Selama tiga hari, Galih dan ayah Anis benar-benar disibukkan dengan orang-orang yang menanyakan alasan kenapa pesta pernikahan Anis dan Galih dibatalkan. Banyak sanak saudara dan juga teman-teman yang datang pada saat hari 'H'. Tentu saja mereka sangat terkejut begitu melihat tak ada apa-apa di gedung yang sudah direncanakan menjadi tempat resepsi. Kebanyakan dari mereka adalah para undangan yang tidak sempat diberi kabar. Hanya karena soal waktu yang terlalu mendesak.
Ini adalah hari minggu, hari di mana seharusnya Galih dan Anis sedang berbahagia memiliki keluarga baru. Namun sampai saat ini, tetap saja tak ada kabar apa-apa mengenai keberadaan Anis. Anwar dan mantan calon menantunya telah berada di tempat itu hingga malam, mereka sudah terlalu banyak berbohong pada orang lain.
Anwar sendiri tak habis pikir—bagaimana bisa ia berendah hati pada laki-laki yang jelas telah terlibat dalam kehancuran keluarga satu-satunya. Sulit dipercaya memang, tapi kenyataannya ia telah ada bersama Galih, duduk berdua di depan hall yang sepi dan gelap. Hanya didampingi dengan dua botol air mineral dan sekotak kue lapis, juga suara gemersik gesekan dahan-dahan pohon yang tertiup angin. Barangkali akan turun hujan deras beberapa menit lagi.
Ia meneguk air mineralnya, lantas berdeham. Anwar pun membuka wacana. "Jadi, kapan kalian menikah?"
Sedikit terkejut, Galih pun menjawab dengan seadanya. "Mereka bilang dua hari lagi."
Tak ada respon dari Anwar, karena ia sendiri tak tahu harus menanggapinya dengan kalimat apa. Baginya jawaban Galih sedikit menimbulkan kontroversi tersendiri di hatinya yang terkesan nelangsa.
"Aku dengar Sita hampir saja menggugurkan kandunganya kemarin."
Anwar dengan cepat menoleh ke arah wajah Galih. "Astaga! Benarkah?"
"Untung saja ayahnya sempat mencegah dan membuatnya tenang. Kalau enggak, mungkin racun serangganya sudah membunuh janin itu."
"Anis pernah cerita kalau Sita pernah hampir meninggal ketika ia mengaborsi janinnya." Anwar mengingatkan.
"Iya, itu sebabnya mereka memintaku untuk segera menikahi Sita agar bisa mengawasinya—" Galih menarik napas dalam, "—agar aku bisa menjaga dia dan bayinya, Sita adalah tipe perempuan nekad. Dia bisa melakukan apa saja bahkan yang di luar pikiran kita."
Anwar diam sesaat, tak tahu harus melanjutkan pembicaraan semacam apa.
"Hidup terkadang terlalu ironis, Galih." Lalu Galih mendengarkan. "Semua bisa saja terjadi di luar dugaan, sama halnya seperti yang saat ini kita alami. Bapak tahu seperti apa rasa cinta kamu pada Anis, tapi ingatlah bahwa cinta bukan satu-satunya kekuatan yang bisa mempersatukan manusia. Mungkin Tuhan berkehendak lain, rezeki, maut dan jodoh hanya Tuhanlah yang bisa menentukan, kita hanya bisa pasrah dengan apa yang dikehendaki-Nya."
Lelaki yang tadinya terlihat sangat tegar, kini terlihat membungkuk. Menyembunyikan raut wajahnya dari Anwar. Ia menggigit bibirnya, memejam kuat matanya dan menahan agar jangan ada air mata.
"Kita tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti takdir, Gal. Mungkin memang Sitalah jodoh kamu yang sebenarnya, dialah wanita yang harus kamu jaga baik-baik dengan sepenuh jiwamu jika kelak ia menjadi istri kamu." Kini Anwar pun ikut tertunduk. "Anis memang tidak ada di sini, tapi Bapak pikir lebih baik memang Anis tidak ada di sini dari pada dia harus menyaksikan semuanya dengan rasa sakit."
Pada wajah itulah, ada bulir air mata yang terjatuh ke pipi. Ada rasa sesak di dada yang tak bisa ditahan. Semuanya seperti buntu dan tak tampak apa-apa. Anwar seolah tak punya kekuatan apa-apa lagi selain menerima keadaan bahwa ia kehilangan putrinya yang sampai saat ini entah berada di mana.
"Galih!" serunya, mereka pun saling berpandangan. "Berjanjilah untuk menjaga Sita dan calon anakmu baik-baik." Anwar menepuk pundak Galih sambil menunjukkan simpul senyum bermartabat.
Sedangkan laki-laki di sebelahnya itu—melihat mata Anwar tanpa bisa berkata apa-apa, dan tak ingin berjanji apa-apa karena itu sulit baginya.
Mereka pun kembali saling diam dalam pikiran masing-masing. Bagi Anwar, demi malam yang dingin dan hujan yang akan turun, ia berniat dalam hati bahwa malam ini akan dijadikan Anwar sebagai malam terakhir pertemuannya dengan Galih. Tak boleh ada pembahasan apa-apa lagi setelah ini. Hubungan mereka pun harus dikatakan berakhir. Sampai kapan? Tak akan ada waktu yang bisa menjawab itu.
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3