Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Lara berdiam di kamarnya. Sepi. Hanya suara desau pelan dari AC tua yang meneteskan air di pojok langit-langit. Udara kamar dingin, tapi dadanya tetap sesak.

Ia tengkurap di atas kasur, kakinya selonjor ke belakang dan bergoyang pelan-pelan di udara. Tangan kirinya menyangga dagu, sementara tangan kanan sibuk menulis dengan pulpen hitam yang tintanya nyaris habis. Kertas-kertas berserakan di sekitarnya—beberapa penuh coretan marah, beberapa cuma sebaris lalu dicoret keras-keras.

Di balik tumpukan bantal yang sengaja ditinggikan, terselip buku catatan kecil yang sampulnya berwarna coklat mulai mengelupas. Di situlah Lara menyimpan semua yang tidak bisa ia ucapkan. Semua yang tidak boleh diketahui siapa pun.

Ia sedang menulis puisi. Lagi.

Menulis adalah satu-satunya tempat ia bisa bernapas, di rumah yang terlalu sempit untuk perasaan. Rumah yang dinginnya bukan cuma dari AC, tapi dari suara-suara keras yang setiap hari melukai.

Tak ada yang tahu tentang buku itu. Tidak Luna, tidak Satya. Tidak pula orang tuanya yang sibuk dengan urusannya. Apalagi teman-teman di sekolah yang hanya mengenalnya sebagai 'anak baik', 'pendiam', dan 'nggak pernah bikin masalah'.

Tapi di buku itu, Lara bukan siapa-siapa. Dan juga semuanya. Ia bisa marah, bisa menangis, bisa berteriak tanpa suara.

Hari ini, ia menulis puisi yang agak berbeda. Judulnya Aku Ingin Jadi Jahat. Jantungnya berdetak lebih cepat saat menuliskannya. Seperti sedang menuliskan dosa—padahal cuma menulis puisi. Tapi bagi Lara, kalimat itu lebih jujur dari semua ‘aku baik-baik saja’ yang ia ucapkan setiap hari.

 

Aku Ingin Jadi Jahat

Aku lelah menjadi boneka,

Tersenyum dengan luka yang tak pernah bisa aku ungkapkan.

Mereka bilang aku baik,

Tapi tak ada yang tahu bagaimana rasanya dipaksa

Menjadi sesuatu yang bukan aku.

 

Lara menatap puisinya lama. Ada sesuatu yang mengganjal di dada—bukan sedih, tapi juga bukan lega. Rasanya seperti baru membuka luka yang selama ini dibalut paksa agar terlihat indah.

Tiba-tiba suara pintu dibuka paksa dari luar.

"Kak Lara!"

Luna. Suara itu seperti palu godam yang menghancurkan dunianya seketika. Lara langsung panik, menyambar buku catatannya dan menyelipkannya cepat ke bawah bantal. Detak jantungnya seperti drum perang. Ia duduk tegak, wajahnya gugup.

Luna berdiri di depan pintu yang setengah terbuka. Mata adiknya itu langsung menyipit curiga.

"Nyembunyiin apa lo?"

"Bukan apa-apa kok," jawab Lara cepat. Terlalu cepat. "Kenapa?"

Luna langsung masuk ke kamar tanpa izin, seperti biasa. Ia duduk di tepi kasur dengan santai. "Gue mau pinjem dress merah muda lo itu, dong. Yang kemarin lo beli."

Dress itu. Lara langsung kaku.

Itu satu-satunya barang yang Lara beli dari hasil tabungannya sendiri. Ia belum sempat memakainya. Dress yang bagi Lara terlalu cantik untuk di pakai, terlalu sayang. Dan dress itu semacam harapan kecil bagi Lara. Mungkin Lara akan pakai nanti. Nanti, ketika ia berhasil menjadi dirinya yang baru, yang penuh percaya diri, tanpa kebohongan lagi.

"Itu..."

"Kenapa?" Luna menaikkan alis, nadanya mulai mengancam.

"Gak boleh!" jawab Lara cepat, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak. Ia memejamkan mata, menunggu ledakan dari adiknya. Tapi... sepi.

Luna diam sejenak. Wajahnya mengeras. Ia bangkit berdiri, lalu berjalan keluar kamar tanpa suara. Justru itu yang membuat Lara panik.

Ia tahu, kalau Luna diam... itu pertanda buruk.

Segera setelah Luna pergi, Lara loncat dari kasur dan berlari ke pintu, memutarnya cepat, mengunci. Jantungnya berdetak kencang. Ada firasat buruk—dan benar saja.

Beberapa menit kemudian, suara langkah berat mendekat. Lalu pukulan keras di luar pintu. Disusul suara dua orang sekaligus, suara yang ia kenal terlalu baik, tak lain adalah Lusi dan Leo, orang tuanya.

“LARA! BUKA PINTUNYA SEKARANG!”

Suara Lusi, Ibunya, meledak seperti pecahan kaca yang menghantam jantung. Pedih, tajam, dan berulang. Disusul suara Leo, Ayahnya—lebih berat, lebih dingin, tapi tak kalah mematikan. Bagaikan palu godam yang menghantam kepala tanpa ampun.

"Apa-apaan kamu?! Nolak permintaan adek kamu kayak gitu? Hah?! Cuma dress doang, Lara pelit banget! Luna sampai nangis gara-gara kamu! Kamu puas, hah?!" suara Lusi melengking, penuh kemarahan.

"Kamu itu Kakaknya, Lara! Kakak apaan yang gak bisa ngalah? Baru punya dress satu aja udah ngerasa paling istimewa ya?! Kamu pikir kamu siapa?!" Leo menyusul, nada suaranya seperti cambuk, keras dan dingin.

Luna diam sejenak. Wajahnya mengeras. Ia bangkit berdiri, lalu berjalan keluar kamar tanpa suara. Justru itu yang membuat Lara panik.

"Asal kamu tau ya!" Lusi kembali, suaranya naik dua oktaf. "Anak Baik itu harusnya tak pernah menolak! Apa lagi untuk hal-hal kecil seperti ini! Dari kecil, saya didik kamu agar jadi Kakak yang bisa ngalah, bisa ngerti, jadi anak baik yang benar-benar sempurna!"

"Cuma anak gagal yang gak bisa nyenengin keluarganya sendiri!" Leo ikut menyerang. "Kalau bukan karena tanggung jawab, sudah saya buang kamu dari lama!"

Lara menahan napas. Tak ada balasan, tak ada pembelaan. Hanya air mata yang mengalir pelan, dan tubuh yang perlahan menggigil dalam diam. Bahunya bergetar, tak tahu apakah karena dingin… atau karena luka yang tak terlihat.

BRAK!

Pintu itu terbuka keras. Dentumannya memantul di dinding kamar, membuat Lara tersentak. Ia mundur panik, kaki terantuk ranjang, lalu jatuh terduduk ke lantai. Pinggulnya menghantam ubin dingin, siku kirinya terbentur lemari kecil. Perih menjalar pelan, tapi tidak berdarah.

Kepalanya terbentur dinding—cukup keras untuk membuat pandangannya berkunang. Ia diam, terengah, tubuhnya bergetar.

Air mata mengaburkan penglihatannya, tapi ia masih bisa melihat siluet Ayahnya berdiri di ambang pintu.

Tegap. Diam.

Matanya menatap tajam, tapi bukan amarah yang Lara tangkap—melainkan sesuatu yang samar. Ketegangan di rahangnya, jemari yang mengepal lalu mengendur. Seperti ada yang hendak disampaikan, tapi tertahan di batas bibir.

Namun tetap, tak ada langkah mendekat. Tak ada tangan yang terulur.

Lara hanya bisa duduk di lantai, menggigil di bawah cahaya lampu kamar yang dingin. Terluka bukan hanya oleh benturan, tapi oleh jarak yang tak pernah dijembatani.

Lusi menoleh pada Luna di belakang. Suaranya ringan, terlalu tenang untuk keadaan seperti ini. “Luna, udah, ya. Nanti Ibu beliin yang lebih bagus dari punya Kakak. Yang lebih cantik. Biar Luna nggak sedih lagi.”

Lara mendengarnya—jelas. Seolah suara itu tertancap di dadanya.

Ia memeluk lututnya erat, menahan gemetar dan isak. Sakit di tubuhnya tak seberapa dibandingkan rasa sesak di dada. Luka-luka kecilnya tak berdarah, tapi hatinya seperti koyak dari dalam.

Di saat ia tersungkur, satu-satunya hal yang orang tuanya pikirkan hanyalah Luna. Bukan dirinya.

Ia merasa seperti bayangan di sudut ruangan—tak terlihat, tak dianggap.

Dalam kepalanya, sebuah suara kecil yang selama ini berbisik pelan... kini berteriak.

Aku ingin jadi jahat.

Kalau menjadi anak baik artinya harus selalu mengalah… Kalau menjadi baik artinya tak pernah punya tempat di hati siapa pun…

Lara tidak ingin lagi.

Matanya menatap lurus, kosong. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang mulai menyala. Bukan harapan. Tapi tekad.

Buku catatannya masih ada di bawah bantal—disembunyikan seperti dirinya sendiri. Tapi tidak untuk lama lagi.

Ia akan menulis lagi. Tapi kali ini, bukan untuk merayu pengertian. Ia akan menulis untuk melawan. Untuk menyelamatkan dirinya sendiri, meski hanya lewat kata-kata. Karena kalau tak ada yang ingin mendengarnya...

...ia akan bicara lebih keras.

Meski harus jadi jahat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Wilted Flower
353      269     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
The First 6, 810 Day
766      513     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
A Poem For Blue Day
245      189     5     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Detik Kesunyian
438      326     3     
Short Story
Tuhan memiliki beribu cara untuk menyadarkan kita. Entah itu dengan cara halus, kasar, bahkan menampar. Tapi peringatan itu yang terbaik, daripada Tuhan mengingatkanmu dengan cara penyesalan.
BestfriEND
44      38     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Tanpo Arang
55      46     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Ada Apa Esok Hari
222      172     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Jalan Menuju Braga
514      374     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Bintang Sang Penjaga Cahaya
76      68     2     
Inspirational
Orang bilang, dia si penopang kehidupan. Orang bilang, dia si bahu yang kuat. Orang bilang, dialah pilar kokoh untuk rumah kecilnya. Bukan kah itu terdengar berlebihan walau nyatanya dia memanglah simbol kekuatan?
Monday vs Sunday
224      175     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...