Rasanya seperti tercekik setiap saat, bukan karena tali ataupun kedua tangan yang menekan leher dengan begitu erat. Tapi karena suara-suara yang membuatnya semakin terlihat kecil di saat usianya yang mengharuskan untuk tumbuh dan belajar.
Rumah itu ramai, terlalu ramai, bahkan, untuk seseorang yang merasa kesepian di dalamnya. Seperti suara televisi yang menyala nyaris tanpa jeda, suara panci yang saling membentur di dapur, dan suara ibu yang mengomel entah untuk siapa, semuanya jadi latar yang tak pernah benar-benar membuat Sena merasa hidup di rumah ini.
Ia duduk di sudut sofa ruang tamu yang terbuka lebar pintu dan jendelnya, kakinya ditarik ke dada dengan wajah yang menoleh ke jendela. Di luar, angin sore meniupkan suara anak-anak kecil yang tertawa di gang sempit, bebas dan nyaring. Sementara di dalam rumah, tiap suara adalah penjara yang terbuat dari cinta yang terlalu erat. Ya, ini cinta, tapi cinta yang begitu menyakitkan baginya.
Beberapa waktu tadi, Sena berbicara dengan ibunya yang baru saja pulang kerja menjadi ART di salah satu rumah yang tidak jauh jaraknya dari tempat mereka tinggal.
"Ibu cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa, Sen," kata ibunya siang itu, saat Sena menyuarakan niat sederhana, ingin ikut teman ke toko buku. Bukan mall, bukan puka konser. Hanya toko buku bersama teman-temannya.
Tapi bagi ibunya, dunia luar selalu punya taring. Dan Sena, bagi keluarganya, selalu terlalu rapuh untuk menanggung luka. Lagi-lagi larangan yang di balut perhatian itu sedikit demi sedikit menanamkan perasaan takut yang enggan ia akui mengenai dunia luar.
“Kalau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab? Kamu pikir Ibu nggak tahu anak perempuan sekarang rawan jadi korban?”
Kalimat itu bukan yang pertama. Dan Sena tahu, bukan yang terakhir.
Ia ingin menjelaskan bahwa ia bukan anak kecil. Bahwa ia bisa jaga diri. Bahwa ia cuma ingin keluar, melihat dunia barang hanya sebentar saja.
Tapi suara ibunya selalu lebih dulu membentur. Dan suara ayahnya selalu terlalu lambat datang. Sena diam, matanya menatap lantai. Kepalanya menunduk, bukan karena bersalah, tapi karena lelah. Ia hafal kalimat-kalimat itu. Bukan hanya nadanya, tapi juga jedanya. Ibunya selalu menggunakan kata ‘kamu’ seperti tuduhan, bukan panggilan kasih.
Dari kursi rotan dekat jendela, ayahnya hanya berdeham kecil. Seperti hendak bicara, tapi tak benar-benar bicara. Ia jarang sekali ikut campur. Dan ketika akhirnya bersuara, itu hanya untuk meredakan, bukan untuk membela.
“Udahlah, dengarkan apa yang ibu kamu katakan Sen, toh, itu untuk kebaikan kamu juga kan,” katanya, sebelum kembali menatap layar TV.
Sena mengangguk pelan. Ia kembali menatap jalan depan rumahnya yang di terlihat banyak sekali anak-anak bermain dan tertawa lepas. Angin membawa perasaan yang semakin menyesakan di dadanya, ia memilih bangkit. Tubuhnya berdiri kaku, lalu melangkah ke arah kamar. Langkah-langkah itu sunyi, tapi hatinya yang membawanya gaduh.
Sesampainya di kamar, ia menutup pintu dengan pelan, hampir tanpa suara. Ia tak ingin ibu menganggap dirinya membanting pintu dan kembali menuduh bahwa dia marah atau bertindak seperti anak SD. Kadang Sena tidak paham, mereka menyuruh untuk Sena bertindak dewasa, bisa bertanggung jawab, tapi saat Sena meminta untuk bisa bertanggung jawab dengan dirinya sendiri dengan melangkah ke dunia luar, mereka menentang keras, disertai dengan ucapan penuh kekhawatiran di balut perkataan yang memberi tahu bahwa dunia luar nggak sebaik yang Sena kira.
Kamar Sena kecil, tapi hangat. Satu-satunya tempat di dunia ini yang tak menolaknya. Di atas meja belajar yang penuh coretan stiker lama, terletak buku catatan bersampul hijau daun yang lusuh. Buku itu bukan diary, bukan juga jurnal. Ia tak tahu harus menyebutnya apa. Tapi di sanalah ia menuliskan semua hal yang tak bisa dikatakannya di meja makan.
Ia duduk di kursi, membuka halaman terakhir kali dirinya menulis. Tangannya gemetar sedikit, entah karena marah, sedih, atau karena sudah terlalu sering merasa kalah.
Sampai kapan aku akan seperti ini?
Rasanya aku tengah tinggal di dalam sangkar. Dindingnya bukan besi, tapi larangan. Jerujinya bukan rantai, tapi rasa takut yang diwariskan. Dunia di luar seolah hanya milik mereka yang diizinkan untuk tumbuh. Sedangkan aku? Aku harus puas melihat dunia dari sela tirai, seperti menonton kehidupan orang lain yang tak akan pernah bisa kujamah.
Aku ingin tahu seperti apa rasanya memilih. Bukan hanya diberi. Aku ingin tahu rasanya dipercaya, bukan dicurigai. Aku ingin tahu ... apakah aku benar-benar salah hanya karena aku ingin jadi lebih dari sekadar anak baik yang menurut.
Ia menutup bukunya dengan cepat, karena air matanya nyaris jatuh. Sena tak suka menangis, apalagi sendirian, ia selalu menahan semua perasaan yang bergejolak itu di dalam dada. Tapi kadang, kesedihan datang seperti tamu yang tak pernah diundang tapi tahu di mana letak kunci rumah.
Sena rebahkan tubuhnya di atas kasur yang tipis, tubuhnya terasa lelah karena terlalu banyak berpikir. Ia memandang langit-langit, membiarkan pikirannya melayang. Di luar, suara motor lewat. Anak-anak pulang dari les dan dunia terus berjalan.
Tapi Sena masih di sini, di dalam kamar yang menjadi sangkar dan satu-satunya tempat ia bisa jadi dirinya sendiri walau hanya sebentar. Dan di dalam sunyi itu, ia berbisik dalam hati.
“Aku ingin bebas. Tapi apakah aku berhak?”
***
Semua orang tumbuh dengan luka, tapi tak semua luka boleh dibicarakan. Dan di rumah ini, luka yang disebut mimpi hanyalah alasan untuk dimarahi. Setiap keinginan yang berakhir ucapan menyakitkan, setiap mimpi yang dipatahkan. Bahkan keinginan untuk merubah garis takdir keluarga agar jauh lebih baik pun tak ayal terkena larangan. Padahal yang ia inginkan hanya menjadi orang sukses yang membahagiakan mereka, namun saat dirinya memiliki mimpi, mereka mematahkan itu, tapi tidak lama menuntut atas apa yang tidak bisa mereka izinkan.
Seperti berkata kalau anak tetangga yang umurnya sama dengannya, jauh lebih baik dari pada dirinya. Anak itu bisa membantu orang tua dan segala kelebihan yang di ceritakan lainnya, tapi di saat ia ingin melangkah, suara itu kembali menolaknya dengan keras, menantang keputusan yang ingin dirinya ambil demi masa depan yang dia impikan.
Sudah dua tahun sejak Sena lulus sekolah. Dua tahun yang terasa seperti satu tarikan napas panjang yang tak pernah selesai diembuskan. Usianya kini dua puluh, dan dunia luar terasa lebih jauh dari jarak antara kamar dan ruang tamu. Setiap pagi, sinar matahari menyusup lewat celah tirai yang sama, menyentuh meja belajarnya yang kini lebih sering jadi tempat lipatan baju bersih. Tak ada buku, tak ada rencana, tak ada suara selain derit kipas angin dan suara TV dari ruang keluarga.
Sena tidak bodoh. Tidak juga malas. Ia hanya tidak pernah diajarkan cara melangkah. Semua langkahnya, bahkan yang paling kecil, memasak mie sendiri, membuka jendela, atau sekadar mengunci kamar, selalu ditanggapi dengan suara tajam.
“Kamu tuh enak, tinggal makan, tidur, internetan!”
“kamu tuh masih kecil, belum bisa apa-apa.”
“Apa gunanya perempuan kerja keras kalau ujungnya nanti kamu nikah juga.”
Padahal, Sena tidak sedang melawan. Ia hanya ingin diakui bahwa ia sudah tumbuh. Bahwa ia punya suara. Bahwa menjadi perempuan tidak berarti hidupnya selesai di dalam pagar rumah, bahwa perempuan juga tidak masalah sukses dan memiliki karir yang bagus, bukan hanya menerima dari suami nanti.
Namun di mata ibunya, setiap inisiatif selalu tampak seperti pembangkangan. Setiap niat dianggap sebagai ancaman. Ia pernah coba bilang ingin kerja, tapi jawaban yang datang justru cerita-cerita menakutkan, pemerkosaan, penculikan, penipuan. Selalu seperti itu, sena idi larang melangkah sedari dulu, yang mana hal tersebut membuat dirinya menjadi takut akan dunia luar, namun bukan berarti ia menyerah, ia memiliki mimpi. Ia mau melangkah ke dunia luar.
“Aku cuma mau bantu bayar listrik, Ma,” ujarnya waktu itu, pelan, hampir seperti bisikan.
Tapi ibunya hanya menatapnya seperti orang asing. "Kamu itu perempuan. Tugas kamu bukan cari uang. Tugas kamu di rumah, bantu Mama."
Dan begitulah hari-hari berjalan, suara Sena tak pernah jadi suara utama di rumah sendiri. Terkadang, ia memandangi seragam sekolah yang masih tergantung di belakang pintu. Warna putihnya mulai pudar. Tapi di sanalah kenangannya tersisa, tentang saat-saat ia masih bisa berharap. Saat teman-temannya bicara tentang kuliah, organisasi, dan cita-cita, Sena hanya bisa mengangguk dan tertawa, lalu pulang membawa diam yang panjang.
Malam itu, ia kembali menulis.
“Di matamu, aku ini salah karena ingin mencoba. Tapi salahkah aku kalau ingin punya tempat di dunia? Bukan untuk meninggalkan rumah. Tapi untuk tahu ... siapa aku sebenarnya.”
tahu surat itu tak akan pernah ia kirimkan. Tapi menulis adalah satu-satunya cara agar dirinya tak sepenuhnya hilang. Ia mencatat dirinya sendiri agar tahu, bahwa ia pernah ada, pernah berpikir, dan pernah ingin hidup lebih dari sekadar menuruti.
Di rumah ini, langkah kecil pun terasa seperti pengkhianatan. Tapi suatu hari nanti, ia ingin melangkah
bukan karena membenci keluarganya, melainkan karena mencintai dirinya sendiri.
***
hai Sena di luar sana, aku harap kita bisa berjuang bersama intuk meraih mimpi kita. Semoga ya, semoga kita bisa berada di saat itu.
salam hangat, Megakelabuđź©¶