Iringan musik gitar klasik Levin kali ini sepertinya tidak berpengaruh apa pun pada Sita. Meskipun Levin menyanyikan setiap bait lagu White Lion yang berjudul you're all I need dengan sangat merdu, meskipun Sita mengerti makna lagu tersebut, tetapi ia hanya senang berbaring di atas paha kekasihnya sambil memelintir telinga boneka kelincinya.
Bukan berarti ia tak senang dengan suara Levin yang serak merdu, hanya saja, ia tidak tahu harus bertingkah laku seperti apa di hadapan Levin setelah insiden tiga minggu lalu. Pikirannya kacau, buntu dan sesungguhnya ia ingin minggat saja. Merasa malu di hadapan kekasihnya sendiri. Namun kenyataannya, ia tidak mungkin semudah itu saja lari dari situasi yang membuatnya merasa sangat berdosa.
"I want to hold and kiss her,
Give her my love, wondering why...
She doesn't know... she doesn't know..."
Levin menghentikan petikan gitarnya tiba-tiba. "Kok diem terus sih dari tadi? Biasanya ikutan nyanyi!" tanyanya pada Sita yang masih senang memelintir telinga Bunny (nama boneka kelincinya).
"Teruskan saja, kali ini aku hanya ingin mendengarmu bernyanyi."
Itu adalah alasan Sita membuat Levin terpaksa menarik napas panjang, lalu menyandarkan gitar pada sofa yang menjadi sandaran punggungnya.
"Kenapa berhenti?" tanya Sita
"Aku nggak mau nyanyi lagi kalau sikap kamu seperti ini terus."
Sita memandangi wajah Levin, berprasangka bahwa―sepertinya Levin menyadari perubahan sikapnya beberapa hari ini. "Memangnya kenapa dengan sikapku?"
"Nggak kaya biasanya. Aku lihat kamu berperilaku aneh beberapa hari ini." Sita mengerutkan keningnya dengan cepat setelah mendengar kalimat Levin. "Kamu lebih sering diam dan berkeluh kesah sendiri, menolak ajakanku untuk pergi dan jarang di rumah." Levin diam sebentar lalu ikut membelai Bunny dan melanjutkan kalimatnya. "Kaya ... nggak punya semangat hidup."
"Levin!" Sita dengan senang hati membelai dagu Levin menggunakan jari-jari tangannya yang lembut dan tercium harum. "Maaf, kalau sikapku ini bikin kamu nggak nyaman. Entah kenapa, beberapa hari ini aku merasa nggak sehat. Aku―"
"Apa yang terjadi? Kamu sakit?"
"Hmmm ... enggak, cuma―" butuh waktu.
Sita butuh waktu hanya untuk merangkai jawaban yang tepat dari pertanyaan sesimpel itu. Jika saja ia tidak berada di pangkuan Levin saat ini, ia ingin meremas-remas kepalanya, menarik-narik rambutnya hingga botak, memukul-mukul dadanya dengan benda sekeras batu, kemudian menjerit sekuat tenaga untuk menumpahkan penyesalan yang barangkali saja dapat merenggut kebahagiaannya seumur hidup. Dan apa yang harus ia lakukan selain hanya diam, menutup mulut agar tak ada pihak lain yang tahu tentang apa yang sesungguhnya telah terjadi padanya.
Konflik yang bisa melibatkan orang banyak dan menghancurkan dirinya sendiri. Karena Levin tak boleh tahu soal itu. Itu sebabnya, ia bertanya-tanya setiap malam―sampai kapan ia harus terus bersembunyi seperti ini.
Tringg!
Ponselnya bergetar. Salah satu modus yang sangat bisa membuat Sita tidak melanjutkan jawabannya. Ia pun membuka pesan yang masuk ke ponselnya.
"Hei! Jangan bilang kamu lupa sama janji kamu. Ini sudah jam sebelas, loh!" Bunyi pesan dari Anis.
Sita langsung bangkit dari pembaringannya, mengingat ternyata ia punya janji yang hampir terlupakan.
"Cuma apa, Sayang?" Tampak dari raut wajah Levin bahwa ia tak ingin ada kalimat yang terpotong dari bibir gadis tersebut. Tentu saja Sita ingin segera kabur dari tempat itu dan lebih memilih untuk pergi ke rumah Anis.
"Umm ...," ujarnya gugup. "Lev, aku harus pergi sekarang. Anis barusan chat dan dia minta aku untuk menemaninya menyebarkan undangan." Sita berdiri lalu merampas tasnya yang semula tergeletak apik di atas sofa. "Maaf, Sayang! Masalahnya Anis sudah menunggu lama."
"Kalau gitu aku antar kamu," tawar Levin sembari berdiri.
Jangan sampai itu terjadi. Sama saja, Sita akan kembali terperangkap pada pembicaraan yang semakin tak karuan jika Levin mengantarnya. "Jangan! Aku bisa pergi sendiri naik ojol atau taksi. Makasih!"
Dan ia pun pergi setelah meninggalkan satu kecupan di pipi Levin. Meninggalkan aroma parfum yang semerbak. Juga meninggalkan kecemasan pada diri pria tersebut.
Begitu Sita berhasil masuk ke dalam taksi, ia pun mengeluarkan air mata untuk yang kesekian kalinya.
***
Anis mengembuskan napas setelah leluasa memakaikan baju kaos panjang kendurnya. Untuk ke sekian kalinya ia melihat jam dinding berwarna putih yang menempel di atas jendela kamar. Ia hampir satu jam menunggu kedatangan Sita, jika sahabatnya itu lebih lama lagi datang kepadanya, barangkali semua rencananya akan batal. Mengingat cuaca di luar sana kelihatannya semakin mendung, gelap dan awan-awan kelabu seperti hendak menjatuhkan isi perutnya ke bumi.
Ia pun keluar dari kamar. Tumpukan undangan yang telah siap untuk disebar ia letakkan apik di atas meja makan. Hitam pekat mengkilap, sekali lagi Anis tersenyum memandangi undangannya sembari menarik kursi makan, suaranya menderet bising. Dan ia pun duduk manis di situ, melipat kedua tangan di atas pemukaan meja setelah mengusap wajah penuh kelelahan. Lantas wajahnya dengan sigap menoleh ke kiri, ke arah pintu samping yang terbuka dengan tiba-tiba.
Di sana, Anis melihat Sita akhirnya datang menunjukkan diri dengan ekspresi wajah yang sangat biasa. Harusnya ia tersenyum, atau menyeringai seperti acap kali ia datang membawa keramahan serta salam yang luar biasa.
"Anis! Sorry, apa aku udah bikin kamu menunggu lama?" tanyanya, begitu gadis berpostur tubuh langsing dan tinggi tersebut telah berada di depan mata Anis. Hingga ia mendapatkan jawaban desahan napas kesal.
"Huff ... Sita sayang ... sebenarnya kamu niat atau enggak sih bantu aku?" Anis melihat wajah kelelahan itu, yang lebih kentara kepucatannya dibandingkan kebugaran yang biasa ia dapat dari ekspresi sahabatnya.
Sambil menghela napas, Sita terduduk lemas di kursi makan. Menyingkirkan poni yang menutupi keningnya lalu menempelkan telapak tangannya di sana sambil menunduk―tak menjawab pertanyaan Anis.
Dengan cepat Anis menunjukkan respon positif atas keadaan tak baik yang ia lihat dari Sita tanpa harus menunggu jawaban. "Kamu sakit?"
Sita masih diam dengan wajah yang semakin terlihat pucat, berkeringat dan tampaknya tak berselera untuk berbicara sepatah kata pun. Meskipun Anis kembali menggugahnya dengan kekhawatiran tak terkira. "Sita! Bilang dong, muka kamu pucat banget, kalau kamu sakit kita undur saja jadwal hari ini."
"Jangan!" katanya tiba-tiba. Anis bangkit dari kursinya, mendekati Sita―menjaga-jaga siapa tahu dia pingsan atau butuh sandaran cepat. "Kalau bukan hari ini, mau kapan lagi? Ak―" Sita menelan air liurnya kuat, telapak tangan yang semula menempel di kening kini beralih ke mulutnya, menekan seolah ada sesuatu yang hendak keluar dari situ. "Aku, cuma―"
Lagi-lagi Anis melihat wajah Sita seperti tersiksa menahan mulut. "Sita, aku nggak mungkin membawamu dalam keadaan yang seperti ini."
Sita spontan berdiri, dengan tangan masih menutupi mulutnya ia berlari secepat mungkin ke kamar mandi yang berjarak tak jauh dari tempat ia semula. Anis segera membuntutinya dan mendapati Sita muntah-muntah tak karuan di kloset dengan suara yang jelas terdengar menyakitkan.
"Astaghfirulloh 'al adzim, Sita? Kenapa sampai begini?" pekik Anis khawatir.
Ia membantu Sita, memijit-mijit leher agar urat syarafnya tak menegang. Sementara Sita masih terus memuntahkan isi perutnya, meremas perut yang terasa mual seperti terguncang-guncang. Ada benda yang seolah-olah berputar mengelilingi lambungnya dan ia sendiri juga tidak tahu mengapa kondisinya bisa sampai seperti ini. Setelah berhasil menghabiskan isi perutnya, akhirnya tenggorokannya berhenti menggelak. Tak ada apa-apa lagi di dalam sana yang harus dikeluarkan.
Sita mencuci mulutnya, sedikit terbatuk-batuk lantas membasuh bibirnya yang basah dengan punggung tangan. Sedangkan tangan kirinya berusaha merapikan rambutnya yang berantakan.
"Tuh 'kan? Kamu lagi sakit, Ta." Anis berujar. Ada kekhawatiran yang terpampang di wajah itu. Namun tetap saja, ada nada penyangkalan yang diterimanya.
"Aku juga nggak tahu kenapa jadi begini." Anis menuntun Sita keluar dari kamar mandi dan membantunya duduk. "Barangkali aku salah makan." Sita bermodus ringan.
Dengan rasa kasihan, Anis memegangi pundak Sita. Menepuk-nepuknya untuk menunjukkan bahwa betapa pedulinya ia pada sahabat satu-satunya itu. Ia bisa merasakan tubuh Sita gemetaran, kecemasan yang terpasang di wajah wanita itu, dan juga kegelisahan yang tiba-tiba saja membuat Anis merasa curiga.
"Sita, aku benar-benar khawatir sama kamu. Sebaiknya kamu istirahat dulu di kamar aku, atau aku temani kamu ke klinik?"
"Enggak!" Anis terkejut begitu Sita tiba-tiba saja bangkit dari kursinya dan menolak tawaran baiknya. "Enggk usah, Nis. A-aku, aku butuh istirahat," ujarnya gugup. "Aku pulang saja. Biar aku istirahat di rumah saja, okey?!"
Anis terbengong dengan dahi mengerut.
"Hmmm ... nanti kalau aku sudah agak baikan, aku pasti ke sini lagi." Sita meraih tasnya, tersenyum gugup dan tidak seperti Sita yang biasanya. "Sorry, Nis. Aku benar-benar minta maaf sudah mengacaukan rencana kita." Ia menarik napas dalam, kemudian pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam, atau kata-kata see you.
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3