2 tahun kemudian ....
Galih menyeka keringat di dagunya sekaligus memantau—apakah Andien, putri kecilnya yang masih berumur satu tahun enam bulan itu tidak menangis. Ia tentu tahu bagaimana Sita selalu berhasil membuat Andien merasa nyaman. Sementara Galih kembali meneruskan perjuangannya, agar semua kesibukan ini segera selesai dan ia bisa beristirahat di kasur baru yang baru ia beli tadi pagi untuk rumah barunya.
Kembali ke Jakarta setelah hampir dua tahun tinggal di kota Palangka Raya. Akhirnya ia bisa kembali ke kampung halaman, berkumpul kembali bersama keluarga dan memulai hidup baru. Meski butuh usaha yang lebih untuk membuat semuanya seakan normal tanpa harus mengingatkan kembali tentang masalah besarnya saat ia benar-benar merasakan kehancuran dalam hidup dan kisah cintanya. Itu semua keironisan, kehilangan seseorang yang sangat ia cintai begitu cepat membuatnya harus terbiasa akrab dengan mimpi buruk tiap malam.
Galih tak ingin lagi mengingat dan mencari tahu tentang masa lalu, meski hingga sekarang ia masih mencari cara bagaimana menghilangkan semua rasa penyesalan itu. Karena kini ia telah memiliki Andien, satu-satunya nyawa yang sangat ia cintai melebihi apa pun. Satu-satunya putri yang ia miliki meskipun dari hasil hubungan haramnya dengan Sita yang hingga kini masih memaksakan diri menjadi istri serta ibu dari anaknya. Bukan artinya Galih tak sayang, hanya saja ia tidak pernah bisa menghadirkan benih-benih cinta di antara mereka.
Tampaknya saja mereka seperti pasangan suami istri normal, tapi dibalik itu semua, bahkan menyentuh tubuh bugil Sita saja Galih tidak mampu. Segala hasrat hanya mampu ia pendam dan sama sekali tidak berniat mengganggu ketenangan Sita. Galih tidak berharap banyak soal hubungan ini. Satu-satunya yang membuat mereka bertahan hingga sekarang hanyalah Andien.
Dari arah dapur, Sita datang sambil membawa sepiring biskuit serta susu hangat untuk Andien. Ia duduk di sebelah Galih dan menyuruh Andien untuk lebih memilih susu dibandingkan boneka baunya. Galih ikut merayu Andien, dan ketika ia berhasil menangkap tubuh mungil putrinya, ia memangku Andien dan menyodorkan cangkir susu ke mulutnya.
"Barusan aku di telepon sebuah agensi, mereka menawariku untuk pemotretan bersama Andien," ungkap Sita membuka topik.
"Pemotretan? Apa kamu pernah mendaftar?" tanya Galih. Tangannya agak sibuk menepuk-nepuk paha Andien berharap anaknya bisa tertidur.
"Enggak, kebetulan temanku yang salah satu manajemen itu menawariku dari jauh hari. mereka bilang butuh model untuk produk susu bayi, katanya aku dan Andien sangat cocok. Andien akan berfoto bersama Almira Freddie." Sita mengigit biskuit kacangnya. "Bagaimana menurutmu?"
"Almira Freddie? Adik Nouvie teman SMA-mu?" Galih berusaha mengingat.
"Iya, si Lady Hammer. Atlet downhill women terbaik di Indonesia itu. Andien akan berperan sebagai generasi bayi, dan Almira sebagai generasi dewasa. Dan kudengar katanya akan shooting iklan TV juga."
Punya anak dan istri yang terkenal, akan ada foto mereka di mana-mana. Galih berpikir itu bukanlah hal yang merugikan. Akan ada saat di mana Galih tidak bisa bertemu dengan Andien, maka ia bisa dengan mudah menemukan foto anaknya di setiap papan iklan pinggir jalan. Maka itu akan sangat membantu hatinya untuk sedikit terhibur.
"Aku pikir itu hal yang bagus, kenapa enggak?" serunya semangat.
"Berarti kamu mengizinkan?"
"Iya, asalkan bukan untuk foto macam-macam." Galih tersenyum. "Oh iya, setelah menidurkan Andien, aku mau pergi sebentar. Ada urusan, kamu nggak keberatan kan kalau di rumah sendiri?" Itu pertanyaan yang wajar menurut Galih, meninggalkan Sita dan Andien di rumah sebesar itu sedikit membuatnya khawatir.
"Nggak masalah, pergilah. Kebetulan juga aku harus pergi belanja untuk makan malam kita nanti. Aku akan membawa Andien."
Beberapa saat setelah itu, Galih berhasil menidurkan putrinya. Tanpa harus berpamitan lagi dengan Sita, ia pun pergi masih dengan mercy tiger-nya yang lama. Dengan setelan kaos lengan panjang dan celana jeansnya, Galih masuk ke dalam mobil yang baru tadi pagi dicucinya sampai benar-benar mengkilap.
Ia sudah tahu Jakarta memang macet luar biasa, tapi ia tak memedulikan hal itu. Kita bisa menemui para pengamen dan pengemis jalanan di hampir setiap persimpangan lampu merah. Suara klakson kendaraan yang membuatnya seperti orang amnesia karena telah terbiasa dengan ketidakhirukpikukkan kota Palangka Raya.
Lima belas menit yang lalu, Galih telah membuat janji sebelumnya dengan teman lamanya saat semasa SMA. Setidaknya hanya Mirza yang masih tertinggal di daftar kontak teleponnya. Karena sungguh, Galih seolah-olah seperti makhluk asing begitu kembali ke Jakarta, ia kehilangan hampir semua kontak telepon teman-temannya hanya karena ia tak ingin ada seorang pun yang ia kenal mengganggu kehidupan barunya. Apalagi membahas masa lalu itu. Saat semua teman-temannya mendengar kabar bahwa ia tidak menikah dengan Anis waktu itu, Galih menerima puluhan panggilan dan juga puluhan pesan dari orang-orang. Dan itu semua membuat kepalanya hampir pecah.
Mereka telah membuat janji untuk bertemu di cafe. Hanya butuh waktu lima menit untuk memarkirkan si mercy Tigernya dengan apik. Dan Galih pun tersenyum bangga, saat melihat warna merah membuat mobilnya menjadi sangat mencolok di antara mobil mewah yang lain. Sedikit menggelengkan kepala, lantas dengan sedikit ramuan rasa santai dan tarikan napas panjang, Galih berusaha menghilangkan rasa gugup. Ini hanya reuni pribadi, dan tak seharusnya Galih bersikap seolah-olah ia akan berjumpa dengan puluhan teman lama.
Maka ia pun dengan senang melangkah ke dalam café. Tak perlu repot-repot, Mirza telah duduk di bangku sudut smoking area sambil memainkan ponselnya serius. Galih memperhatikan sejenak perubahan fisik sahabat lamanya yang terlihat sedikit lebih buncit. Sambil memasang tawa girang, Galih pun menyapa Mirza dan berhasil membuat pria itu sedikit surprise.
"Dari dulu muka serius kamu itu nggak berubah ya?"
Mirza mengangkat wajahnya lantas berdiri dan menyambut Galih dengan pelukan persahabatan dan tepukan punggung. "Galih! Masyaallah ... apa kabar?"
"Seperti yang kamu lihat sekarang." Galih menyeringai lebar. "Meski tampak lebih gelap." Dan mereka pun duduk berhadapan dengan gerakan serentak.
"Sudah lama nunggu?" tanya Galih. Ia melihat Mirza meletakkan ponselnya di atas meja lantas memanggilkan waiter untuk melayani pesanan.
Mirza kembali melihat wajah Galih lantas menjawab. "Enggak, aku juga baru datang. Kamu pesan apa?" tanya Mirza sambil meraih buku menu dari si waiter yang dengan sangat ramahnya meladeni mereka. "Untuk pertemuan pertama kita, biar aku yang traktir."
"Waw ... ya, terima kasih. Tapi lain kali biarkan aku yang mentraktirmu." Galih membolak-balik buku menu dan dengan cepat memesan Skinny Caramel Macchiato dan beberapa makanan.p
Si waiter pun pergi meninggalkan mereka setelah Mirza memesan salted caramel hot chocolate. Hingga satu jam ke depan — mereka pun tenggelam dalam obrolan mengenai masa lalu, masa-masa SMA yang menurut mereka sungguh berandalan. Tentang kekentalan persahabatan mereka, tentang cinta monyet yang sangat memalukan, teman-teman dengan karakter yang berbeda-beda, hingga mengenai cita-cita yang sangat meleset dari perkiraan mereka sabelumnya.
"Maaf, Gal. Mungkin besok kita bisa bertemu lagi. Aku akan mengajak Joe, Teguh juga Sandy supaya kita bisa kumpul bareng."
"Reuni kecil," imbuh Galih saat melihat Mirza bangkit dari kursi sambil meletakkan uang dua puluh ribuan diatas meja sebagai tips. "Kenapa nggak minta bill aja?"
"Terlalu lama, aku harus buru-buru. Mengobrol denganmu membuatku lupa waktu." Mereka pun tertawa ringan. Galih ikut bangkit dari kursi lantas mengikuti sahabatnya itu sampai ke kasir.
"Kamu harus menghubungiku di mana kita akan bertemu besok," sarannya.
"Boleh! Aku pasti akan menghubungimu," kata Mirza sambil memberi tinjuan kecil pada lengan Galih, lalu bertanya pada kasir wanita yang sedang merunduk menyusun sesuatu di bawah meja kasir. "Meja dua puluh enam, Mbak," ujar Mirza. Namun sepertinya wanita itu tidak mendengar. "Mbak! Hello ...!"
Wanita itu sedikit terkejut lantas gugup sambil mengulas senyum. "Oh! Maaf, Mas." Wanita itu kemudian menengadahkan wajahnya menatap mereka berdua. "Meja nomor bera—" Tak bisa melanjutkan kata-kata, penjaga kasir itu mendadak tak bisa berbicara selain mematung.
Galih terperangah, mengedipkan mata beberapa kali tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tubuhnya kaku secara tiba-tiba bersamaan dengan darahnya yang berdesir hebat. Galih tak bisa melepaskan mata itu dari hadapannya, tak bisa berkata apa-apa selain menyebutkan satu nama.
"Anis?"
------------------------------------------------------
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3