Oh tidak! Jangan Anis, seharusnya Anis tidak boleh tahu. Setidaknya Sita harus bisa merahasiakan semua ini dari Anis.
Galih langsung tergerak, Anis pergi dan ia tidak bisa membiarkan calon istrinya pergi. "Ke mana Anis? Beri tahu aku ke mana Anis pergi, Lev."
"Apa kamu kira aku tahu ke mana dia pergi?" jawab Levin. "Aku memaksa Sita untuk mengaku di depan Anis karena dia telah memfitnahku. Lalu Anis berteriak histeris dan marah karena kecewa, dan dia pun pergi."
"Kenapa kalian nggak mengejarnya?"
Levin dengan kasar menolak bahu Galih sampai ia terjatuh. "Kamu harus bertanggung jawab atas semua ini, bajingan! Kalau sampai Anis kenapa-kenapa, kupastikan kamu bakal mati."
"Apa yang telah kamu lakukan, Gal? Mama nggak nyangka kamu bisa berbuat hal senekat ini."
Tubuhnya gemetaran, satu-satunya yang ia takutkan adalah―bagaimana jika sesuatu terjadi pada Anis. Ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri kalau sampai gadis yang dicintainya itu terluka dan menderita. Ia tak bisa dihakimi terus seperti ini, nalurinya pun dengan cepat bertindak. Ia bangkit, mengambil kaosnya yang semula tergeletak di kasur, lalu pergi meninggalkan ibunya tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu.
Anis, kumohon jangan pergi.
Itu kata-kata yang ia ulang berkali-kali sembari ia berlari mencari kekasihnya tanpa arah dan tujuan. Ia tak peduli dengan awan hitam yang memayunginya serta dentuman suara petir yang sesekali memantulkan cahaya menakutkan atau kelelahan kaki yang menuntutnya untuk berlari sejauh mungkin sampai berhasil menemukan Anis.
Dan hujan pun turun dengan derasnya. Mengguyur tubuhnya yang kedinginan kelesah. Ke mana ia harus mencari? Galih tidak memiliki satu petunjuk pun untuk itu kecuali ke padang rumput kesukaan Anis. Namun, ia tidak menemukan Anis ada di sana. Lantas ia berteriak, meluapkan kekesalannya pada diri sendiri yang begitu tolol. Memanggil nama Anis dan berharap untuk bisa menemukannya.
***
Levin sama sekali tidak menyangka bahwa akhirnya akan jadi seperti ini. Sekarang ia harus berjalan ke mana untuk menemukan gadis yang hingga saat ini masih dicintainya itu. Dia tidak terlalu ingat, di mana tempat biasa Anis menyendiri―karena menurut sepengetahuannya, Anis bukanlah tipe gadis yang suka menyendiri di tempat asing, juga bukan tipe gadis yang suka begitu saja lari dari masalah, apalagi kabur dengan cara begini.
Namun, tindakan macam apa lagi yang bisa diambil gadis lugu seperti Anis bila menghadapi masalah yang sangat gila seperti ini. Mereka semua memahami bagaimana perasaan seorang perempuan yang akan segera menghadapi pernikahannya tiba-tiba saja akan batal dalam waktu seminggu. Pernikahan yang selama ini diidamkan oleh para wanita mana pun di belahan bumi. Bahkan seorang putri raja pun mungkin akan melakukan hal yang sama.
Waktu tiga jam bagi Levin seakan terlalu cepat baginya untuk memberinya sedikit ruang ke mana ia akan melajukan motornya. Ia telah puluhan kali menelusuri gang-gang di setiap dusun kota, menjelajahi tempat-tempat sunyi, dan bertanya pada setiap orang yang dia jumpai. Tak peduli seberapa dingin tubuh itu menggigil lantaran hujan secara menderas mengguyurnya, karena pasti Anis juga merasakan hal yang sama. Bahkan lebih menggigil jika ia tak menemukan tempat untuk berteduh. Levin semakin mempercepat laju motornya, menerobos hujan yang membuat matanya terasa sakit. Bergelut di antara suara gemuruh yang dihasilkan oleh badai. Saling berseteru dengan kendaraan lain yang ia selip. Hingga teriakannya pun memecah ke setiap sudut jalan.
***
Dua bulan yang lalu, ada seorang pemuda yang dengan sangat sungguh-sungguh melamar dirinya, memintanya untuk menjadi istrinya, mendampingi hidupnya sampai mati, dan ia menerima itu semua dengan penuh suka cita. Tiap malam di tidurnya seolah menjadi sebuah layar khusus untuk melihat bagaimana masa depan keluarga yang hendak ia bentuk meskipun hanya dalam mimpi.
Pagi tatkala matanya terbasuh oleh sejuknya embun, ia selalu tersenyum. Dibayang-bayangi dengan rupa menawan dirinya saat lelaki tersebut menyentuh tubuhnya saat malam pertama. Ia bisa membayangkan, bagaimana rasanya menjadi wanita paling bahagia di dunia ini. Menikah dengan lelaki yang sangat ia cintai, memiliki sebuah keluarga kecil dan beberapa anak yang mungil dan lucu. Mereka akan tinggal di rumah unik dengan halaman yang luas. Ia sudah bertekad, akan menanami halamannya dengan bunga-bunga yang ia sukai. Bukan anggrek ataupun mawar. Tetapi bunga matahari, melati dan―kalau saja ada orang yang menjual bibit dandelion, ia akan membeli dan menjadikan halaman rumahnya bagai hamparan bunga dandelion.
Beberapa bulan yang lalu, adalah saat yang paling mendebarkan di sepanjang hidupnya saat akan menghadapi hari pernikahannya yang akan datang.
Bukan hari ini ataupun detik di saat suatu pengakuan membuat seluruh hidupnya hancur. Anis tak sanggup menahan gejolak emosinya di hadapan wanita yang sangat terlibat dalam kehancuran masa depannya, bahkan sulit untuk mempercayainya bahwa wanita itu adalah sahabatnya sendiri. Ia tak punya banyak waktu hanya untuk menangis dan meratapi nasib di antara orang-orang yang mengasihinya. Maka, keputusannya untuk pergi dari semua orang yang ia kenal adalah sebuah keputusan yang mutlak.
Saat senja seharusnya menunjukkan warna langit kemerahan, Jakarta tampaknya enggan untuk menyediakan kehangatan sebelum gelap. Yang ada hanyalah rasa dingin, derasnya hujan sepertinya senang menggerujuk tubuh Anis dengan sangat keras. Bahkan sepertinya semua rasa sakit yang mendera tubuhnya tak separah dibandingkan dengan rasa kecewa yang sangat hebat ini.
Ditekuknya lutut hingga tak ada rongga tersisa antara perut dengan pahanya. Anis meringkuk kedinginan, dan hanya bisa melihat aliran sungai di bawah kakinya terlihat semakin pekat. Rindang pohon yang memayungi tubuhnya ternyata tak punya daya apa pun untuk membuat tubuhnya sedikit terlindungi. Ia tak dapat lagi membedakan antar air mata dan tetesan hujan yang membasahi wajahnya. Bahkan kalau saja Tuhan mengizinkan, ia bersedia jika petir harus membunuhnya saat itu juga. Barangkali dengan begitu, ia tidak akan lagi merasakan penderitaan.
Masih banyak kenangan yang melayangkan pikiranya, apa pun itu―yang membuat bahagia tak lagi dapat ia cerna seperti sebelumnya. Tak ada seorang pun yang bisa menyelamatkan keadaannya, menyelamatkan pernikahannya. Jalan seperti apa yang harus ia lewati untuk bisa membuat segalanya kembali normal, bahkan dirinya sendiri sudah tak lagi dapat menerka masa depan.
Ia tahu air sungai yang meluap di bawah kakinya itu pasti sangat dingin dan mampu membekukan tubuh lemahnya. Menghabiskan napas perlahan-lahan sampai katup jantungnya tak lagi sanggup menampung air lumpur yang sangat kotor. Otaknya lambat laun akan berhenti bekerja hingga akhirnya ia benar-benar kehilangan nyawa. Diturunkannya kaki kanan menyentuh air yang tampak semakin gelap pekat. Ia tak dapat melihat satu cahaya pun masuk ke mata juga pikirannya. Yang ada hanyalah suara air sungai, mendengungkan telinga, mengosongkan pikiran terlebih lagi jiwanya.
Aku tak tahu alasan apa yang akan dikatakan Galih, apa pun itu―aku terlalu mencintaimu sampai aku tak sanggup menahan ini semua. Terlalu menyakitkan.
Kembali Anis menangis dengan segala kesedihan. Menjadi wanita paling bahagia bukan lagi impian, sesakit apa pun kelak ia di akhirat nanti mungkin lebih baik dibandingkan bila ia harus sakit karena menahan ini semua. Anis akan membawa cintanya dalam kematian, menimang-nimangi itu dengan kesendirian. Dari dalam air yang pekat itulah, ia bisa merasakan semua masalahnya pasti akan hilang begitu saja. Membayangkan bagaimana orang-orang yang menyayanginya akan menangis histeris tatkala menemukan ia tak lagi bernyawa. Lima detik kemudian, akan mengubah segalanya.
Ia telah mengetahui bagaimana dinginnya air menenggelamkan tubuhnya, arus sungai membawa tubuhnya tanpa ampun. Anis berusaha untuk tetap tenang dalam ambang kematiannya, dan untuk pertama kalinya ia merasakan sakitnya kehilangan napas. Paru-parunya terasa penuh dengan air, hingga membuat tenggorokannya tak sanggup bertahan. Ia tak dapat mendengar suara apa-apa selain derasnya suara arus sungai yang menutup katup telinganya. Bebatuan mengantuk tubuhnya tetapi Anis tak dapat melawan rasa sakit itu. Ia hanya berpikir bagaimana caranya menghentikan rasa sakit ini.
Gelap di pandangan membuatnya takut, ia berusaha menggerakkan kedua tangan dan kakinya untuk keluar dari sungai terkutuk itu, mencari sesuatu untuk diraih agar ia tidak hanyut terlalu jauh. Ia ingin menangis, tapi terlalu mustahil karena sepertinya Anis lebih baik mencari udara daripada harus membuat jantung dan otaknya tertekan. Jiwanya meraung dalam kesakitan, pergolakan itu masih saja memaksanya untuk mengetahui kenyataan bahwa ini terlalu menyakitkan. Anis berusaha berteriak tapi tak bisa. Dalam sekaratnya, Anis terkejut begitu mendengar suara ayahnya yang seolah menangis memanggilnya, memintanya untuk tidak pergi terlalu jauh. Dan seketika itu juga, ia tahu bahwa seharusnya ia tidak meninggalkan orang tuanya dengan cara mengenaskan seperti ini.
Hanya suara ayahnyalah yang menuntunnya untuk bertahan dan memberinya kekuatan untuk bisa keluar dari maut. Ia coba sekuat tenaga untuk mengayunkan seluruh ototnya, mencari tepian sungai atau apa pun yang dapat membuatnya selamat. Meski harapan terasa tipis, meskipun Tuhan mengabulkan permohonannya untuk mati saat ini juga, tampaknya Anis harus ikhlas.
---------------------------
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3