Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Lara tak tahu cara menolak tanpa membuat orang lain kecewa.

Itu pikirannya saat ia melangkah masuk ke gerbang sekolah, dengan kepala yang penuh percakapan-percakapan imajiner yang tak sempat ia lontarkan. Hari ini, ia tidak terburu-buru. Tapi bukan karena semangat baru atau mood yang lebih baik—hanya karena ia bangun lebih awal dari biasanya.

Dan dalam keheningan pagi itu, ia sempat terlalu banyak berpikir. Tentang cara menolak permintaan orang-orang, tentang bagaimana menjadi cukup tegas tanpa dianggap egois. Tentang dirinya sendiri yang lelah menjadi orang yang selalu berkata "ya".

Belum sempat ia menginjak ambang pintu kelas, suara yang sudah sangat ia kenal menyela keheningan langkahnya.

“Lara, bisa bantu Ibu sebentar?”

Nada suara Bu Meri, guru Bahasa Indonesia, terdengar ramah. Tapi di balik keramahannya, ada urgensi. Ada perintah yang dibungkus dengan kata-kata manis.

Lara menoleh perlahan, hatinya langsung terhimpit.

“Bantu apa, Bu?” tanyanya pelan.

Tanpa penjelasan panjang, Bu Meri menyodorkan selembar uang biru yang sudah lusuh di tepinya. “Tolong fotokopi ini ya, 50 lembar. Sekalian belikan Ibu batagor. Ibu tadi lupa sarapan. Maaf ya, Lara.”

Lara menggigit bibir bawahnya.

“Tapi… sepuluh menit lagi pelajaran mulai, Bu.”

“Gak apa-apa. Nanti Ibu jelasin ke Bu Sri. Sekarang pelajaran Fisika, kan?”

Lara mengangguk, cepat dan gugup.

“Iya, Fisika.”

Suaranya nyaris tak terdengar.

“Tapi Lara ke sananya naik apa, Bu? Jaraknya lumayan jauh.”

Ekspresi Bu Meri sempat kosong sejenak, lalu ia tertawa kecil. Seolah baru sadar.

“Oh iya, Ibu lupa. Pakai motor Ibu aja, nih kuncinya.”

Lara menatap kunci itu seperti benda asing. Ia menelan ludah.

“Lara… nggak bisa naik motor, Bu.”

Bu Meri menarik napas. Pandangannya tak lagi bersahabat—seolah berkata ‘itu urusanmu’.

Lara menunduk, pasrah.

“Ya sudah… Lara jalan kaki aja, Bu.”

“Benar nggak apa-apa? Makasih ya, anak baiknya Ibu.”

Senyum itu muncul di wajah Lara, tapi hanya menggantung di satu sudut bibir. Ia mengangguk, tanpa semangat. Jaraknya dua puluh menit. Tapi ia tahu, menolak bukan pilihan. Bukan karena ia tak bisa—tapi karena nilai Bahasa Indonesia bisa jadi taruhannya.

Udara di luar gerbang terasa makin hangat, tapi tidak cukup untuk mengusir rasa sesak yang mulai naik dari dadanya ke tenggorokan. Lara menatap uang di tangannya. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah.

Ia tahu, sekali lagi, ia sedang melakukan sesuatu yang bukan tanggung jawabnya. Demi menyenangkan orang lain. Lagi.

*****

Lara kembali ke sekolah dengan napas terengah dan peluh menetes di pelipis.

Tangannya masih mencengkeram plastik batagor dan setumpuk fotokopi yang sudah sedikit lecek di ujung. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Lorong sekolah tampak lengang—hanya suara kipas tua yang berdecit, menemani langkah kakinya yang berat.

Ketika ia mendekati kelas, tenggorokannya terasa kering. Dari celah kaca jendela, ia bisa melihat Bu Sri berdiri di depan papan tulis. Tangan bersilang. Wajahnya datar, tegas, dan terlalu sunyi untuk disebut sabar.

Lara menarik napas. Membuka pintu dengan hati-hati.

“Maaf, Bu…” ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan.

Tatapan Bu Sri menghantam seperti cambuk. Tidak dengan suara, tidak dengan kata-kata. Hanya sorot mata yang tajam dan penuh penilaian.

“Duduk,” katanya singkat.

Lara mengangguk kecil, lalu melangkah menuju bangkunya dengan langkah sekecil mungkin. Seolah berharap bisa menghilang di antara bayangan kursi.

Tapi baru dua langkah, satu tatapan lain mengunci gerak tubuhnya.

Zea.

Ia duduk dengan tangan bersedekap. Matanya menusuk seperti sedang membongkar isi kepala Lara. Dan saat itu juga, Lara ingat—tugas Fisika.

Zea sempat mengirim pesan tadi malam. Meminta foto tugas.

Pesannya sudah terbaca, tapi tidak dibalas. Lara hanya ingin mengulur waktu. Bukan benar-benar menolak. Tapi sekarang, semuanya terlambat.

Ia duduk. Punggungnya kaku. Telapak tangan dingin.

Dan untuk pertama kalinya dalam tujuh belas tahun hidupnya, Lara tidak melakukan apa yang diharapkan orang lain.

Dan dunia sepertinya tahu Lara telah berbuat dosa.

Langit yang tadi biru mulai digelayuti awan kelabu. Angin berembus lebih dingin, menusuk kulitnya yang berkeringat. Suara sepatu-sepatu yang berserakan di lorong terasa seperti tepuk tangan sumbang atas kegagalan kecil yang baru saja ia lakukan.

*****

Zea itu terkadang seperti temannya, terkadang juga bukan.

Yang pasti dia adalah pusat gravitasi dalam orbit kecil bernama sekolah, dan Lara… hanyalah satelit yang dipaksa berputar tanpa jeda. Terlihat dekat, padahal selalu ada jarak yang tak bisa dijangkau.

Zea menyukai Lara bukan karena rasa sebagai teman. Tapi karena Lara penurut. Karena Lara tahu kapan harus diam, tahu kapan harus cepat-cepat cari alasan, tahu cara menyelamatkan geng Zea dari guru piket atau tugas kelompok. Lara tahu terlalu banyak, tapi memilih diam terlalu lama.

Seperti saat itu.

Saat waktu istirahat tiba dan dunia seolah bergerak dalam kebisingannya sendiri, Lara memilih diam di pojok taman belakang sekolah. Tempat yang tersembunyi di balik semak bougenville, penuh bayangan dan sedikit ketenangan. Di sanalah ia duduk sendirian, ditemani kotak bekal ungu pudar dan pikirannya sendiri.

Di pangkuannya, sandwich isi telur dan selada layu. Tidak ada yang istimewa, tapi cukup untuk membuat perutnya tidak kosong. Sejak kecil, Lara sudah terbiasa memasak sendiri. Seperti yang Ibunya selalu katakan. Anak sulung, harus mandiri. Harus bisa bertahan.

Tapi baru akan menggigit roti keduanya, suara itu datang— Tajam. Datang dari belakang. Menusuk tanpa aba-aba.

“Ciee, makan sendiri kayak anak ilang ya.”

Zea. Suaranya terdengar datar, tapi penuh makna. Lara tak perlu menoleh, ia tahu siapa yang datang. Tapi tetap saja, lehernya bergerak pelan, dan pandangannya menangkap Zea yang berdiri santai dengan satu tangan di pinggang. Diapit Keysha dan Citra, seperti biasa. Senyum mereka menggantung, tipis, tapi mencemooh.

Lara menunduk, berharap bayangan mereka cepat hilang. Tapi mereka malah mendekat.

“Lara…”

Langkah Zea ringan, tapi nadanya mulai menekan. “Lo tahu nggak kenapa lo masih bisa hidup nyaman di sekolah ini?"

Lara diam. Sandwich di tangannya terasa keras, hambar—seperti potongan kardus.

“Karena lo nurut. Karena lo ngerti kapan diem, kapan jawab. Karena lo tahu cara jadi nggak kelihatan, tapi berguna.”

Tawa kecil terdengar dari Keysha.

“Eh, katanya Zea minta foto tugas fisika kemarin, tapi gak dikasih. Berani juga lo, Lar.”

Jantung Lara turun ke perut. Ia benar-benar lupa soal tugas itu. Bukan niat menolak—hanya menunda. Tapi di mata Zea, itu kesalahan besar.

“Lo pikir lo penting?” Zea menyandarkan diri ke dinding taman. Alisnya terangkat. “Lagi sok sibuk bantu-bantu guru, ya? Ngerasa dilirik gitu? Dasar caper!”

“GR banget,” Citra menimpali. “Lo tuh… nggak lebih dari angin. Lewat doang, gak pernah dianggap.”

Zea mendekat lagi.

“Sekarang lo mulai nge-test gue ya? Gak bales? Gak nurut? Mau cari masalah?”

Bahunya Lara mengencang. Bukan karena marah—tapi karena takut.

Zea jongkok, sejajar dengan wajahnya. Tatapan matanya tajam seperti pecahan kaca.

“Lo tahu, Lar… hidup lo bisa berubah kapan aja. Dan percaya deh, gak ada yang peduli sama lo kalo gue bilang game over. Karena lo itu gak penting.”

Dua tepukan ringan mendarat di pipi Lara. Tidak keras, tapi cukup membakar tengkuknya.

Zea berdiri, merapikan roknya.

“Makan yang banyak ya, anak caper! Upss.”

Lalu mereka pergi. Tawa mereka menggema, ringan tapi menghantam. Setiap langkah menjauh seolah menancapkan luka lebih dalam. Dan meski suara mereka memudar, kata-kata mereka tetap tinggal—bergaung, membekas.

Lara tak lagi makan. Roti di tangannya dingin dan lembek. Telapak tangannya basah, bukan oleh saus, tapi oleh keringat dan amarah yang ia telan mentah-mentah. Ada air mata di ujung matanya—tertahan, enggan jatuh, namun menggantung berat.

Ada sesuatu yang berubah hari ini.

Ia tidak menjawab. Ia tidak menunduk seperti biasa. Ia hanya diam.

Tapi diam itu bukan lagi bentuk ketakutan. Diam itu adalah perlawanan kecil.

Di dalam dirinya, ada suara baru. Suara yang selama ini dibungkam. Suara yang berkata, "Bagaimana kalau aku melawan?"

Untuk pertama kalinya, Lara merasa marah—tapi bukan kepada orang lain.

Ia marah pada dirinya sendiri, pada ketakutan yang selama ini membuatnya tunduk.

Dan dari kemarahan itu, lahirlah tekad. Bukan untuk menjadi baik. Tapi untuk menjadi cukup.

Ia ingin menjadi jahat—bukan untuk menyakiti orang lain, tapi untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Jahat… agar ia bisa baik kepada dirinya sendiri.

Langit di atasnya perlahan berubah warna.

Dan Lara, dengan satu napas yang lebih tenang, tahu bahwa ini adalah awal.

Langkah pertama menuju hidup yang bukan ditentukan orang lain, tapi dirinya sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Yu & Way
127      105     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Acropolis Athens
5297      2012     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
Sosok Ayah
907      504     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
Dendam
504      365     3     
Short Story
Dulu, Helena hidup demi adiknya, Kiara. Setelah Kiara pergi, Helena hidup demi dendamnya.
Bu, Ajari Aku untuk Mencintaimu Seutuhnya
567      411     0     
Short Story
Ibu, kau adalah harta paling berharga dalam hidupku. Terima kasih telah mengajari dan mencintaiku selalu. I love you
Kertas Remuk
97      80     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Wilted Flower
276      207     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Rinai Kesedihan
794      534     1     
Short Story
Suatu hal dapat terjadi tanpa bisa dikontrol, dikendalikan, ataupun dimohon untuk tidak benar-benar terjadi. Semuanya sudah dituliskan. Sudah disusun. Misalnya perihal kesedihan.
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
337      249     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Rumah?
49      47     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.