Hubungan antara Lara dan Sera kini semakin canggung, penuh jeda dan diam. Tak ada lagi gurauan kecil di sela-sela istirahat, tak ada lagi pesan singkat berisi meme atau chat random. Hanya tatapan yang tak pernah benar-benar bertemu dan senyuman yang terlalu kaku untuk disebut tulus.
Lara menjauh. Bukan karena ia membenci Sera. Tapi karena lelah. Ada dorongan dalam dirinya yang tak bisa ia jelaskan, sebuah kerinduan untuk sunyi dan pemikiran yang mengendap tanpa suara. Ia ingin menyelami dirinya sendiri, mengurai benang kusut dalam hatinya—mencari tahu, apakah ia benar-benar ingin berhenti menjadi anak baik? Atau hanya ingin dikenali saat ia tak lagi menuruti semua orang?
Sera, di sisi lain, mulai tertatih menjaga jarak. Bahkan menyapa pun terasa canggung. Tapi ia tak sendiri. Kini ada Zea, Kesya, dan Citra di sekelilingnya. Sera yang dulu hanya milik Lara, kini dibagi, dan pemandangan itu menggores pelan-lahan, seperti kertas yang terus disobek meski tak tampak luka.
Kadang Lara bertanya pada dirinya sendiri—apakah ini artinya ia berhasil menjadi jahat? Jika hanya dengan tidak ingin melihat Sera tersenyum pada orang lain selain dirinya saja sudah cukup menyakitkan, apakah itu bentuk kecil dari kejahatan?
Ia tahu. Semua ini bermula darinya. Tapi ketenangan dalam kesendirian begitu memabukkannya. Sunyi itu menenangkan, meski pada akhirnya ia duduk ditemani sepi yang menggigit bahunya diam-diam.
****
Sepulang sekolah, Sera memberanikan diri mendekat. Suaranya serak tapi lembut.
"Lar... mau main nggak hari ini ke rumah aku? Warung nenek aku lagi sepi... bisa sekalian nemenin juga. Ya... walau rumah aku jelek."
Lara ingin sekali menjawab iya. Rasanya hatinya mencelos melihat Sera berdiri dengan tangan yang saling meremas gugup. Tapi ia sudah berjanji mengajari Satya belajar untuk ujian kenaikan kelas.
“Thanks udah ngajak, Ser... tapi aku udah janji sama Satya buat belajar bareng.”
Sera terdiam sejenak. Lalu tersenyum tipis, terlalu tipis untuk menyembunyikan kecewa yang menggantung di ujung matanya.
"Oke... lain kali ya, Lar. Nggak apa-apa kok."
Lara mengangguk. Walau cuma ajakan singkat itu, hatinya terasa sedikit hangat. Ada bagian kecil dalam dirinya yang menganga, berharap dipeluk oleh masa lalu yang sempat akrab.
*****
Di rumah, Satya sudah duduk manis di meja belajar, mulutnya komat-kamit membaca soal Matematika.
“Kak Lara!” serunya saat melihat kakaknya datang.
“Satya udah siap?”
“Iya!”
Lara menghabiskan satu jam mengajari Satya. Ia menjelaskan pelan-pelan, menyemangati setiap jawaban benar, bahkan menggambar lucu-lucuan di pinggir buku untuk membuat Satya tertawa. Hari itu terasa ringan. Bahkan menyenangkan.
Saat Satya mulai menguap dan memutuskan untuk tidur siang, Lara pun naik ke kamarnya. Kali ini, ia ingin me-time. Hal yang jarang ia lakukan tanpa alasan kuat.
Ia berdiri di depan cermin. Biasanya wajahnya polos. Rambut hanya dikuncir asal. Tapi sore ini berbeda. Ia mengambil bedak tipis, merapikan alisnya pelan, memulas bibir dengan lip tint yang sudah lama tersimpan di laci. Ia mengenakan blouse putih lembut dengan pita kecil di kerahnya, memadukannya dengan rok denim selutut dan sneakers putih. Rambut panjangnya ia ikat ke samping, menyisakan beberapa helai yang sengaja dibiarkan terurai.
Tas selempang kecil berwarna coklat muda ia sandang. Ia menatap dirinya di cermin. Bukan untuk dinilai, tapi untuk diakui—bahwa ia juga berhak merasa cantik.
Saat menuruni tangga, Luna—menatapnya curiga dari sofa. Sambil memakan keripik dan menonton televisi, ia bersuara.
"Mau kemana lo? Tumben dandan. Jangan-jangan mau pacaran? Dih, gue aduin Ibu sama Ayah juga lo!"
Lara terkejut, lalu menggeleng cepat.
“Enggak. Kakak cuma mau ke perpustakaan... sambil jalan-jalan di taman.”
Luna mencibir. “Jangan kesorean. Kasian kalau sampe lo dimarahin lagi.”
Lara tersenyum. Ada perhatian dalam suara ketus itu.
*****
Ia menyusuri trotoar kota, mampir ke perpustakaan umum yang sepi, membaca beberapa puisi Chairil Anwar, lalu keluar dan melangkah ke kafe kecil di ujung jalan. Lara memesan sepotong cheesecake dan cokelat smoothie. Duduk di pojok ruangan, di meja dekat jendela.
Untuk pertama kalinya, ia mengeluarkan ponselnya bukan untuk membalas chat, bukan untuk menjawab panggilan. Ia membuka kamera, memotret makanannya—cheesecake yang tampak menggiurkan, lalu menatap layar kamera depan.
Tangannya gemetar kecil. Ia tersenyum... canggung. Bibirnya sedikit miring, matanya tak tahu harus menatap ke mana. Ia menekan tombol jepret. Lalu tertawa pelan.
Entah kenapa, hati ini sedikit lega. Karena Lara merasa, akhirnya ia menjadi dirinya.
Namun saat ia hendak bangkit dari kursi, pintu kafe terbuka. Empat orang masuk.
Zea. Kesya. Citra. Dan Sera.
Mereka membeku saat melihat Lara.
Kesya mencibir tajam. “Oh... ini yang katanya ngajarin adiknya?”
Wajah Lara memucat.
“Lara, kok kamu bohong?” ucapnya Sera lirih, nampak sangat kecewa.
“Udahlah, Ser. Menurut gue Lara emang nggak mau temenan sama lo lagi. Marah tapi diem, kita udah usaha, ajak baikan... Kesya bahkan udah bayar utang lo, tapi ditolak. Sekarang gue ngerti kenapa lo nggak punya temen. Ngenes.”
Citra menyikut Zea. “Udah... liat deh, dia mau nangis tuh.”
Memang, mata Lara sudah menggenang. Mereka berlima jadi pusat perhatian pengunjung kafe. Tapi tak ada yang peduli. Tak ada yang menyelamatkannya.
Ia bangkit. Bergegas pergi.
Sera mengejarnya.
“Lara…” suaranya pelan.
“Aku gak bohong, Ser. Aku beneran ngajarin Satya. Aku cuma… pengen sendiri setelah itu.”
“Aku ngerti kok. Setelah aku pikir-pikir, mungkin aku yang maksa kamu selama ini,” ucap Sera. Tapi nadanya berubah. “Tapi tetep aja, Lara… kamu berubah. Kamu bohong. Kamu gak jujur. Kamu bahkan gak usaha buat perbaiki semuanya. Karena harus selalu aku yang mulai obrolan, walau bahkan selalu kamu tolak... ”
“Sera, bukan gitu…”
“Udah, Lar, cukup ngelaknya. Aku rasa kamu bukan Lara yang aku kenal. Atau mungkin, dari awal aku gak pernah kenal kamu sebenarnya.”
“Sera, tolong... jangan bilang gitu…”
“Aku muak, Lar. Aku capek jadi satu-satunya yang coba perbaikin pertemanan kita," Sera behenti sejenak, menghapus buliran bening di sudut matanya. "Makasih udah pernah jadi teman yang baik. Dan selamat, kamu udah berhasil cukup jahat, Lara.”
Sera pergi.
Satu-satunya temannya, telah meninggalkannya.
Lara berdiri di trotoar. Menatap jalanan. Air matanya jatuh satu per satu. Tapi ia hapus cepat-cepat. Ia menunduk dan berjalan pulang. Dunia terasa asing. Dadanya sakit.
*****
Lara pulang dengan langkah lunglai. Senja telah padam. Langit menghitam. Begitu ia membuka pintu pagar rumah.
Byur!
Air dingin menyiram wajah dan tubuhnya. Wajahnya terperanjat, rambutnya menempel di pipi, napasnya tercekat.
Di ambang pintu, berdiri ibunya, dengan ember kosong di tangan dan amarah di matanya.
“Main! Main aja terus! Nggak usah pulang sekalian!”
Lara diam. Tubuhnya gemetar.
“Liat jam, Lara! Udah jam tujuh! Makin lama kamu makin membangkang ya? Jadi anak baik aja udah nggak bisa, lalu kamu gunanya apa, hah!?”
“Ibu...”
“Satya nangis nyariin kamu! Kata Luna kamu pergi dandan segala, mau ke mana hah? Udah bukan anak kecil, tapi kelakuan makin nyusahin!”
Air masih menetes dari wajahnya. Tapi kini bercampur air mata. Lara tak sanggup menjawab. Ia hanya masuk pelan, berjalan melewati ibunya, lalu masuk ke kamar.
Ia mengunci pintu, dan sengambil buku catatan.
Lara mulai menulis puisi. Berjudul aku ingin jadi jahat, yang kesekian kalinya. Isi dengan kata yang berbeda namun, judul yang sama.
Aku ingin jadi jahat,
supaya saat aku pergi, tak ada yang bertanya kenapa.
supaya aku tak perlu lagi menjelaskan luka yang tak pernah tampak di kulit,
supaya diamku tak lagi dianggap salah.
Aku ingin jadi jahat,
supaya aku berhenti jadi boneka di rumah ini,
yang disuruh patuh tapi tak pernah ditanya mauku.
Aku ingin jadi jahat,
supaya aku bisa menangis tanpa harus sembunyi,
supaya saat aku hancur,
tak ada yang bilang 'kamu kuat kok'.
Aku ingin jadi jahat,
tapi kenapa jahatku justru lebih menyakitiku sendiri?
dan kenapa, tak satu pun dari kalian, berusaha tetap tinggal?
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏