Sita bisa merasakan tubuh Anis melemas, dilihatnya wajah sahabatnya itu terdiam tak membuka mulut. Wajahnya sekejap berubah merah dan akhirnya air mata itu jatuh. Anis memegangi kedua pundak Sita yang basah dan gemetar.
"Sekarang kamu memfitnah calon suamiku?" Sita menggeleng, tidak berani menatap mata Anis. "Katakan kalau ini semua nggak benar."
"Anis maafin aku, kami nggak sengaja melakukannya."
Anis mengisak, berusaha untuk tidak percaya. "Sita, apa kamu lupa kalau aku akan segera menikah?" Sita menggeleng lagi. "Kalau aku nggak memergoki testpack-mu, apakah kamu akan diam dan menyembunyikan hal ini selamanya?"
"Kumohon, Nis. Aku sama sekali nggak punya niat untuk menggagalkan pernikahanmu."
"Tapi kamu sudah menggagalkannya."
"Enggak—"
"Kamu sudah mengkhianatiku."
"Anis, please! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan."
"Dan calon suamiku juga. Galih. Dia juga mengkhianatiku."
Sita meringis semakin kuat, tangisannya tak sebanding dengan kekecewaaan yang dialami sahabatnya. "Aku nggak pernah mengkhianatimu. Kumohon maafkan aku ...."
"Yah, benar, ini pasti mimpi. Kamu sahabat baikku, 'kan? Mana mungkin Sitaku tega mengkhianati sahabatnya sendiri."
Sita berusaha memeluk Anis, tapi Anis menampiknya. Tak ada lagi yang bisa dikatakan, karena tenggorokanya terlanjur tercekat. Bernapas saja sulit baginya. Pandangan Anis kosong, menggila. Ia berusaha untuk bangun dari mimpi, tapi itu semua gagal. Ia tahu ini adalah kenyataan. Ada petir berskala besar menghantamnya tanpa ampun. Ia tahu bagaimana nasib pernikahannya ke depan hanya dari pengakuan Sita—sahabatnya sendiri.
Tubuhnya lemas seketika dan bahkan kakinya tak sanggup menapak, ia terperosot dan meringkuk ke lantai dengan kedua tangan belum bisa lepas dari Sita. Ia butuh seorang sahabat untuk membuatnya tenang, tapi apalagi yang bisa diharapkan dari Sita yang telah turut andil mengacaukan pernikahannya. Sita mencoba memeluknya, tidak berhenti meminta maaf, bahkan ia bersumpah akan membuang janin di dalam perutnya meski nyawa menjadi taruhan. Asalkan pernikahan mereka terselamatkan. Asalkan sahabatnya ini tidak menderita.
Namun, Anis tidak dapat mendengar itu semua. Yang bisa ia lakukan hanya menjerit histeris sampai tubuhnya tergeletak di lantai dan basah karena air mata, lalu ia pergi. Berlari entah ke mana—tanpa tujuan.
***
Hingga sekarang Galih tidak bisa percaya. Peristiwa malam itu masih saja menggerayangi pikirannya. Seharusnya ia tidak minum sampai mabuk, seharusnya ia menuruti kata-kata calon istrinya untuk tidak menyentuh minuman beralkohol. Akibat kecelakaan itu, Galih jadi tidak bisa berkonsentrasi mengenai apa pun. Pernikahannya akan datang beberapa hari lagi, dan menyembunyikan sesuatu yang sangat besar adalah beban terberatnya dalam hidup.
Bagaimana kalau Sita membocorkan kejadian itu pada orang lain. Meskipun mereka telah sepakat untuk menyimpan rahasia ini seumur hidup. Galih berharap―semoga pil KB yang diminum Sita berhasil menghentikan kesuburannya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai perut Sita membesar, dan ada anaknya di dalam situ. Di dalam perut Sita. Sahabat Anis sendiri.
Ini adalah hari minggu, dan Galih sama sekali tidak keluar dari kamarnya sejak pagi kecuali untuk sarapan dan mandi. Ia menghabiskan waktunya seharian hanya untuk merokok satu bungkus penuh, menonton TV, tidur lalu meringkuk sendirian. Ia belum ada menyentuh ponselnya untuk menghubungi Anis atau sekadar mengirim pesan.
Ingin sekali rasanya ia mendengar suara kekasihnya, mendengarkan celotehan yang biasanya membuat ia tersenyum senang. Akan tetapi, semenjak ia tahu bagaimana tubuh perempuan lain selain kekasihnya, melihat wajah Anis membuatnya semakin merasa bersalah. Ia mengibaratkan Anis seperti seekor serangga yang tak berdaya, begitu lemah dan polos. Hatinya semakin perih setiap kali mendengar Anis bercerita tentang bagaimana rencana mereka berumahtangga nanti. Galih cuma takut itu semua tidak terwujud. Hanya karena ia pernah tidur dengan perempuan lain yang sama sekali tidak diinginkannya.
Malam itu kepalanya sakit sekali, tetapi entah kenapa hasratnya begitu besar. Rasanya ingin menuangkannya pada seorang wanita, matanya yang berkunang-kunang membuat ia yakin bahwa gadis yang ia tiduri itu adalah Anis. Sampai mereka berdua akhirnya terkejut setengah mati mendapati tubuhnya dan tubuh Sita bugil tanpa busana.
Itu bukan pertama kalinya ia mabuk, tapi sungguh. Rasa mabuk malam itu membuat halusinasi dan birahinya meningkat. Lalu siapa yang harus ia salahkan selain dirinya sendiri?
"Keluarlah dari kamarmu dan makan siang, jangan bermalas-malasan terus." Itu kalimat yang ditulis ibunya lewat aplikasi pesan saat Galih membuka notifikasi dari ponselnya.
Masalah tidak akan selesai jika ia hanya berdiam diri terus di kamar. Galih hendak memakai kaosnya setelah seharian telanjang dada terus. Namun, ia terkesiap saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, Galih terkejut sampai-sampai ia batal membalut tubuhnya dengan kaos.
Ada Levin di depan pintu dan dengan cepat berlari ke arahnya memberi kepalan tangan yang sangat keras ke wajahnya.
"Dasar, Anjing!" Itu kata-kata pertama yang Levin lontarkan pada Galih sambil tangannya senang memukuli. Galih berusaha menahan setiap pukulan yang mendarat ke wajahnya seperti tanpa ampun yang terasa menyakitkan.
"Berhenti! Lev, kenapa kamu memukuliku?" Galih merintih, tapi Levin belum juga berhenti sampai akhirnya ibu Galih datang melerai mereka.
"Levin, berhenti! Apa-apaan kamu!" Galih mendapat pelukan dari ibunya, kalau saja ibunya tidak cepat datang, barangkali wajahnya itu sudah tak ketara bentuknya. "Ada apa ini?"" tanya ibunya meminta penjelasan Levin.
Dengan wajah garang, Levin tampak memuncakkan rasa marah. "Dulu kamu yang merebut Anis dari aku, tapi sekarang kenapa kamu juga mengambil Sita dariku?" Itu adalah suara terkeras yang pernah Galih dengar dari mulut sepupunya. "Belum puas kamu membuatku sakit?"
"Apa maksudmu! Aku tidak pernah merasa merebut Sita!" Ia berdiri tegak, melihat Levin dengan rupa bingung, meski Galih sedikit khawatir―barangkali Levin sudah tahu yang sebenarnya.
"Kamu nggak merebutnya, tapi kamu menghamilinya!" Galih dan ibunya terdiam seketika. Dunia seakan runtuh bersamaan dengan meteor-meteor berhamburan.
Levin sudah tahu semuanya, bagaimana bisa Sita mengingkari sumpah mereka. Dengan segala upaya ia ingin membela diri, membuat berbagai macam alasan agar mereka tidak salah paham seperti apa yang mereka pikirkan.
"Kenapa kamu lakukan ini, Galih? Di mana perasaan kamu sebagai calon suami yang Anis cintai? Kamu malah tidur sama pacar aku." Levin melonjak hendak memukul Galih untuk yang kesekian kalinya. "Anjing!"
"Cukup, Levin! Jaga sikap kamu di rumah ini!" Faridah—ibunya Galih—kini mengeluarkan suara lebih tegas, lantas bertanya pada anaknya. "Bagaimana bisa jadi begini, Galih? Bilang sama mama kalau ini semua omong kosong. Seminggu lagi kamu akan menikah, tapi kenapa kamu menghamili anak orang?"
"Ini semua kecelakaan, Ma ... aku dan Sita nggak pernah bermaksud melakukan itu. Kita mabuk dan nggak sadar dengan apa yang telah kami lakukan. Semuanya di luar dugaan."
"Bull shitt! Gara-gara kamu, Anis jadi pergi!"
------------------------------------------------------------------
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3