Anis menghilang! Sudah tiga hari ia tidak kembali pulang.
Semua orang panik, terutama ayah Anis. Ia pergi ke sana kemari, mondar-mandir seperti orang stres. Ia dan semua orang yang peduli dengannya, membantunya mencari di mana keberadaan Anis. Anwar tak pernah sudi kehilangan kabar dari pihak kepolisian atas usaha mereka melacak putrinya, meski hingga detik ini pun tak ada hasil apa-apa yang membuat hatinya tenang.
Malam setelah kepergian putrinya, Galih datang menemuinya dengan tubuh yang hampir tak bisa berhenti gemetar, napas yang tak teratur, dan raut wajah ketakutan. Pemuda itu memberitahukan hal yang sebenarnya terjadi di antara mereka dengan air mata penyesalan yang tak ada gunanya lagi. Dan Anwar pun tak tahu harus mengungkapkan kata-kata dengan cara seperti apa karena ia bukan tipe orang yang suka mengamuk, menghajar orang apalagi memaki.
"Bantu Bapak mencari Anis. Karena Bapak benar-benar takut sesuatu terjadi padanya."
Galih sendiri semakin melirih tangis saat lelaki tua yang duduk di hadapannya hanya mengungkapkan kalimat itu untuknya setelah ia mengakui bahwa dirinyalah yang telah membuat putrinya menghilang.
"Saya akan cari Anis sampai ke mana pun. Saya janji, Pak!"
Saat itu, Anwar mungkin tak perlu terlalu percaya lagi pada Galih. Namun, setidaknya lelaki yang mungkin pernah menjadi calon menantunya itu harus bertanggung jawab dan berjuang keras untuk mengembalikan putrinya.
Saya akan membawa Anis pulang. Lalu Anwar hanya bisa diam, menggundah dan tak tahu keputusan apa yang harus diambil demi pernikahan anaknya. Semuanya terjadi terlalu cepat, seperti musibah yang mendadak menghancurkan seluruh harapan putri satu-satunya.
Seminggu bukanlah waktu yang lama, akan menjadi sangat cepat bila menunggu keadaan berubah menjadi kacau. Apa yang harus Anwar katakan pada semua orang yang telah dia undang, kepada sanak saudara yang telah banyak membantunya mempersiapkan semua, kepada semua pesanan peralatan pesta yang harus ia batalkan. Lalu harus bagaimana ia memperlakukan gadis yang telah ikut bersalah dalam kegagalan rencana pernikahan Anis? Keluarga Sita sudah ia anggap seperti saudara sendiri, keluarga yang sangat mereka hormati namun justru menjatuhkan harga diri keluarganya. Sungguh ini adalah hari terburuk dalam kehidupan keluarganya, bahkan lebih buruk dibandingkan saat menghadapi hari duka istri tercinta.
Sudah seminggu ia tidak bekerja. Mencari Anis adalah hal yang lebih penting. Fajar, anak laki-lakinya membantu mencari informasi dari orang-orang yang mungkin saja pernah melihat Anis terakhir kali. Salah seorang supir angkot yang ia kenal memberitahukan kepada Fajar kalau ia sempat melihat Anis berlari menuju ke bawah jembatan di mana di situ terdapat sungai yang sedang meluap. Lalu Anwar pun bergegas menuju ke sana, tetapi tak menemukan apa-apa. Semua orang yang berada dekat dengan tempat itu tak tahu apa-apa sama sekali.
Ia hampir menyerah, membumbui malam dengan kesedihan juga kecemasan yang semakin mendalam. Anwar terduduk di meja makan, tempat biasa Anis bersuara keras menyuruh ia dan adiknya untuk makan malam dengan hidangan hangat lezat yang ia siapkan. Namun yang ada dihadapannya sekarang hanyalah dua bungkus nasi goreng yang ia beli dari penjual kikir.
Tangannya membuka bungkus nasi goreng dengan semangat yang seperti habis terhisap oleh hari. Anwar membayangkan; Jika Anis ada di sini, mereka pasti akan tertawa, Anis pasti sangat senang setiap kali ayahnya membawakan makanan untuknya. Jika Anis di sini, pasti ada secangkir teh panas untuk ia seruput dengan nikmat. Jika Anis di sini, ia pasti akan mengomel kalau tahu Fajar belum pulang sampai malam begini. Dan jika ada Anis di rumah ini, mereka tidak akan pernah merasa kehilangan hingga sesedih itu. Setidaknya mereka butuh kabar.
Walaupun datangnya dari mana saja, Fajar pulang dengan wajah tertunduk lesu tak bersemangat. Tak ada kabar apa-apa yang penting untuk disampaikan pada ayahnya sore ini setelah usahanya berkelana untuk mencari informasi gagal.
"Fajar?" panggil Anwar pada anak bungsunya. "Bagaimana? Ada informasi tentang kakakmu?"
Fajar diam, terduduk lesu di lantai dan bersandar pada tembok. Melipat lututnya seperti orang putus asa, dan sesungguhnya dia memang putus asa.
Kepalanya menggeleng. Anwar pun langsung menarik napas resah. "Ya sudah, besok saja kita lanjutkan mencari kakakmu. Ayah yakin dia pasti tidak akan jauh dari kita." Setidaknya itu adalah kalimat penyemangat yang dapat ia sampaikan. "Sekarang kita makan dulu, Nak."
Fajar bergeming dari tempatnya, masih bersama dengan wajah murung.
"Ayah tahu kamu kangen sama kakakmu, karena ayah juga merasakannya, Nak. Kita benar-benar merasa kehilangan." Anwar ikut duduk di sebelah Fajar, memegang bahu anak lelakinya yang menangis meringkuk. Dan kedua tangannya pun tak kuasa untuk tidak menyandarkan kepala Fajar ke dadanya.
Ia harus bisa menahan air mata untuk menunjukkan kepada anaknya bahwa mereka harus kuat dan tidak menyerah.
°°°°°
Meski malam adalah hari tergelap dalam putaran waktu dua puluh empat jam, sesungguhnya malam belakangan ini semakin membuat jiwa Galih seakan terguncang. Ia sedang tidak mau berkumpul di ruang tamu rumahnya setelah beralasan ingin ke kamar mandi dua menit yang lalu. Padahal ia berbohong.
Sekelompok orang yang berpengaruh dalam hidupnya baru saja berkumpul membahas tentang masa depannya.
Yah, kedua orang tua Sita baru saja meninggalkan ruang tamu. Meskipun Sita tak ikut hadir dalam perbincangan ini. Karena Sita pasti tidak akan kuat juga. Begitu Galih menangkap kalimat ayah tiri Sita bahwa ia harus menikahi anak perempuannya, Galih pun tidak lagi merasa langit seakan rubuh menimpanya, tapi yang ia rasakan adalah seperti tenggelam ke dasar laut Atlantik dan membekukan seluruh peredaran darahnya. Ia tak bisa menjawab dan berbuat apa-apa lagi untuk menolak tuntutan orang tua Sita, selain hanya diam dan pasrah. Menundukkan kepala seperti narapidana yang mendapat hukuman penjara seumur hidup.
Namun kini, menyendiri di beranda samping rumahnya membuat ia bisa sedikit bersandiwara dengan sikapnya di hadapan ibunya. Galih menggerang kemudian meninju tembok dengan kepalan tangan kosongnya sekuat tenaga, jelas saja karena rasa kesalnya terhadap diri sendiri. Tiga hari lagi, seharusnya ia menikah dengan Anis, tapi menghilangnya Anis selama beberapa hari ini membuatnya semakin merasa bersalah. Jika sampai tiba hari di mana seharusnya ia menikah dengan Anis, dan Anis belum juga ditemukan, ia terpaksa harus benar-benar membatalkan semua acara yang telah lama mereka persiapkan, dan mau tidak mau, ia harus menikah dengan gadis yang ia hamili.
Ironis sekali karena ia harus menikah dengan sahabat kekasihnya sendiri. Wanita yang sama sekali tidak ia cintai.
"Galih, sudahlah jangan terus-terusan menyakiti dirimu sendiri." Tiba-tiba suara ibunya mampir dari balik telinganya. "Kita udah nggak punya jalan lain sekarang."
Galih menarik napas, lantas bersandar di tembok dengan kepala yang baru saja ia jedutkan. "Galih nggak mungkin menikah dengan sahabat Anis, Ma! Ini mustahil, kami nggak saling mencintai."
"Mama tahu kamu cuma cinta sama Anis, tapi kamu lihat kenyataanya. Sampai sekarang Anis belum juga ditemukan."
Oh ya ampun, kenapa ibunya harus mengeluarkan kalimat tentang Anis lagi. Akibatnya air mata Galih kini membanjir di kelopak matanya untuk yang kesekian kali, wajar saja bila menghilangnya Anis membawa dampak sensitif bagi perasaanya. Walau sebenarnya ia tak ingin tampak cengeng di depan siapa pun.
"Entah kenapa, Galih sangat yakin kalau Anis nggak berada jauh dari sini. Dia pasti masih hidup, Ma." Galih membasuh air matanya. "Lalu bagaimana jika ia kembali dan melihat aku telah menikah dengan Sita, ia pasti akan sangat sedih dan kecewa."
"Itu pasti, tapi kalau memang Anis masih ada di luar sana, kenapa dia tidak pulang di hari menjelang pernikahannya. Itu artinya dia tidak mau lagi berhubungan sama kamu, apalagi menikah dengan kamu." Di situ Galih terdiam, berdiri layu dengan wajah lagi-lagi menunduk. "Mama sama papa kamu sudah tidak tahu harus berbuat apa, masalah ini benar-benar sudah membuat keluarga kita malu. Seharusnya saat ini kita berpikir dan mencari cara bagaimana mengabarkan kepada semua orang yang sudah kita undang bahwa pesta pernikahan kamu dibatalkan!"
Dan kali ini mata Galih terlihat membesar. BATAL. Adalah lima huruf yang sangat ia takutkan semenjak kepergian calon istrinya.
"Tolong jangan dibatalin, Ma. Anis pasti akan pulang dan kami bakal menikah. Bukannya seorang laki-laki bisa memiliki lebih dari dua orang istri? Aku pasti akan menikahi Sita setelah aku menikahi Anis." Ibunya memasang mata lebih tegas. "Pernikahan aku dan Anis nggak boleh batal. Aku yakin kalau Anis pasti akan pulang karena dia sangat mencintaiku. Anis sangat memimpikan pernikahan ini."
"Apa kamu pikir segampang itu menikahi dua orang wanita? Kamu dan Sita sudah membuat hidup Anis hancur, bagaimana bisa kamu akan menyakiti hatinya lagi dengan dua sahabat yang harus berbagi suami. Kenapa kamu bisa setolol ini, Galih?"
Galih tertunduk diam. Bibirnya bergetar.
"Bukankah tadi kita sudah sepakat kalau kamu akan menikah dengan Sita? Itu artinya kamu harus bisa membatalkan pernikahan kamu dengan Anis."
Galih menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju, ia tahu bahwa semua masalah ini telah membuatnya benar-benar menjadi orang bodoh.
"ENGGAK!"
"Tapi kamu harus melakukannya, Gal!" Faridah berusaha untuk membuat sebuah cara untuk dapat menabahkan hati anaknya. Ia dekati anak laki-lakinya yang belum juga bisa menghentikan tangisannya. "Mama merasa, bahwa Anis ingin menghindar darimu. Barangkali ia ingin anak yang dikandung Sita itu memiliki ayah yang bertanggung jawab. Dia sangat mencintai kamu, dan ia juga sangat menyayangi sahabatnya. Mungkin itulah alasannya kenapa ia menghilang."
Lagi-lagi kalimat Faridah membuat Galih semakin terpuruk, ia tak lagi sanggup menahan tenggorokannya yang tercekat. Dengan tangannya yang gemetar, ia tak lagi berpikir untuk memeluk ibunya.
"Ma, bantu Galih untuk bisa melewati semua ini. Karena cuma mama yang bisa membantuku."
Jika benar apa yang dikatakan mama, kenapa kamu melakukan semua ini Anis... sampai matipun, aku tetap tidak akan pernah bisa mencintai orang lain selain kamu. Kamu harus tahu itu.
Aku benar-benar sangat merindukanmu, Nis. Bicaralah padaku jika kamu memang menginginkan semua ini terjadi.
---------------------------
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3