Di pagi hari, Anis sudah berjibaku dengan aktifitas menguras tenaga. Ia membuat janji temu dengan wedding organizer. Seperti biasa, sahabat baiknya itu selalu bersedia menemaninya ke mana saja dan kapan saja. Sita diibaratkan otak kedua bagi Anis untuk menyuarakan pendapatnya. Tentang desain interior, tema warna, model pelaminan, band pengisi acara, dan gaun pengantin yang paling penting.
Sita sudah mengenal sahabatnya itu sejak kecil. Anis bukanlah tipe wanita fashionable yang mengerti betul tentang perkembangan zaman. Sahabatnya itu adalah gadis sederhana yang tidak suka merepotkan diri dengan hal-hal yang tidak penting selain kebutuhan premiernya.
"Sita, aku minta kamu yang pilihkan desain pelaminan. interior, MC, dan band pengisi acara, ya?" pinta Anis pada Sita saat meeting bertiga dengan marketing officer.
"Serius kamu? Ini pernikahan kamu, loh. Harusnya kamu dan Galih yang tentukan semuanya. Masa aku?"
"Nggak apa-apa, Ta. Aku percaya sama kamu." Anis memandangi Sita yang masih memasang wajah penuh heran. Kedua alis Sita hampir bertemu menanggapi keseriusan gadis di sampingnya. "Kamu tahu 'kan aku tuh nggak pintar membuat pilihan, apalagi soal beginian."
"Tapi, Nis. Selera aku belum tentu sama dengan selera Galih."
"Nggak usah pikirin selera Galih. Dia nggak pernah protes sama keputusanku. Dan keputusanku buat suruh kamu milih itu sudah tepat."
Bagaimana caranya menolak permintaan Anis? Rasanya tidak pantas jika ia yang mengatur kebutuhan pernikahan sepasang calon pengantin sementara dia sendiri belum pernah berada di posisi mereka. Mau tak mau, Sita menarik napas kasar di hadapan Anis dan menyetujui permintaan meski dengan berat hati.
"Nah, gitu dong. Kamu memang sahabat aku yang paling bisa diandalkan," pujinya puas.
***
Jika bisa memilih, setiap hari Sita akan memakai lensa kontak berwarna hijau tua agar orang-orang menyangkanya siluman.
Penyakit rabun jauhnya yang semakin parah sejak SMA membuatnya menjadi seseorang yang selalu serba salah. Ia harus membuka lensa kontaknya setiap kali ingin mandi atau tidur, kemudian memakainya lagi. Maka sebenarnya ia lebih memilih memakai kacamata ketimbang lensa kontak.
Kali ini, Sita memilih lensa kontak berwarna cokelat hazel untuk menyelaraskannya dengan warna rambut, meski warna netra aslinya memang sudah hazel sejak lahir. Ia memakainya di depan sebuah cermin berukuran mini. Cermin yang terlalu seadanya karena ia tak mendapati cermin yang benar-benar bening di kamar kos temannya itu.
Bahkan Sita harus bersusah payah membungkukkan badan demi mendapatkan posisi yang pas untuk bercermin. Setelah selesai menyempurnakan pandangannya, Sita bermaksud untuk menyemprotkan parfum ke pakaiannya, namun niat itu terhenti hanya karena asap rokok di kamar itu terlalu mengepul. Jadi rasanya akan percuma saja.
"Kayaknya udah lama banget kamu nggak datang ke kos-kosan aku." Sita mendengar Kinan berkomentar sambil menghisap rokoknya kuat.
Celana Kinan terlalu pendek dan Sita tahu, kemeja yang dipakai Kinan itu adalah kemeja pacarnya. Mereka pasti baru selesai melakukannya. Punggung Kinan bersandar pada dinding dengan kaki berselonjor di lantai. Sebenarnya Sita tidak suka dengan gaya sok oke cewek itu, kesannya seperti pelacur murahan di lorong gelap.
"Iya, sejak kita tamat kuliah."
Sita duduk di atas kasur berbau apek dan berantakkan yang dihiasi dengan noda basah berbentuk pulau-pulau di sepreinya. Sita merasa jijik, takut terkontaminasi, maka dengan segera ia berpindah tempat. Duduk di sebelah Kinan.
"Apa aku mengganggu kesenangan kamu?"
Kinan mengembuskan asap rokok, kini kamar itu benar-benar seperti pabrik pengolahan ikan asap. "Gak apa-apa, kita 'kan teman. Kamu boleh datang ke sini kapan aja kamu mau, nggak ada yang melarangmu." Kinan mengambil bungkus rokok yang berisi setengah dan menawarkannya pada Sita. "Masih doyan rokok?"
Sita sedikit ragu, sudah hampir tiga bulan ia tidak merokok dan berniat untuk tidak menghisapnya lagi. Tapi entah kenapa, rokok yang ditawarkan Kinan membuat gairahnya jadi berselera. Ia pun mengambil satu batang rokok dari bungkusnya lalu menyalakannya dengan mancis berbentuk geranat.
"Thank's," ujarnya.
"Sorry kalau aku mengembalikan jiwa perokokmu lagi, aku janji ini yang terakhir." Sita hanya tersenyum, tenggelam dalam relaksasi nikotin yang terhisap.
Seseorang mengetok pintu kamar Kinan. Mereka saling berpandangan sesaat, seolah tahu siapa tamu yang sedang mencari pemilik kamar. "Bukannya kemarin kamu bilang kamu sudah berhenti menjual barang itu?" tanya Sita.
Kinan bangkit dari duduknya, berjalan menyeretkan kaki untuk membukakan pintu. "Sebenarnya ingin, tapi aku masih butuh uang banyak untuk melunasi hutang-hutangku." Kinan pun membuka pintu dan mendapati seorang laki-laki berdiri dalam bayang-bayang lorong. "Barang terakhir, aku cuma punya satu macam. Apa kamu mau?"
"Asal bisa kupakai," kata pria itu sambil menyodorkan uang seratus ribu rupiah sebanyak lima lembar dan meletakkannya di atas telapak tangan Kinan.
"Oke... ini bisa dapat dua. Sebentar." Kinan menutup pintu kembali lalu membuka rak sepatunya.
Sita memperhatikan Kinan merogoh sepatu kedsnya dan mengambil tiga bungkusan kecil dari dalam situ. Kinan hanya mengambil dua. Ia sedang tidak ingin bertanya kenapa Kinan memilih sepatu sebagai tempat menyimpan barang rahasianya. Karena menghisap rokok sepertinya lebih mengasyikkan daripada mencampuri urusan orang. Kinan kembali membuka pintu dengan celah sempit lalu menyerahkan benda itu dengan sangat sembunyi-sembunyi.
"Sudah, pergi sana!" Dan pria itu pun pergi. Kinan kembali duduk di samping Sita, hanya untuk mematikan puntung rokoknya.
"Kali ini apa yang kamu jual?" tanya Sita sekedar ingin tahu.
"Cuma mainan. Aku nggak perlu menjelaskannya ke kamu, 'kan?"
Sita membuang asap rokoknya kemudian menjungkitkan sebelah bibirnya tersenyum. "Kamu menjual barang-barang itu tapi kamu sendiri nggak pernah mencicipinya. Memangnya kamu tahu efek dari semua barang yang kamu jual?"
"Sita, kalau kamu menjual racun pada orang lain, kamu nggak perlu mencobanya untuk diri kamu sendiri, 'kan? Itu sama saja dengan bunuh diri."
Entah bagaimana caranya, Sita berteman dengan Kinan. Ia adalah salah satu dari sekian banyak temannya yang bertingkah laku di luar batas. Sebagian temannya adalah anak-anak yang menjadi korban broken home. Pergaulan mereka tak pernah dibatasi, tapi bagi mereka yang mudah terpengaruh dan tak punya pendidikan moral, mereka akan dengan sangat mudah terjebak dan menjadi korban atas tingkah laku mereka sendiri. Beberapa temannya bahkan ada yang mati karena overdosis, dan gadis yang sedang duduk di sebelahnya inilah yang menjualkan narkoba pada mereka.
Setidaknya Sita bersyukur karena ia masih punya kekuatan untuk menolak semua barang-barang biadab seperti itu.
***
Jam Sembilan malam, Galih mendapati rumah Levin mulai ramai. Tak banyak teman yang diundang. Hanya melibatkan pria-pria setempat, teman satu kampus Levin yang kenal baik dengan Galih, teman satu kantor dan juga teman dari berbagai penjuru pelosok Jakarta yang akrab dengan mereka. Dan ia juga tak menyangka kalau Levin juga mengundang beberapa teman wanitanya―hanya tiga orang wanita energik dan terhitung juga Sita, yang kelihatannya lebih senang menyibukkan diri melayani orang-orang.
Barangkali akan menjadi pesta yang menggila.
Sesekali napas mendesah lelah. Sita duduk bersandar pada sofa, di samping kekasihnya yang baru saja melarangnya untuk berhenti mondar-mandir melayani para tamu pesta yang jumlahnya tak seberapa. Jujur saja ia tak merasa keberatan jika harus melakukan itu, setidaknya hanya dia wanita yang bisa diandalkan.
Sementara para teman pria mereka sangat terlena dengan obrolan racau yang tak tahu ke mana arah pembicaraannya. Ditemani suara musik campur aduk, antara rock, remix, dan R&B, dan melibatkan minuman beralkohol, mereka silih berganti mewarnai suasana pesta yang sangat menyenangkan. Salah seorang teman sekantor Galih yang bernama Raman terlalu sibuk bercerita tentang pengalaman lucunya ketika pergi dinas dengan Galih, sesekali tubuhnya memperagakkan gaya berceritanya yang sanggup membuat lima belas orang di rumah itu tertawa terpingkal-pingkal. Orang itu punya kepercayaan diri yang sangat tinggi, tak peduli sejelek apa wajahnya ketika harus menahan tawa sambil bercerita.
Sita tertawa hampir menangis, tenggorokannya jadi terasa mengering dengan sangat cepat. Diambilnya botol bir di hadapannya—kosong. Barangkali ia perlu mengambil beberapa botol minuman lagi di lemari es, tapi ketika ia hendak bangkit, Levin menahannya. Lantas menawarkan diri untuk mengambilkan minuman untuknya. Sita pun dengan senang hati membiarkan Levin memperlakukannya bak putri raja yang ingin dilayani.
Galih dan teman-temannya seperti lupa akan dunia, ia meneguk gelas berisi bir beberapa kali setelah masing-masing mendapat jatah botol lagi dari tangan Levin.
Hentakkan musik keras membuat nafsu dancing on the floor Sita kembali kambuh. Ia menari-nari eksotis, melambungkan segala angan-angannya melayang. Terlena, terbuai dan sesekali pikirannya seperti tak terkendali. Kedua teman wanita yang lain mengikuti langkahnya, hingga beberapa pria yang tergoda pun ikut turun. Levin ada di hadapannya, memandangi dengan penuh kebahagiaan karena gerakan lincah Sita yang sangat memesona. Sita juga sempat mengajak Galih untuk ikut menari, tapi ia menolak dan sepertinya lebih memilih untuk terduduk lemas lantaran mabuk.
Sita terus menari, sesekali tubuhnya menabrak dan jatuh lalu bangkit kembali. Ia tak sadar malam sampai sangat larut, setengah dari para tamu menghilang untuk pulang. Tubuhnya kini hampir tak sanggup lagi untuk berdiri, sedikit demi sedikit suara musik mulai sunyi. Ia pun melangkahkan kaki dengan sangat berat, masuk ke dalam kamar Levin yang kosong kemudian menjatuhkan tubuhnya dengan keras sembari menyempatkan tangannya membuka kacamata.
Ia ingin tidur, tertidur pulas sampai lupa pada apa pun. Namun kegelisahannya menguasai hampir seluruh tubuh. Menggigil. Otaknya seolah menarik hasratnya untuk melakukan sesuatu yang sangat ia impikan selama ini. Dengan kepala masih sangat berat, Sita mencoba bangkit dari kasur. Memandangi pintu dengan penglihatan kabur.
Pintu itu bergerak perlahan, sedikit demi sedikit tampaklah seorang pria masuk, meninggalkan suara hentakkan pintu tertutup dan langkah linglung tak beraturan.
Sita tersenyum, ia tahu kekasihnya pasti akan datang menghampirinya. Untuk membuat suatu perlindungan pada dirinya. Sita kembali merebahkan tubuh ke kasur setelah menarik tangan pria tersebut. Merasakan aroma tubuh yang sedikit asing bagi indra penciumannya. Sita memandangi wajah itu, penuh pengharapan dalam hasrat tak terbendung meski tidak tampak jelas. Paras wajah Levin yang sangat indah, hembusan napas Levin yang membuat bulu romanya berdiri.
Levin. Kini ia yakin, bahwa pria itu memang mencintainya. Maka tak perlu lagi ada yang ditahan, bukankah saat-saat seperti inilah yang ditunggu olehnya selama ini?
"Aku tahu kamu pasti datang mencariku," katanya lirih. Dan satu ciuman dingin pun menghantarkan mereka pada awal kenikmatan.
Sita membiarkan setiap belaian mesra menjalari tubuhnya, sekaligus mendengarkan bisikkan penuh cinta dari bibir kekasihnya. "Kamu akan menjadi milikku selamanya, Sayang. Izinkan aku membuatmu bahagia." Suara itu terdengar parau.
Mengangguk tegas, tanpa perlu meminta izin pun ia pasti rela memberikan segalanya untuk pria yang sangat dicintainya hidup dan mati.
Satu langkah menuju kenikmatan tak tertandingi. Malam menaungi mereka dalam satu kebahagiaan terdamba, menguatkan keyakinan mereka masing-masing dalam dua logika yang berbeda. Dalam kehangatan tubuh, mereka saling memeluk dan bersandar pada batas kesadaran. Sita merengkuh pria itu dengan kesenangan, seperti orang yang pasrah akan kenikmatan yang diberikan orang lain.
Gadis itu bisa merasakan tubuhnya yang kini tidak terbalut sehelai benang pun menjadi hangat karena himpitan tubuh pria luar biasa tersebut. Ia tidak ingin menyembunyikan suara desahan napasnya yang menggelora, sementara matanya tak ingin terbuka—membiarkannya tetap tertutup agar segala kenikmatan dapat menelusup semakin kuat ke dalam berahinya.
Kedua tangannya kuat melingkar di leher pria itu, tidak peduli dengan aroma tubuh yang dirasa berbeda dengan yang biasa ia cium. Namun menggigit bahu dan lehernya adalah hal yang membuatnya lupa pada apa yang terjadi.
Memperlakukan Levin seperti itu adalah salah satu dari cara perombakkan naluri tak dimengerti, ia menguatkan batin―bahwa setiap lekukan tubuh yang mereka lewati adalah sebuah penjelajahan surga. Saat miliaran sel hidup itu mencuat dan meledak seperti roket, Sita kini tahu― cintalah yang membuat segalanya menjadi indah.
Jam terus berjalan seperti pengiring marching band yang mengelilingi tubuhnya, pukulan pada drum yang menghentak seolah mengejek dan menertawakannya. Tapi yang terpenting adalah, mimpi yang menjadi nyata, keindahan yang terbayar sesaat, ingatan yang tak lagi lupa pada sebuah ikatan janji, naluri kepuasan yang tak peduli pada kecemasan, serta fajar yang akhirnya mengembalikan kelelahan mereka pada beberapa opsi.
Hingga akhirnya Sita menangis tak mengerti. Sementara sang pria menyesalkan diri sendiri dengan amarah yang tak bisa diungkapkan.
seriusan sita sama galih? :(
Comment on chapter Chapter 3