Salah satu hal yang kemungkinan bisa membuat kita bertahan dari situasi rumit adalah―sebuah janji. Terdengar lucu mungkin, apabila satu unsur kata itu dijadikan senjata. Namun, janji seseoranglah yang membuat kita begitu saja mudah percaya, bersabar, dan berusaha mati-matian mempertahankan komitmen. Dan bila tiba saatnya ikatan janji itu melonggar atau bahkan putus, maka kekecewaan terbesar itu sendirilah yang nantinya akan menghabisi hampir seluruh logika iman kita.
Jangan pernah bertanya kenapa Anis tak pernah ingkar janji atau bahkan mengabaikannya. Ia tahu, Galih adalah laki-laki yang tak pernah telat. Namun sungguh, kali ini ia tidak mengerti dengan sikap kekasihnya. Anis sudah menunggu Galih selama lebih satu jam di café tempat biasa mereka bertemu. Hampir puluhan kali ia menelepon dan jawaban Galih hanya bermodus traffic jam. Kali ini mungkin Anis bisa memaklumi, ia sendiri lebih sering terlambat dibandingkan Galih yang selalu tepat waktu.
Anis sudah menyiapkan banyak bahan untuk didiskusikan, meski pada dasarnya ia sudah mendiskusikan hal itu terlebih dulu pada Sita. Ia hanya butuh persetujuan Galih. Hal-hal seperti; wisma mana yang harus di-booking untuk acara istimewa mereka, konsep serta warna sepadan yang sudah dipilih. Atau jika Galih tidak sanggup untuk menyewa wisma, pilihan keduanya mungkin adalah halaman rumahnya. Tidak terlalu sulit, barangkali ia hanya tinggal memanggil jasa dekorasi resepsi kenalan Hikmal dan memintanya untuk mendesain pestanya sesempurna mungkin. Violet, brown, biru tosca, atau hijau pupus. Sekali lagi ia akan meminta pendapat Galih tentang itu. Masalah cattering iya sudah tahu dengan siapa ia akan membicarakannya.
Ditemani dengan segelas lemon tea yang hampir setengah, Anis tak mau berdiam diri seperti orang bodoh. Ia mengambil sebuah buku catatan kecil dan pena yang telah ia siapkan sedari sebelum ia berangkat, mencoret-coret kata-kata yang perlu ia ajukan pada kekasihnya nanti. Ia juga memberikan tanda lingkaran pada poin persiapan yang sudah ready ―undangan ada pada poin nomor satu.
Ia menambahkan keterangan, menulis nama para undangan malam ini dan membagikannya mulai dua minggu ke depan. Kemudian ia memberikan tanda lingkaran pada poin nomor dua―baju pengantin. Anis menuliskan keterangan bahwa ia dan Galih akan fitting baju pengantin di hari lusa. Ia sudah bisa membayangkan akan sepantas apa ia memakai kebaya terindahnya.
Bersama buku catatannya, Anis masih serius membuat berbagai rencana. Hingga tanpa terasa, kekesalannya menunggu tak lagi mengelabuinya. Ketika Galih datang dari kejauhan, Anis menyambutnya dengan senyum lebar dan memesona.
Galih menarik kursi dan duduk berhadapan dengannya sembari mengendurkan tali dasi. "Hei, Maaf, aku udah buat kamu menunggu lama. Jakarta bener-bener macet sore ini."
"Bukan masalah buatku. Yang penting sekarang kamu sudah di sini."
Galih pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih untuk kebaikan hati wanita di depannya. Anis memesankan teh manis hangat untuk Galih, karena cuma itu yang Galih perlukan untuk memulihkan energi setelah seharian lelah bekerja. Dengan cepat Galih menyeruputnya, dan kelegaan pun berangsur memulihkan tenaga.
"Aku sudah membuat beberapa daftar yang diperlukan untuk resepsi pernikahan kita nanti." Anis memukul halus penanya ke pipi. "Kamu tahu 'kan? Empat minggu lagi! Dan kita harus membuat persiapan yang benar-benar matang."
"Iya benar," jawab Galih. Telapak tangannya mendarat ke keningnya yang berkeringat.
"Kamu bisa baca ini?" Anis menyodorkan buku catatannya dan membiarkan Galih membaca serta memahami setiap tulisan yang ia buat. Menunggu respon positif.
Namun, yang ia lihat hanya kegelisahan yang tampak dari wajah pria tersebut. Anis memperhatikan sikap Galih yang sibuk mengambil tisu untuk mengelap wajah serta lehernya. Kedua matanya masih tetap tertuju pada daftar-daftar yang semakin membuat Galih terlihat gelisah. Anis belum juga mendapatkan respon positif, atau pertanyaan dari tulisan yang barangkali tak se-ide dengan Galih.
Ada apa dengan lelakinya? Pikir Anis.
"Galih?" bisiknya. Pria itu masih diam tak menjawab. "Galih, apa kamu punya pertanyaan?"
"Huh?" Galih sedikit tersengal. "Anis, aku rasa semuanya cocok."
Ini memang bukan kali pertama Anis mendengar Galih menyetujui semua rencananya dari A sampai Z, tetapi sewajarnya Galih berkomentar tentang sesuatu. Anis berharap Galih punya masukkan tentang daftar wisma pilihannya, atau warna tema, atau menu makanan yang akan disajikan. Tapi kali ini, Anis sama sekali tidak mendapatkan gambaran-gambaran semacam itu dari Galih.
"Kamu yakin?" tanyanya.
"Iya, aku yakin pilihan kamu adalah yang terbaik." Galih meneguk tehnya sampai habis.
Anis menyentuh tangan Galih yang basah berkeringat. "Kamu sakit? Dari tadi aku lihat sikap kamu sedikit aneh. Ada apa?"
"Apaan, sih? Aku nggak sakit, Sayang." Galih kembali memfokuskan matanya ke daftar dan memasang wajah ceria "Hmm ... kapan undangannya selesai?"
Setidaknya pertanyaan itu telah mengembalikan reaksi bahagia Anis. "Sudah selesai, loh. Semua undangannya sudah ada di rumah. Oh iya!" Anis merogoh tasnya dan memperlihatkan satu undangan yang sudah selesai pada Galih. "Ini salah satunya. Gimana menurut kamu?"
Kali ini ekspresi wajah Galih berubah sangat serius, memperhatikan tiap detail lembaran undangan juga foto pra-wedding mereka yang terlihat sangat indah. Undangan warna hitam itu sedikit mengubah suasana hati Galih.
"Ternyata pilihan warna kamu sangat tepat, aku suka." Galih masih diam. Melamun. "Kemarin Sita janji akan membantuku menulis nama-nama para undangannya."
"Sita?" tanya Galih tiba-tiba.
"Iya, Sita. Setelah semuanya selesai, aku dan Sita akan menyebarkan semua undangannya."
"Oh, yah ... baguslah. Sita memang teman kamu yang paling baik."
Anis menelan liquid lemon tea-nya dengan kesegaran lantas menanggapi pendapat Galih. "Juga baik. Jujur aku nggak pernah punya teman sebaik Sita. Dia benar-benar peduli sama aku." Ia melihat, lelaki di hadapannya tersenyum untuk membuatnya senang.
Dan memang itulah yang Anis harapkan sedari tadi. Melihat pasangannya tersenyum dan senang dengan pertemuan yang sempat membuat instingnya merasakan hal aneh pada diri Galih.
***
Satu bulan setelah kejadian memalukan itu, Galih selalu saja dirundung kegelisahan yang tidak bercelah. Mereka datang bagai kerumunan yang sesekali mengepung dirinya. Tidak peduli siang maupun malam.
Galih berdiri di atas balkon kamarnya dengan kedua tangan bertopang pada pagar pembatas. Langit malam memperlihatkan sisi gelap bumi tak ubahnya dengan apa yang Galih rasakan saat ini. Jika saja waktu bisa diputar kembali, Galih tidak mungkin berada di situasi pelik. Meski ia dan Sita telah sepakat untuk tidak memberitahu siapa pun tentang apa yang terjadi, Galih tetap tidak bisa melepaskan beban yang terus melekat di punggung.
Ia mencoba mengingat detail kejadian tersebut, hal apa yang membuat ia berakhir di atas ranjang bersama Sita. Gilanya, mereka terbangun dalam keadaan polos tanpa selembar pakaian pun di tubuh mereka. Sita hampir menjerit ketakutan, menuduh Galih melakukan hal yang tidak-tidak padanya. Sedangkan Galih menghujani Sita dengan tuduhan yang sama mengingat tabiat Sita yang memang suka berhubungan intim dengan para laki-laki.
"Gila kamu! Aku nggak mungkin tidur dengan calon suami sahabatku sendiri!" sarkas Sita dengan tubuh masih tertutup selimut.
Galih menekan kedua kepalanya yang berdenyut tanpa berani melihat Sita. "Aku sama sekali nggak ingat apa yang bikin aku berbuat begini, Ta. A-aku ... aku ...." Galih menemukan memori kecil nan singkat itu. Ketika ia tidur, ia melihat wajah Anis yang tersenyum padanya. Galih merasakan sentuhan dan ciuman Anis membangkitkan gairah. Sialnya, entah bagaimana caranya justru Sitalah yang ia tiduri.
"SHIT!" Galih mengumpat. "Setan apa yang bikin aku bego kayak gini?"
"Kita sama-sama mabuk. Aku bener-bener yakin laki-laki yang meniduriku adalah Levin. Kenapa malah kamu, Gal?" Sita mendekap selimut, wajahnya tertutup dan air matanya tumpah begitu saja. "Anis, maafin aku. Gimana caranya aku minta maaf sama kamu?"
"Jangan bilang!" kata Galih.
Sita mengangkat wajahnya, menoleh pada Galih.
"Jangan bilang ke siapa-siapa soal ini. Bersumpahlah untuk merahasiakannya, Ta. Please, jangan biarkan kecerobohan kita menghancurkan hidup Anis."
"Bahkan tanpa kamu minta pun, aku nggak akan mengatakannya pada Anis. Kamu pikir aku bodoh?"
"Oke, kalau gitu lupakan soal kejadian ini."
"What?" Sita menggeleng tak habis pikir. "Galih! Kamu pikir segampang itu menganggap seakan nggak pernah terjadi apa-apa sama kita? Memangnya kamu tahu apakah benih kamu itu terbuang atau justru sebaliknya?" Sita berteriak dengan suara tertahan agar tidak ada yang mendengar. Ia tidak lupa kalau mereka sedang berada di rumah Levin. "Galih! Gimana kalau aku hamil?"
Wajah Galih menegang mendengar kalimat Sita. Sekujur tubuhnya berkeringat dan ia tidak mampu membayangkan kengerian itu bakal merobohkan dunianya.
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3