Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ilona : My Spotted Skin
MENU
About Us  

Ayah berhasil mendobrak pintu kamar mandi setelah berkali-kali memanggil namaku. Tapi, nggak ada respons dariku selain teriakan. Aku panik. Aku nggak bisa menguasai diri. Teriakanku sekarang berganti jadi tangisan.

Aku meringkuk di sudut. Lututku menekuk. Kepalaku tersembunyi di antara dua tanganku yang bertumpu ke siku. Air mataku deras, beriringan dengan isakan yang keras.

"Dek," panggil Ayah yang sudah berjongkok di depanku.

Aku merasakan elusan lembut di kepalaku. Tapi, aku belum berminat mengangkat kepala. Aku masih mau menangis. Aku masih mau meratapi kehancuran hidupku.

"Adek kenapa?" tanya Ayah dengan lembut.

Aku masih nggak berminat melakukan apa pun selain menangis. Ketakutanku membesar. Ada lubang hitam super besar di atas kepalaku yang siap membawaku ke dimensi lain, dimensi kehancuran.

"Kita ke kamar, ya." Kali ini, Ayah membopongku. Entah aku yang terlalu ringan atau ayahku ternyata masih punya kekuatan hebat sisa-sisa pengabdiannya sebagai satpam, tubuhku dengan mudah berpindah ke kamar.

"Kenapa, Dek?" Bunda terdengar khawatir, lalu buru-buru duduk di sampingku.

Sejak Ayah mengangkat tubuhku, tanganku terus menutupi wajah. Aku malu. Aku nggak mau ada yang melihat kehancuran wajahku, termasuk orang tuaku.

"Ada yang sakit?" tanya Bunda sambil mengusap lenganku. Sepertinya, Bunda menyadari ada masalah di kulitku karena usapannya berhenti. "Ini kenapa, Dek?" Suaranya semakin terdengar khawatir.

Aku diam dan menyesal nggak menggunakan pakaian lengan panjang lagi. Tangisanku perlahan berhenti. Tapi, aku masih berada dalam posisiku. Aku berharap bisa menarik selimut, lalu bersembunyi.

"Yah, kenapa ini? Kulitnya kenapa jijik gini?"

Bunda nggak menyentuhku lagi. Tapi, sentuhan lain mengusap bagian lenganku yang mengering. Permukaan tangannya terasa lebih kasar, tapi usapannya lembut menenangkan. Ayah memeriksa bagian tubuhku yang lain. Tapi, mereka nggak tahu kalau di balik celana panjang dan kausku ada lebih banyak kulit meradang yang mengerikan. Mereka nggak tahu kalau wajahku pun mulai mengalami kehancuran.

"Kamu salah makan, Dek?" Nada suara Bunda lebih terdengar seperti menuduh daripada bertanya khawatir.

"Cuma di sini aja, Dek?" Ayah lebih terdengar cemas. Jari-jarinya terus mengusap bulatan kering kulitku. Rasanya menyenngkan karena berhasil meredam sedikit gatal di sana. "Sakit, ya?"

"Bunda udah sering bilang, kan? Jaga makan! Sekarang, kamu rasain sendiri. Alergi apa kamu ini?" Bunda melanjutkan omelan, seolah paling paham inilah yang kubutuhkan sekarang.

Ayah menyentuh kedua tanganku. Genggamannya erat, tapi justru terasa seolah sedang menguatkanku. "Turunin dulu tangannya. Cerita sama Ayah, ya," pinta Ayah dengan lembut. "Mana aja yang sakit?"

Bunda terus mengomel, membahas tentang pentingnya menjaga makanan. Aku nggak paham apa hubungan semua makanan yang masuk ke tubuhku dengan hancurnya kulitku. Bunda selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya, nggak peduli bahwa itu salah dan bisa menyakiti orang lain.

"Di kaki juga ada?" Ayah menyadari gerakan kakiku yang berusaha meredam gatal di bagian betis. "Kanan apa kiri, Dek?" Ayah bertanya, tapi sebelum mendengar jawabanku sudah menggulung kain yang menutupi kaki kananku.

"Ya, Allah. Dek, banyak banget?" Omelan Bunda berganti jadi pekikan panik. "Kamu makan apa aja, sih?"

Ayah mengecek kaki kiriku. Bunda jadi semakin histeris. Aku menangis lagi, entah karena Bunda yang masih menanyakan penyebab bulatan gatal ini muncul atau sentuhan lembut Ayah di setiap rapuhnya kulitku. Bisa jadi, kolaborasi respons Ayah dan Bunda yang berbeda inilah yang berhasil membuatku menangis lagi.

Aku masih menangis saat Ayah menarik tanganku. Ayah menggenggam kedua tanganku. Wajah yang sudah penuh kerutan dan rambut putih nyaris seluruhnya itu menjadi pemandangan pertamaku. Ada kesedihan, tapi Ayah tetap menatapku lembut.

"Nggak apa-apa," kata Ayah. "Nanti kita ke dokter, ya." Suaranya tenang, seperti musik paling merdu yang berhasil membuatku lega.

"Ya, ampun, Dek." Teriakan Bunda seperti menjatuhkanku yang mulai bisa berdiri tegak. "Di muka juga ada?" Bunda menyentuh daguku, memintaku memandangnya. Mata lebar itu meneliti wajahku dengan detail. Jari-jarinya mengusap pipiku, tapi justru ketegangan yang menjalari perasaanku.

Apa lagi yang akan Bunda katakan sekarang? Pasti, Bunda sedang mencari kesalahanku, lalu menyalahkanku lebih banyak lagi. Bunda sedang mengumpulkan alasan penyebab kehancuran ini bisa terjadi. Tentu saja akulah yang membuat kulitku hancur.

"Bun, kita ke dokter sekarang. Dokter pasti lebih paham apa yang bikin Adek begini." Ayah berkata dengan tegas, seolah sengaja membuat Bunda diam.

Bunda menurut. Langkahnya cepat menuju ke lemariku. "Ganti baju dulu, Dek. Nggak usah mandi. Siapa tahu itu nggak boleh kena air." Bunda menyerahkan pakaian untukku.

"Nggak apa-apa. Dokter bisa sembuhin Adek." Ayah berdiri. "Ayah tunggu di bawah, ya."

Tinggal aku dan Bunda sekarang. Suasananya lebih hening karena Bunda belum mengomel lagi. Tangan Bunda terulur padaku. "Bunda bantu ganti baju," katanya.

Aku ingin menolak. Tapi, yang kulakukan selalu menuruti perintah Bunda. Aku berdiri menghadap cermin, lalu melepas kaus.

"Ya, ampun, Dek," kata Bunda sambil menutup mulut. Pandangannya tertuju ke punggungku, tempat lebih banyak kulit yang meradang. "Sejak kapan ini? Kenapa nggak bilang Bunda, Dek?"

"Hampir sebulan," jawabku singkat sambil buru-buru menggunakan baju yang Bunda pilihkan. Kemeja lengan panjang dan celana jins menyelimuti seluruh kulitku yang mengerikan. Untuk menyembunyikan wajahku yang mulai hancur, aku menggunakan masker, kacamata hitam, dan topi milik Mas Dio yang tertinggal.

Ayah dan Bunda menemaniku ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, mereka berdebat poli mana yang akan kami tuju. Ayah menyarankan agar kami ke dokter umum lebih dulu karena nggak tahu sebenarnya penyakitku ini apa. Ayah mengira ini cuma alergi makanan biasa. Tapi, Bunda menentang dan meminta ke dokter kulit.

Aku memilih diam di bagian belakang mobil. Tanganku sibuk menggaruk. Kepalaku penuh ketakutan. Aku memandang ke luar, yang justru membuat isi kepalaku semakin penuh.

Gimana kalau ini bukan cuma alergi? Gimana kalau ternyata aku menderita penyakit menular?

Kulitku terlalu menjijikkan untuk sekedar disebut alergi. Nggak mungkin penampakan seperti ini nggak menular. Cacar air saja menular, apalagi penyakitku.

Kalau menular, aku harus menjalani karantina. Aku nggak bisa bekerja lagi. Aku terasing dari dunia luar.

Sampai di rumah sakit, pikiranku masih penuh sesak. Aku nggak peduli Ayah dan Bunda membawaku ke poli apa. Aku cuma ingin segera bertemu dokter dan mendapatkan perawatan. Aku mau cepat sembuh.

Ternyata, kali ini lagi-lagi Bunda yang menang. Aku duduk di antara Ayah dan Bunda di depan poli kulit dan kelamin. Lokasi ruang periksa ini berada di sudut, agak tersembunyi. Jumlah pasien yang menunggu giliran nggak banyak. Sebelum aku datang, ada lima orang lain yang sudah mengantre.

Ayah terus menggenggam tanganku. Nggak ada kalimat penenang lagi. Tapi, aku senang Ayah di sini menemaniku.

Bunda pergi entah ke mana. Saat kembali, di tangannya penuh makanan. "Kamu makan dulu. Ini Bunda beli nasi goreng." Bunda membuka penutup mangkuk kertas, lalu menyendokkan nasi goreng dengan potongan telur ke mulutku. "Buka dulu maskernya, Dek!"

Aku menggeleng. Perutku memang belum terisi apa pun. Tapi, aku sama sekali nggak berminat makan.

Bunda menurunkan tangannya dan memasukkan sendok ke dalam mangkuk kertas kembali. "Jangan menyakiti diri sendiri. Kamu perlu makan. Kita udah di dokter. Nanti, dokter pasti bisa sembuhin kulit Adek." Senyum Bunda kali ini terlihat tulus banget. "Adek bisa cantik lagi, kok."

Air mataku menggenang. Jarang banget Bunda berkata halus begini. Dadaku rasanya hangat. Saat Bunda menyodorkan makanan ke mulutku lagi, aku nggak menolak. Bunda terus menyuapiku sampai perawat memanggil namaku.

Aku mengembuskan napas, mencoba menenangkan diri. Ternyata memeriksakan penyakit cukup menegangkan. Mataku berkedip cepat saat masuk ke ruangan yang ternyata luas. Dindingnya berwarna salem yang lembut. Aneka poster kesehatan yang nggak aku pahami menempel di dinding. Ada sekat kayu yang membatasi ruangan lain. Mungkin itu ruangan khusus untuk memeriksa pasien. Aku melihat ranjang kosong di sana. Ini ruang kerja dokter spesialis kulit dan kelamin. Bisa aja dia meminta pasien menunjukkan kelaminnya tanpa rasa malu di sana.

Wanita dengan balutan blus biru yang ditutupi jas putih menyambutku dengan senyuman. Rambut ikalnya dipotong pendek dengan poni yang melengkung dramatis di dahinya. Bibir tipisnya merah merekah, cantik sekali. Kacamatanya memperjelas kesan cerdas dalam dirinya. Mataku menangkap papan nama di atas mejanya yang dipenuhi kertas. Prof. Dr. Maya Lukas, SpDv.

Aneh. Kenapa gelar yang disematkan di belakang namanya bukan SpKK?

"Hallo. Gimana? Ada keluhan apa?" tanya dokter Maya setelah aku duduk di hadapannya. Bunda duduk di sampingku. Sementara Ayah mengambil kursi lain, lalu duduk di samping meja dokter.

Aku membuka masker dan jaketku. Kuletakkan masker dan jaket di meja dengan sembarangan. Aku menggulung lengan kemeja. Kutunjukkan kondisi kulitku yang mengerikan. "Ini kenapa, ya, Dok?" Aku bingung harus mengatakan apa lagi.

Dokter Maya memegang tanganku. Dia mengamati bulatan yang paling besar di sikuku. "Rasanya gatel banget, ya?"

Aku mengangguk cepat. Hebat! Dia tahu yang aku rasakan.

Bibir merah itu kembali tersenyum. "Jangan terus-terusan digaruk, ya. Jadinya lecet itu."

Gimana cara menghilangkan gatal tanpa menggaruk? Gatal ini menyiksa banget.

Mungkin dokter Maya punya kemampuan membaca pikiran. Dia menangkap kebingunganku, lalu menjelaskan lagi. "Lebih baik sering-sering dikasih pelembab buat meredakan gatalnya. Gatal ini disebabkan kulit kamu terlalu kering. Kamu juga harus rajin minum air putih yang banyak, ya."

Aku mengangguk. "Terus ini kenapa, Dok?" tanya Bunda penasaran.

"Psoriasis," jawabnya singkat.

Kedua alisku saling bertaut. "Sopiasis?" Aku mencoba mengulangi ucapan wanita di hadapanku itu.

Dokter Maya menuliskan sesuatu di atas kertas, lalu mendorong kertas itu ke hadapanku. Aku mengambil kertas putih yang bertuliskan satu kata singkat. "Psoriasis," ucapku membaca tulisan dokter Maya yang nggak mencerminkan dokter yang sebenarnya. Tulisan tangannya rapi dengan bentuk huruf yang bulat. Aku berani mengakui kalau tulisanku jauh lebih buruk dibandingkan tulisannya.

Apa mungkin jiwa kami tertukar? Ah, nggak mungkin. Aku nggak mungkin pintar dan setua dokter Maya.

"Psoriasis itu salah satu penyakit autoimun. Ada kesalahan dalam tubuh kamu sampai sistem imunnya kacau. Seharusnya sistem imun mampu menghalau hal berbahaya yang masuk ke dalam tubuh. Tapi, dalam penderita autoimun, sistem ini tidak punya kemampuan itu. Sistem imunnya mengalami kebingungan sehingga menyerang apa pun yang dirasa mengancam, apa pun termasuk hal baik dalam tubuh." Penjelasan dokter Maya sama sekali nggak mampu kucerna.

Aku diam memandang dokter Maya yang menatapku lembut. "Tapi, ini bisa sembuh, kan, dok? Kulitku bisa mulus lagi, kan?" tanyaku akhirnya. Bodo amat dengan sistem imun yang menyerang kawan atau lawan. Apa pun penjelasannya, yang paling penting itu aku harus sembuh. Aku harus kembali menjadi Ilona yang cantik.

Mata dokter Maya berubah sendu. Senyuman yang sejak tadi dipamerkan mendadak lenyap. Kepalanya menggeleng pelan. "Penyembuhan autoimun tidak mudah. Beberapa kasus autoimun bahkan belum bisa disembuhkan. Psoriasis termasuk yang sampai saat ini menjadi PR besar bagi para dokter kulit. Psoriasis belum bisa disembuhkan."

Sepertinya, aku butuh waktu tidur lebih lama. Ini mimpi terburuk dalam hidupku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
DocDetec
290      198     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Cinta (tak) Harus Memiliki
5555      1407     1     
Romance
Dua kepingan hati yang berbeda dalam satu raga yang sama. Sepi. Sedih. Sendiri. Termenung dalam gelapnya malam. Berpangku tangan menatap bintang, berharap pelangi itu kembali. Kembali menghiasi hari yang kelam. Hari yang telah sirna nan hampa dengan bayangan semu. Hari yang mengingatkannya pada pusaran waktu. Kini perlahan kepingan hati yang telah lama hancur, kembali bersatu. Berubah menja...
Mimpi & Co.
919      611     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
About love
1258      588     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
SILENT
5487      1649     3     
Romance
Tidak semua kata di dunia perlu diucapkan. Pun tidak semua makna di dalamnya perlu tersampaikan. Maka, aku memilih diam dalam semua keramaian ini. Bagiku, diamku, menyelamatkan hatiku, menyelamatkan jiwaku, menyelamatkan persahabatanku dan menyelamatkan aku dari semua hal yang tidak mungkin bisa aku hadapi sendirian, tanpa mereka. Namun satu hal, aku tidak bisa menyelamatkan rasa ini... M...
Ghea
471      309     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
KNITTED
1506      675     1     
Romance
Dara memimpikan Kintan, teman sekelasnya yang sedang koma di rumah sakit, saat Dara berpikir bahwa itu hanya bunga tidur, pada pagi hari Dara melihat Kintan dikelasnya, meminta pertolongannya.
Sepi Tak Ingin Pergi
654      396     3     
Short Story
Dunia hanya satu. Namun, aku hidup di dua dunia. Katanya surga dan neraka ada di alam baka. Namun, aku merasakan keduanya. Orang bilang tak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan. Namun, bagiku sakit adalah tentang merelakan.
RANIA
2426      875     1     
Romance
"Aku hanya membiarkan hati ini jatuh, tapi kenapa semua terasa salah?" Rania Laila jatuh cinta kepada William Herodes. Sebanarnya hal yang lumrah seorang wanita menjatuhkan hati kepada seorang pria. Namun perihal perasaan itu menjadi rumit karena kenyataan Liam adalah kekasih kakaknya, Kana. Saat Rania mati-matian membunuh perasaan cinta telarangnya, tiba-tiba Liam seakan membukak...
The Skylarked Fate
6925      2076     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.