarang mereka dipersatukan kembali di kampus yang sama setelah 6 tahun mereka bersekolah ditempat yang berbeda-beda. Karena kebetulan mereka akan kuliah di kampus yang sama, maka mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti yang pernah mereka inginkan dulu saat masih duduk di sekolah dasar. Permasalahan-permasalah...
Rumah
508      354     0     
Short Story
Sebuah cerita tentang seorang gadis putus asa yang berhasil menemukan rumah barunya.
Yang Terindah Itu Kamu
12519      3589     44     
Romance
Cinta pertama Aditya Samuel jatuh pada Ranti Adinda. Gadis yang dia kenal saat usia belasan. Semua suka duka dan gundah gulana hati Aditya saat merasakan cinta dikemas dengan manis di sini. Berbagai kesempatan juga menjadi momen yang tak terlupakan bagi Aditya. Aditya pikir cinta monyet itu akan mati seiring berjalannya waktu. Sayangnya Aditya salah, dia malah jatuh semakin dalam dan tak bisa mel...
The Eternal Love
21394      3247     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Love: Met That Star (석진에게 별이 찾았다)
1787      1039     2     
Romance
Kim Na Byul. Perempuan yang berpegang teguh pada kata-kata "Tidak akan pacaran ataupun menikah". Dirinya sudah terlanjur memantapkan hati kalau "cinta" itu hanya sebuah omong kosong belaka. Sudah cukup baginya melihat orang disekitarnya disakiti oleh urusan percintaan. Contohnya ayahnya sendiri yang sering main perempuan, membuat ibunya dan ayahnya berpisah saking depresinya. Belum lagi teman ...
Operasi ARAK
348      250     0     
Short Story
Berlatar di zaman orde baru, ini adalah kisah Jaka dan teman-temannya yang mencoba mengungkap misteri bunker dan tragedi jum'at kelabu. Apakah mereka berhasil memecahkan misteri itu?
DEUCE
680      385     0     
Short Story
\"Cinta dan rasa sakit itu saling mengikuti,\" itu adalah kutipan kalimat yang selalu kuingat dari sebuah novel best seller yang pernah kubaca. Dan benar adanya jika kebahagiaan dan kesakitan itu berjalan selaras sesuai dengan porsinya..
Fix You
995      591     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
784      531     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...