Sera mengayuh sepeda ontelnya dengan ritme yang sengaja diperlambat. Jalanan komplek yang ia lewati mulai disinari matahari siang yang terik, menusuk kulit tanpa ampun. Nafasnya sudah sesak, tapi dia tetap menahan diri agar tidak berhenti.
Jarak dari rumahnya ke rumah Lara memang cukup jauh, tapi Sera ingin sekali berjalan sendiri. Ini bukan soal gengsi. Ini tentang menahan rasa rapuh yang sering menggerogoti tiap kali ia bergantung pada orang lain.
Sepeda ontelnya berdecit pelan saat melewati halaman depan rumah Citra. Motor Citra terparkir rapi di pinggir jalan. Dari balik jendela, Sera melihat Citra keluar dengan langkah cepat, wajahnya tampak lelah dan sedikit jutek.
“Lo naik sepeda? Di panas gini? Gila aja,” suara Citra keluar datar, tanpa sengaja terdengar agak dingin. Ia mengenakan jaket motor yang tampak kusut, seperti enggan mengurus dirinya sendiri hari ini.
Sera menghela napas dalam, mengusahakan senyum kecil. “Iya... Buat olahraga juga sih. Tapi... ya, lumayan jauh juga.”
Citra melangkah lebih dekat, mata tajamnya menatap lurus ke wajah Sera. “Ya udah, sini naik motor gue. Ngapain ribet kayak gitu.”
Sera menggigit bibir bawah, mencoba menolak. “Gak usah, Cit. Aku pengen jalan sendiri aja.”
Nada Citra berubah, lebih tegas dan hampir memaksa. “Gue gak nanya. Sini.”
Sera terdiam, merasa tekanan itu bukan cuma soal motor atau sepeda. Ada semacam beban yang tiba-tiba membuat dia tak kuasa menolak. Perlahan, ia mengangguk pelan. “Ya udah... Tapi pelan aja, ya?”
Citra mendengus, membuka helmnya dan dengan kasar membantunya naik ke boncengan motor. Sepeda ontel ditinggalkan di tepi jalan, dan angin yang berhembus saat motor melaju pelan ke rumah Lara seperti mengusap lembut wajah Sera, menyelipkan kelegaan yang tak ia sadari ia butuhkan.
Sesampainya di depan rumah dua lantai yang rapi dengan pagar putih dan taman kecil yang tertata rapi, Sera turun dari motor diikuti oleh Citra. Di sana, Zea dan Kesya sudah menunggu, duduk santai sambil menatap rumah dengan rasa ingin tahu dan sedikit kekaguman.
“Gue gak nyangka rumah Lara sebagus ini,” gumam Zea pelan, matanya menelusuri setiap sudut dari kejauhan.
Lara keluar dari pintu dengan pakaian sederhana, kaos polos dan celana santai. Senyumnya tipis, tak benar-benar mencapai matanya. “Ayo masuk,” ucapnya lembut, suaranya hampir seperti bisikan.
Mereka melangkah ke ruang tengah yang tertata apik. Di sana ada meja belajar penuh buku, pensil warna, dan beberapa mainan kecil.
“Ini tempat aku biasa ngajarin Satya belajar,” kata Lara sambil menunduk memunguti buku-buku yang berserakan, lalu menatanya rapi ke rak.
“Bentar ya, aku buatin minum dulu. Kalian mau apa?” teriaknya dari arah dapur.
Zea langsung membuka mulut, “Jus mel—”
“AIR PUTIH AJA LAR!!” seru Sera cepat, hampir panik.
Lara mengintip dari balik dinding dapur, mengangkat sebelah alis. “Serius?”
Sera mengangguk cepat, matanya melempar tatapan peringatan ke arah Zea.
Zea membalas dengan melotot. “Gue kan pengen jus,” bisiknya jengkel.
“Ssst! Malu! Kita lagi bertamu!” sahut Sera, nyaris mencubit Zea.
Zea mendengus, memutar bola matanya sambil menyilangkan tangan.
Tak lama kemudian, Lara datang membawa nampan berisi gelas-gelas air putih dan piring kecil berisi biskuit kelapa.
“Maaf ya, cuma ini,” katanya dengan nada sopan.
Mereka mulai membuka laptop dan buku catatan. Lara segera membagi tugas, suaranya lembut tapi tegas.
“Sera, kamu cari rumusan masalahnya ya. Zea, kamu bantu Citra cari Bab 1. Nanti aku sama Kesya bagian analisis dan kesimpulan.”
Kesya langsung mengernyit, malas. “Dih, banyak dong. Lu aja ah, Ser. Males.”
Lara menoleh, nada bicaranya masih tenang tapi lebih dingin. “Gak bisa gitu, Kes. Ini kerja kelompok, semua harus ngerjain. Masa kerja-nya satu, tapi berkelompok?”
Kesya mencibir. “Dih, sok ngatur banget.”
Lara hanya menghela napas, memilih diam.
Beberapa menit kemudian, suasana mencair sedikit.
“Btw, rumah lo bagus ya, Lar. Gede lagi,” ujar Zea sambil melirik sekeliling ruang tamu.
“Enggak kok,” jawab Lara merendah.
“Tapi gede begini, gak ada pembantu?” tanya Zea polos.
“Kan ada aku.”
Zea menoleh, terkejut. “Terus… lo jadi pembantunya gitu?”
Kalimat itu jatuh seperti pisau. Lara terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab pelan, “Aku kan anak pertama. Udah tugasnya.”
Ruangan langsung hening. Sera menunduk. Citra menatap ke arah meja. Kesya diam. Tak ada yang menyangka jawaban seserius itu.
Sera buru-buru mencoba mencairkan suasana. “Eh, kamu juga punya foto keluarga ya, Lar. Gemes deh liatnya.”
Lara menoleh, tersenyum kecil. “Oh iya?”
Kesya ikut menimpali. “Tapi kok posisi lo gitu amat, Lar? Di pojokan gitu?”
Citra mencubit tangan Kesya cepat. “Diem, lo.”
Sebelum Lara sempat menjawab, pintu rumah terbuka. Seorang perempuan paruh baya masuk dengan tas belanjaan, diikuti gadis SMP dengan rambut tergerai rapi.
“Eh, ada temennya Lara ya,” ujar Lusi, ibunya, dengan suara yang terdengar ramah tapi ada sesuatu yang mengganjal di baliknya.
“Iya tante, kita lagi kerja kelompok,” jawab Citra cepat.
“Ah iya, kenalin, ini Luna. Adiknya Lara.”
“Halo, Luna. Cantik ya,” puji Citra tulus.
Lusi tersenyum, wajahnya langsung cerah. “Iya kan? Luna emang cantik banget. Padahal masih SMP, tapi udah pintar ngerawat tubuh sama wajah. Beda banget sama Lara.”
Seketika ruangan kembali sunyi. Semua mata menoleh ke arah Lara yang menunduk dalam.
Sera cepat-cepat berkata, “Lara juga cantik kok, Tante. Mirip Tante malah.”
Lusi menoleh tajam. “Eh, ini kamu ya yang dulu sama Lara? Gak ada! Mana ada mirip saya. Yang mirip saya itu Luna.”
Tangannya menyentuh bahu Luna dengan lembut, penuh bangga. Lara tetap menunduk. Matanya memerah, namun tak setetes pun air mata jatuh. Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu.
Zea yang menyadari suasana, cepat-cepat membuka suara, “Eh Lar, Bab 1-nya gimana ya? Jelasin lagi dong.”
Yang lain langsung ikut membantu mencairkan suasana. Lusi pergi ke dapur, sempat menoleh dan berkata datar, “Yang rajin ya, Lara, ngarain temen-temennya.”
Suasana kembali tenang secara paksa. Tapi tidak dengan perasaan mereka. Ada sesak yang tertinggal, menggantung di udara.
****
Setelah berpamitan di depan rumah Lara, Citra menyalakan motornya pelan, membawa Sera di boncengan. Angin sore mulai berhembus dingin, menusuk kulit yang masih hangat oleh sisa terik matahari siang. Jalanan komplek lengang, hanya suara motor yang mengisi hening.
Zea yang sudah duluan pergi dengan motornya sendiri, melaju di belakang mereka, tampak santai tapi pikirannya jelas masih berat. Sera menunduk, diam di belakang Citra. Wajahnya letih, tapi tak ada kata yang keluar.
Sesampainya di rumah Citra, mereka langsung masuk ke kamar. Citra menyuruh Sera ikut, walau Sera tahu seharusnya dia bisa pulang sendiri. Tapi entah kenapa, ia memilih ikut, seperti ada yang tak mau ia lepaskan begitu saja.
Citra menggelar karpet di lantai, membuka jendela lebar-lebar agar udara sore yang dingin masuk. Zea langsung menjatuhkan diri ke kasur, menghela napas panjang. Sera duduk bersandar di dinding, masih menahan beban yang terasa berat di dada.
Beberapa detik terdiam. Baru kemudian Zea bersuara, suaranya rendah dan pelan, tapi berat.
“Gue gak nyangka… Lara diperlakuin kayak gitu di rumahnya.” Dia menunduk, memandangi kuku jari tangannya yang dicat setengah mengelupas. “Pantes aja dia suka gak enakan, gak pernah nolak... Jadi gak enak nih gue suka nyuruh-nyuruh dia.”
Kesya ikut mengangguk pelan, suaranya seperti gumaman. “Gue juga, Ze. Gue malah… masih punya utang dua ratus ribu sama dia.”
Citra menggeleng pelan, wajahnya menegang. “Makanya cepet balikin, Kes. Siapa tau dia juga gak dikasih uang jajan sama Ibunya yang... kayak gitu.”
Sera duduk bersila, menatap ke lantai kosong. Perlahan, matanya mulai berkaca-kaca.
“Ih… kasihan banget ya Lara… Udah kayak Cinderella. Tinggal sama Ibu tiri yang keliatan gak disayang.”
Air mata jatuh perlahan di pipinya. Tangannya menyeka cepat, tapi isaknya tetap terdengar kecil.
Zea, yang duduk paling dekat, menoleh dan langsung tertawa pelan sambil menyikut Sera.
“Cengeng banget lo.”
Sera cemberut, tapi tak membalas. Ia masih sibuk menenangkan dadanya sendiri.
Citra mendesah berat. “Tapi serius deh… Gue juga sering liat Lara lari ke sekolah pagi-pagi. Tasnya gede, buru-buru, kayak ngejar waktu terus. Pulangnya juga… suka jalan kaki sendirian.”
Kesya langsung menoleh. “Serius lo? Kenapa gak pernah nawarin tumpangan?”
Citra mengangguk, matanya menerawang. “Udah. Gue udah nawarin beberapa kali. Tapi dia nolak terus. Katanya gak enak, gak mau ngerepotin. Kayaknya… Lara cuma berani nolak hal-hal kecil gitu doang.”
Zea mendengus. “Ternyata nyebelin banget ya di posisinya dia.”
Sera bersandar ke dinding, menatap langit dari jendela yang terbuka. “Dia terlalu kuat. Atau mungkin… dia udah gak punya pilihan selain jadi kuat.”
Hening lagi. Tapi kali ini, lebih berat.
Citra memeluk lututnya. “Kes… besok lo balikin duitnya ya. Serius.”
Kesya menoleh. “Iya, iya, gue balikin.”
Zea langsung menimpali dengan nada menggoda, “Kalau gak, gue gebuk lo! Sekalian itung-itung nembus rasa bersalah guelah.”
Kesya mendelik. “Dih, tumben banget lo peduli.”
Zea tertawa kecil, tapi wajahnya tetap serius. “Bukan peduli. Tapi gak enak aja, selama ini gue nyusahin dia terus.”
Semua terdiam. Sera menatap langit, Kesya memainkan ujung jaketnya, dan Citra menutup mata sejenak.
Semuanya larut dalam rasa bersalahnya masing-masing.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏