Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ilona : My Spotted Skin
MENU
About Us  

"Sebenarnya, kenapa anak saya bisa begini, Dok?" tanya Bunda. "Ini tuh kayak yang tiba-tiba banget terjadi. Sebelumnya, dia sehat. Nggak ada tanda-tanda sakit sama sekali. Kenapa mendadak autoimun gini?" Mata Bunda berair dan merah. Suaranya serak, seperti sedang menahan sedih yang luar biasa.

"Untuk psoriasis, kondisi fisik penderitanya memang nggak terlihat melemah, cuma kulitnya saja yang jadi rusak. Mereka masih bisa berkegiatan normal, kecuali untuk penderita psoriasis tertentu. Ada kondisi psoriasis yang memang membuat sendi ikut sakit dan kulit bernanah. Untungnya, psoriasis Ilona termasuk masih ringan." Dokter Maya kembali menuliskan sesuatu di laporan kesehatanku. "Adakah keluarga yang pernah sakit ini juga? Atau riwayat autoimun lain? Salah satu penyebabnya memang genetik."

Ayah dan Bunda berpandangan. "Kayaknya nggak ada, ya, Yah?" Bunda ragu-ragu melemparkan pertanyaan pada Ayah.

"Nggak ada. Saya baru melihat yang begini di anak saya, Dok," jawab Ayah lebih yakin.

Dokter Maya memandangku. Entah apa arti tatapan teduh itu, aku nggak paham. Tapi, senyumnya cukup menyenangkan. "Psoriasis itu ada banyak macamnya. Punya kamu ini tipe gutata. Bentuknya bulatan kecil, mirip tetesan air. Dulu, awal muncul pasti cuma bintik-bintik gitu, ya?"

Aku mengangguk lemah. Tapi, kali ini aku nggak mengagumi kehebatan dokter Maya. Sejak dokter Maya menyebutkan bahwa penyakit ini belum ada obatnya, duniaku benar-benar runtuh. Nggak ada yang lebih mengerikan dari menderita penyakit tanpa obat. Bisa apa aku setelah resmi menyandang predikat pasien yang nggak akan pernah sembuh begini?

Dokter Maya berdiri. "Untuk memastikan lagi apakah ada kemungkinan penyakit lain, kita lakukan tes, ya. Saya akan mengambil sampel kulit yang meradang untuk dicek di lab." Dokter Maya memintaku mengikutinya ke ranjang. Perawat yang tadi memanggil namaku mempersiapkan semua keperluannya.

Bunda nggak membiarkanku sendirian. Kali ini, genggaman tangannya nggak lepas dariku. Nggak ada omelan Bunda. Nggak ada pandangan menyudutkan. Mata Bunda sama berdukanya denganku, tapi Bunda bersikap lebih tegar.

Perawat menyuntikkan sesuatu di betis kiriku setelah aku duduk di ranjang. Aku nggak tahu apa itu. Bunda yang mencari tahu semuanya. Tapi, aku memilih nggak mau tahu. Pikiranku sudah semakin kusut. Aku cuma ingin segera pulang dari sini.

Dokter Maya menghampiri dengan membawa sesuatu yang bentuknya mirip sedotan besi anti karat. Aku diam dan terus memperhatikan semua yang dokter Maya lakukan. Dengan gerakan cepat, dokter Maya melubangi betisku yang ternyata sudah mati rasa. Pasti suntikan tadi berisi obat bius.

Tubuhku lemas saat melihat lubang di betisku mengeluarkan darah yang banyak banget. Lubangnya memang kecil, tapi aku nggak tahan melihatnya. Untungnya, Bunda ada di sampingku. Aku memeluk Bunda dan terus memejamkan mata.

"Untuk saat ini, cukup oleskan salep racikan. Ada kandungan asam salisilat dan coal tar yang mengangkat kulit mati. Salepnya nggak di semua apotek ada. Tapi, harusnya di rumah sakit masih ada stok." Dokter Maya berkata sambil menuliskan resep. "Jangan stres, ya! Stres cuma bikin kondisinya semakin parah," pinta dokter Maya padaku tetap dengan nada bicaranya yang ramah.

Aku baru bertemu dokter Maya belum ada satu jam. Tapi, aku sudah mengenal dokter Maya sebagai orang yang nggak punya selera komedi bagus. Leluconnya terlalu garing, bahkan terdengar menyebalkan.

Gimana aku nggak stres kalau harus merasakan gatal setiap saat? Gimana aku nggak stres kalau penampilanku jadi buruk rupa? Gimana aku nggak stres harus seperti ini seumur hidup? Gimana aku nggak stres kalau duniaku hancur dalam waktu singkat? Gimana aku nggak stres kalau masa depanku yang susah payah kubangun harus berantakan sekarang?

Coba siapa pun kasih tahu aku gimana caranya aku nggak stres!

Belum keluar dari ruangan dokter Maya saja, aku sudah kehilangan akal sehat. Aku nggak sanggup membayangkan hidupku jadi semakin kacau setelah ini. Tapi, nyatanya semua memang semakin berantakan.

Semua gara-gara psoriasis sialan!

Ayah meminta Bunda membawaku ke kantin rumah sakit. Kali ini, Ayah dan Bunda sepakat kalau aku akan lebih tenang menunggu di kantin daripada duduk bersama pasien-pasien lainnya di apotek. Jadi, di sinilah aku, duduk di bangku paling ujung di kantin yang agak tersembunyi.

Sekarang, masih jauh dari jam makan siang. Kantin sepi, tapi banyak orang berlalu-lalang di bagian depan kantin. Tempat ini memang berada di paling belakang gedung. Begitu melewati pintu keluar di dekat kantin, orang-orang akan langsung berada di tempat parkir.

Bunda menawari bermacam makanan, tapi aku nggak berminat sama sekali. Seblak dan minuman manis yang biasanya nggak pernah aku tolak pun sekarang nggak terdengar menarik sama sekali. Aku nggak mau makan dan minum. Aku cuma mau sembuh. Tapi, aku nggak akan pernah bisa mendapatkannya.

Aku menurunkan topi agar lebih menutupi wajahku. Dulu, aku suka ada orang yang memandangku. Mereka akan terpesona, lalu memuji kecantikanku.

Sayangnya, itu terjadi seperti sudah lama banget. Sekarang, wajahku mulai hancur. Akan ada kulit kering mengelupas dan meradang di wajahku. Nggak ada lagi Ilona Bachtiar yang cantik. Aku sekarang cuma monster mengerikan.

Air mataku menetes. Dadaku panas. Aku membenci diri sendiri yang nggak mampu menjaga kesehatan. Aku benci diriku sendiri yang gagal mempertahankan satu-satunya sesuatu paling berhargaku, yaitu kecantikan. Aku benci diriku yang sekarang nggak cantik lagi. Aku benci kulit mengerikan ini.

Kedua tanganku sibuk menggaruk. Tapi, gatalnya nggak pernah hilang.

"Udah, Dek. Jangan digaruk terus!" Bunda menahan tanganku. "Nanti makin banyak lecetnya."

Aku memandang Bunda tajam di balik kacamata hitamku. "Bunda nggak ngerasain gatelnya." Aku berteriak.

Bunda memandang sekeliling, lalu menunduk pada orang-orang yang memperhatikan kami. Walau nggak mengatakan maaf, jelas banget Bunda nggak enak mengganggu kenyamanan banyak orang. "Udah, ya, udah. Adek nggak perlu teriak-teriak. Malu dilihat orang."

Tahu apa mereka? Nggak ada yang mengalami nasib mengerikan sepertiku. Mereka nggak tahu gimana rasanya jadi aku.

Sebenarnya, aku punya banyak argumen untuk mendebat Bunda. Tapi, aku terlalu marah pada diri sendiri, pada semuanya yang membuatku hancur begini. Aku memilih diam dan mengabaikan Bunda.

Sialnya, Ayah membutuhkan waktu lama banget untuk sekadar membeli salep untukku. Aku dan Bunda harus berada di suasana menyebalkan selama lebih dari satu jam. Kantin mulai ramai saat Ayah datang. Entah kenapa, aku merasa Ayah justru menjaga jarak denganku.

Ah! Pasti gara-gara sekarang aku ini Ilona yang jelek. Ayah nggak mau punya anak jelek.

Ayah dan Bunda membicarakan soal obat oles milikku. Aku memilih mendahului meninggalkan tempat ini. Kalau mereka masih mai berlama-lama di sini, aku akan pulang sendiri. Tapi, Ayah dan Bunda mengikuti langkahku yang buru-buru.

Aku berjalan dengan terus menunduk. Nggak boleh ada yang melihat wajahku. Aku nggak mau ada yang mengenali. Aku juga nggak mau ada yang menyadari kondisiku yang sekarang buruk rupa ini.

Sepanjang perjalanan pulang, aku memilih diam. Aku nggak peduli dengan semua pertanyaan atau obrolan Ayah dan Bunda. Kepalaku berdenyut kuat. Mataku juga panas dan pegal.

Gatal di kulitku membuatku semakin kesal. Kuku-kuku tanganku menancap di lengan. Aku berharap gatalnya segera hilang. Tapi, justru darah yang muncul. Keluarnya darah ini sama sekali nggak mengurangi rasa gatal.

Gimana caranya gatal ini hilang?

Aku menangis histeris sambil terus menggaruk kulit yang gatal. Ayah sampai harus menghentikan mobil untuk menenangkanku. Bunda akhirnya memelukku sepanjang sisa perjalanan. Tapi, pelukan Bunda tetap nggak berhasil menghilangkan gatal kurang ajar ini.

Begitu sampai di rumah, aku langsung berlari masuk kamar. Kali ini, aku berani membanting pintu. Suaranya berdebum kencang banget. Tapi, aku nggak peduli kalau pintu itu hancur.

Aku melepas masker, topi, kacamata, kemeja, dan celana yang menutupi tubuhku. Kutang dan celana dalam nggak aku lepas karena nggak mengganggu kegiatanku. Aku duduk di pinggir kasur. Sudah ada cairan merah kental di beberapa bagian tubuhku. Tapi, aku memilih mengabaikan darah itu. Entah aku harus bersyukur punya kuku panjang atau nggak karena garukanku jadi terasa lebih mantab. Sayang, luka di kulitku pun jadi lebih cepat terbentuk.

Aku mengusap kasar kulitku yang menebal dan bersisik. Rontokan kulitku berkumpul di bagian bawahku. Sampah-sampah ini terlihat lebih memuakkan daripada kotoran berbau busuk mana pun. Dalam waktu singkat, kamarku kotor, seperti nggak pernah terjamah sapu selama berminggu-minggu.

Bunda masuk setelah aku lelah menggaruk. Rasa gatalnya sama sekali nggak berkurang, cuma berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ini berulang terus, seolah nggak mengenal kata berhenti sama sekali.

"Dek." Bunda duduk di sampingku. Di tangannya ada obat yang tadi Ayah beli. "Bunda bantu olesin, ya." Bunda membuka salep itu. Isinya cuma krim putih.

Aku nggak yakin salep itu akan bisa menyembuhkan penyakitku. Ah! Aku, kan, memang nggak akan pernah sembuh.

Aku diam saja saat Bunda mengolesi kulitku yang meradang dengan salep. Gatalku nggak langsung menghilang. Tapi, kulitku jadi lebih lembab dan nyaman. Bunda berpindah ke belakang tubuhku. Aku tetap diam. Sentuhannya lembut. Tapi, aku tetap nggak merasa tenang.

Telapak tangan Bunda menyentuh punggungku, agak mendorong. Baru aku sadari, tangan Bunda bergetar. Lalu, isakan Bunda lolos. Saat aku berbalik, Bunda ternyata sudah banjir air mata.

"Maafin Bunda, Dek," kata Bunda berulang kali. "Maafin Bunda udah gagal jagain Adek."

Aku mematung. Suara serak, air mata, dan penyesalan Bunda menyentil sisi paling sensitifku. Air mataku jatuh melihat Bunda menunduk sambil mengusap-usap pinggir kulitku yang meradang. Ada hantaman kencang menembus dadaku.

Aku kira selama ini Bunda membenciku. Aku pikir Bunda nggak suka sama aku. Bunda menyesal melahirkan aku. Tapi, ternyata Bunda bisa menangis saat kondisiku nggak baik-baik saja.

"Aku nggak bisa sembuh, Bun." Keluhanku lepas begitu saja. Ini jadi luapan isi hatiku paling jujur di hadapan Bunda. "Aku nggak cantik lagi."

Bunda memandangku sambil menggeleng. Kedua tangannya mencengkeram erat lenganku. "Nggak, Dek. Kita cari obatnya sama-sama, ya. Pasti ada obat yang bisa sembuhin Adek. Pasti! Adek bisa cantik lagi. Adek nggak usah khawatir. Ayah, Bunda, dan Mas Dio pasti cari obatnya."

Aku masih boleh berharap bisa kembali jadi gadis cantik lagi, kan?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Noona
6038      1473     2     
Romance
Ini bukan cinta segitiga atau bahkan segi empat. Ini adalah garis linear. Kina memendam perasaan pada Gio, sahabat masa kecilnya. Sayangnya, Gio tergila-gila pada Freya, tetangga apartemennya yang 5 tahun lebih tua. Freya sendiri tak bisa melepaskan dirinya dari Brandon, pengacara mapan yang sudah 7 tahun dia pacariwalaupun Brandon sebenarnya tidak pernah menganggap Freya lebih dari kucing peliha...
Maroon Ribbon
514      372     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.
Mimpi Membawaku Kembali Bersamamu
617      437     4     
Short Story
Aku akan menceritakan tentang kisahku yang bertemu dengan seorang lelaki melalui mimpi dan lelaki itu membuatku jatuh cinta padanya. Kuharap cerita ini tidak membosankan.
Aranka
4330      1453     6     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Meteor Lyrid
539      375     1     
Romance
Hujan turun begitu derasnya malam itu. Dengan sisa debu angkasa malam, orang mungkin merasa takjub melihat indahnya meteor yang menari diatas sana. Terang namun samar karna jaraknya. Tapi bagiku, menemukanmu, seperti mencari meteor dalam konstelasi yang tak nyata.
Tiba Tiba Cinta Datang
474      327     0     
Short Story
Cerita tersebut menceritakan tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang gadis manis yang suka pada bunga mawar. Lelaki itu banyak belajar tentang cinta dan segala hal dari gadis dan bunga mawar
Kuncup Hati
662      456     4     
Short Story
Darian Tristan telah menyakiti Dalicia Rasty sewaktu di sekolah menengah atas. Perasaan bersalah terus menghantui Darian hingga saat ini. Dibutuhkan keberanian tinggi untuk menemui Dalicia. Darian harus menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Ia harus mengungkapkan perasaan sesungguhnya kepada Dalicia.
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Mahar Seribu Nadhom
4949      1719     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
About love
1259      588     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...