Loading...
Logo TinLit
Read Story - Eagle Dust
MENU
About Us  

Hari ini, Tea & Coff Shop lagi-lagi tutup lebih awal. Ny. Shawn bilang padaku bahwa malam ini dia harus melakukan banyak persiapan khusus. Kencan malam minggu katanya. Aku terkikik mendengar penuturannya saat bercerita tentang pertemuan ketiganya dengan seorang pria berna- ma belakang Koelir. Pria itu hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Ny. Shawn. Tinggal di tiga blok tak jauh dari tokonya.

"Dia sangat tampan, Ellie," gumamnya sambil menghitung uang di laci kasir. Aku sedikit geli, pria yang di akan dikencaninya adalah pria berumur 65 tahun, memangnya masih ada pria tampan di umur itu?

"Benarkah?" Aku menanggapi seolah tertarik dengan pembahasan. "Kau beruntung, Ny. Shawn ... semoga malam ini kencanmu menye- nangkan," hiburku sambil mengenakan mantel lantas membetulkan letak kaca mata hitam yang bertengger di batang hidungku.

Tangannya berhenti menghitung, "Well, dia tampan, menurutku." Kemudian dia terkikik begitu saja. Huh, aku sudah curiga kalau pria itu tampan karena asumsi.

Ny. Shawn, ia menepuk pundakku pada obrolan terakhir dan membiarkanku keluar dari pintu toko. Keseharian yang sporadis, membuatku terbiasa dengan perlakuan baik hati Ny. Shawn yang sudah kuanggap seperti ibu sendiri.

Dingin, itu adalah hal pertama yang menjalar ke kulitku begitu

keluar dari pintu. Musim dingin dimulai. Suhu sore ini berada di -3⁰ C, salju sudah tidak setebal tadi pagi, sebab petugas kebersihan sudah mengeruk habis tumpukan salju yang menghalangi jalan. Dan aku tidak perlu khawatir dengan seratus lima puluh langkah yang akan kutempuh untuk sampai ke apartemen.

Beberapa anak berlarian di sekitar lorong masuk gedung apartemen, suara tawa mereka begitu renyah hingga memperdengarkan lingkungan yang hangat dan ramai. Aku yakin mereka sedang bermain lempar bola salju. Gumpalan es meninggalkan bunyi benturan yang tidak memantul setiap kali mereka berhasil mengenai anak lain.

Namun, tawa mereka justru berhenti ketika aku mulai mendekat. Suara kaki yang digeser serempak bertanda bahwa mereka memberiku jalan. Yah, aku mencoba tersenyum pada mereka dan mengucapkan 'terima kasih'. Tidak ada tanggapan apa pun dari anak-anak itu selain diam.

"Hai, Ellie! Kau sudah pulang?" Suara anak perempuan tiba-tiba melaungkan namaku. Derap langkah pelarian kecilnya terdengar mungil.

Benar, dia adalah anak perempuan yang sedari tadi kucari kebera- daannya. Satu-satunya anak perempuan yang paling ramah dan berani menyapaku.

Aku menoleh ke kanan mencari asal suara. Langkahku terhenti―mungkin tepat di depan halaman gedung apartemen. "Hai, Cathrine, apa kabar?" tanyaku dengan seringaian ramah hingga menampakkan barisan gigi yang tertata di balik bibirku.

Cathrine mendekat, menarik ujung bawah mantelku tak sabar. "Mau bermain bola salju?" ajaknya.

"Mungkin kau bisa mengajakku bermain yang lain," usulku. "Bagaimana kalau teka-teki?"

"Usulan yang baik, aku tahu beberapa teka-teki, tapi sepertinya kali ini, kau harus bermain dengan teman-temanmu di luar." Aku berlutut, tersenyum pada Cathrine yang menjadi pusat perhatian kurasa.

"Kenapa aku harus bermain dengan mereka? Aku lebih suka mengobrol denganmu, Elie."

Anak perempuan berusia enam tahun ini, ingin sekali rasanya aku membawanya bermain seperti yang sering kami lakukan setiap aku pulang kerja. Biasanya, aku dan Cathrine akan duduk di undakan tangga depan lobi apartemenku untuk bercerita tentang hal-hal menarik. Ia akan menceritakan padaku berbagai hal mengenai kejadian di sekolahnya, atau tentang film kartun kesukaannya. Ia pembuka dialog yang hebat, dan juga sebagai penanggap cerita yang menyenangkan pula.

"Cathrine! Pulanglah, ini sudah sangat sore." Itu ibunya Cathrine, kalimatnya masih sama dan terus-terusan itu setiap kali mendapati anak perempuannya mengobrol denganku.

Cathrine terdengar mendengkus, berdecak kemudian. "Hah ... Mommy memanggilku, padahal aku masih mau bercerita banyak denganmu."

Tersenyum. Satu-satunya cara untuk menghibur anak itu. Aku menyentuh pipinya yang bulat dan kenyal, mencubit kedua bongkahan itu hingga bibirnya melebar. Itu adalah salam perpisahan yang selalu kuhadiahkan padanya jika kami sudah selesai mengobrol.

"Pulanglah, aku janji akan mendongengkanmu sebuah cerita menarik jika kita punya banyak waktu."

Pipi Cathrine naik ke atas, bertanda dia sedang antusias. "Kau janji?" Aku menunduk tanpa menunjukkan wajah. "Ellie ... kau harus berjanji padaku." Cathrine mengangkat daguku ke atas hingga wajahku berada tepat di hadapannya. Kemudian, aku mengangguk ringan. "Persiapkan cerita terbaik untukku tentang putri salju," pintanya penuh semangat.

Kembali aku mengangguk. Cathrine pun menjauh dariku dengan tawa girang dan langkah mungilnya yang terdengar menggemaskan. Satu lemparan bola salju Cathrine hadiahkan untuk temannya, ia tertawa meledek, dan gadis kecil itu berhasil membuatku tersenyum sendiri sebelum membalikkan badan kembali ke depan pintu masuk apartemen berlantai tiga.

"Ayolah, Dave! Kau bisa melakukannya! Tidak perlu ambil start jauh, yang penting ambil langkah lebar kakimu dan ringankan tubuhmu, kau pasti bisa!" Aku mendengar seseorang berteriak di atas. Di atap rumah seberang gedung apartemenku.

"Well, kali ini aku pasti menang taruhan darimu!"

Tanganku urung mendorong pintu kaca di depanku dan malah berdiri di situ mencari asal suara. Aku menoleh ke belakang, mendongak ke atas―ya, meskipun aku tidak akan bisa menemukan dan melihat apa pun―hanya penasaran. Lagi-lagi, entah untuk kali ke berapa, laki-laki bernama Dave dan kelompok parkour bodohnya benar-benar―

"Arrghhhh!"

Aku meringis sakit sesaat setelah suara gemeretak seseorang terjatuh menggema.

Sumpah demi Tuhan, aku hanya bergeming tak mengerti apa pun. Tiba-tiba saja, tubuhku terjerembab, tertelungkup dengan posisi yang sama sekali tidak anggun. Aku mengeluh kesakitan, berteriak pun aku sudah terlambat rasanya. Pria itu, seperti mayat yang jatuh dari atas dan menindih tubuhku, berbaring dengan punggung berada di atas betis belakangku.

"Aww ...." Dan dia hanya bisa mengeluh kesakitan tanpa berpikir bagaimana caranya bangkit dan menolongku?

"Kau gila! Apa yang kaulakukan, dasar bodoh!" hardikku. Pundakku sakit, terlebih tangan kiriku yang hampir terkilir karena

berusaha menahan bobot tubuhku dan tubuhnya. Kemudian pria itu

bangkit saat menyadari sesuatu di bawah tubuhnya bisa mengeluarkan suara. Apa dia tidak sadar siapa yang sudah dicelakainya?

"Ahh, maaf, Nona ... aku tidak sengaja." Ia terduduk di sebelah kananku, memegangi lenganku hendak membantu. Namun, aku menepisnya begitu saja.

"Ini yang kalian lakukan setiap sore? Loncat ke sana kemari seperti kera? Dan lihat akibat ulahmu sekarang!"

Hah, aku tidak percaya bisa marah pada seseorang dengan kalimat panjang seperti tadi.

"A ... aku tergelincir saat hendak mendarat di atas atap gedung apartemenmu. Aku benar-benar minta maaf, Nona. Biar aku bantu kau berdiri," terangnya dengan suara sedikit terbata.

Kemudian suara derap langkah tiga orang datang menghampiri kami. Begitu juga dengan anak-anak yang semula bermain bola salju, mengerumuni kami begitu mendengar suara kejatuhan yang keras. Kami menjadi pusat perhatian sekarang. Dan aku benci situasi seperti ini.

"Kau ceroboh sekali, Dave! Bagaimana kau bisa tergelincir?" Aku berpikir itu salah satu teman pria bernama Dave ini.

Aku bangkit duduk setelah menerima bantuan pria tersebut yang memegangi kedua lenganku. Wajahku tertunduk meringis sakit pada bahu kiri.

"Apa kau terluka? Tampaknya kau kesakitan." Ia bertanya padaku? Dengan nada suara yang cemas atau hanya merasa bersalah? "Hei, katakan siapa namamu? Aku ingin bertanggung jawab, ini memang salahku."

Aku membuang napas kesal, menunjukkan wajahku padanya dengan gerakan cepat―hendak mengatakan sesuatu―tapi kalimatku tidak sempat terucap karena rekan pria itu tiba-tiba memekik.

"Hantu! Kau terlihat menakutkan!"

Jari-jariku dengan cepat menyentuh kedua mata. Panik. Kaca mataku terjatuh entah di mana dan aku tidak menyadarinya. Mereka yang ada di sekelilingku, pasti terkejut setengah mati begitu melihat mataku yang berwarna pucat, kelopak mata yang rusak entah seperti apa, dan―jelas menakutkan bagi mereka yang baru pertama kali melihatnya.

"Kau terlalu berlebihan!" teguran Dave pada temannya tidak berarti apa-apa. Justru hal itu terasa seperti pemicu baru bagi orang lain untuk memperhatikan wajahku.

"To ... tongkatku, Di mana tongkatku, tolong aku."

Aku terpaksa menurunkan kedua tanganku untuk meraba sekeliling. Benda pertama yang harus kucari adalah tongkatku. Bagaimanapun, aku harus pergi dari tempat ini. Mereka semua, tak terkecuali juga anak-anak yang semula mengerumuniku secara serempak menjauh dengan kepanikan yang hampir sama. Kecuali pria bernama Dave itu, ia berupaya membuatku bersikap tenang.

Beberapa anak menjerit. Bagaimana tidak hal itu membuatku semakin bingung, suara jeritan mereka, gunjingan dan pembicaraan mereka yang menganggapku sebagai orang aneh, membuat napasku sesak. Jantungku berdegup abnormal dengan dentuman tak teratur, dan tetap saja, aku tidak bisa menemukan benda penuntunku.

"Tidak pernah sekali pun di antara kita yang pernah melihat wajah di balik kaca mata hitamnya itu." Mereka mulai menggunjing di dekatku dengan kondisi telinga yang peka terhadap jenis suara sekecil apa pun. Kenapa mereka bisa sebegitu kejam? tanyaku dalam hati.

"Kenapa mata gadis itu sangat menakutkan? Lihatlah, dia benar- benar seperti monster dengan mata terbuka seperti itu."

Monster? Mereka mengatai diriku monster? Dan tak ada satu pun dari mereka yang berniat membantuku? Di mana pria yang katanya ingin bertanggung jawab? Kudengar suara gerakan tubuhnya yang justru membuatku yakin kalau ia mematung di situ dan melihat diriku yang berupa bingung juga menyedihkan.

Tidak, aku tidak bisa membiarkan diriku terus menjadi bahan tontonan. Persetan dengan tongkat, aku pun berdiri dengan tubuh terhuyung, meraba dinding guna menemukan panel pintu. Mendistrak- sikan diriku demi menghalangi diri. Air mataku, entah sudah berapa lama aku tidak menangis. Dan kali ini, sembari menyembunyikan diriku di balik pintu yang sudah kututup kuat, aku melayangkan kedua tangan- ku ke udara demi mencari pegangan tangga.

Suara orang-orang di luar sana masih terdengar menyakitkan. Langkah kakiku dengan cepat menaiki satu per satu. anak tangga. Masih dengan isakan tangis yang semakin menyedihkan, aku sudah tidak peduli lagi dengan rupa wajahku seperti apa, mungkin lebih menakutkan dari monster seperti yang mereka katakan.

Belum juga lega hati ini rasanya meskipun pintu apartemenku sudah kutemukan. Tanganku gemetar saat memasukkan anak kunci. Kesal, aku membanting pintu itu dengan amarah yang luar biasa meledak. Kedua tanganku kembali meraba udara, merambat pada dinding kasar untuk menuntunku menuju kamar.

Begitu menemukan tempat tidur, aku langsung merebahkan tubuh- ku di atas kasur. Telungkup tak bergerak. Hanya punggungku yang terasa naik turun akibat isak tangis yang tak mampu kuredam. Bantal tak bersalah di balik wajahku teremas hebat. Basah, hampir seluruh sarung bantal itu basah karena air mataku.

Monster ... monster ....

Kata-kata itu terus menggelinjang di dalam otakku. Memburu ingatan. Membongkar masa lalu yang sudah tak ingin lagi kusibak. Namun apa? Mereka kembali datang padaku. Kekejaman itulah yang telah sudi meninggalkan monster di dalam jiwa dan fisikku selama ini.

______________________
 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rindu
407      298     2     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
The Journey is Love
771      513     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.
Stars Apart
640      448     2     
Romance
James Helen, 23, struggling with student loans Dakota Grace, 22, struggling with living...forever As fates intertwine,drama ensues, heartbreak and chaos are bound to follow
Reality Record
3063      1067     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
CHERRY & BAKERY (PART 1)
4307      1158     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Tanpo Arang
54      45     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
JURANG
1015      502     5     
Short Story
Adikku memang orang yang aneh. Adikku selalu beri pertanda aneh untuk kehidupanku. Hidupku untuk siapa? Untuk adikku atau calon suamiku tercinta?
Our Perfect Times
1139      770     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
THE DARK EYES
730      412     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.
Bisakah Kita Bersatu?
622      358     5     
Short Story
Siapa bilang perjodohan selalu menguntungkan pihak orangtua? Kali ini, tidak hanya pihak orangtua tetapi termasuk sang calon pengantin pria juga sangat merasa diuntungkan dengan rencana pernikahan ini. Terlebih, sang calon pengantin wanita juga menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjalani pernikahannya kelak. Seiring berjalannya waktu, tak terasa hari ...