Ada suara yang tak pernah berhenti di kepalaku. Ia bukan teriakan, bukan pula bisikan. Tapi seperti gema yang selalu hadir setelah aku gagal menjadi seperti yang mereka mau.
“Kenapa kamu nggak bisa seperti anak-anak yang lain?”
“Jangan banyak alasan. Nurut aja.”
“Kamu tuh selalu bikin susah!”
Aku belajar diam lebih dulu dari pada aku belajar membaca. Aku tahu cara menyembunyikan luka bahkan sebelum tahu cara menyebut namanya.
Dulu, aku kira rumah adalah tempat paling aman. Tapi entah sejak kapan, aku mulai takut setiap kali matahari tenggelam, karena malam membawa suara-suara itu ke dalam dinding, ke dalam kepalaku, ke dalam tulang-tulangku.
Aku tumbuh, tapi tidak berkembang. Aku bertambah usia, tapi tidak pernah di beri ruang untuk bertanya. “Sebenarnya aku ini siapa?”
Dan semakin aku mencoba menjadi seperti yang mereka inginkan, semakin aku kehilangan siapa diriku sebenarnya. Hingga pada titik aku bertanya:
Kalau aku terus jadi versi yang mereka mau, siapa yang akan jadi aku?