Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ilona : My Spotted Skin
MENU
About Us  

"Apa pun kondisinya, lo harus tetep profesional." Ini salah satu nasihat yang paling Mak Mum sering minta ke semua artis di bawah manajemennya.

Selama ini, nasihat ini terasa remeh. Aku memang akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk setiap penampilanku. Aku akan tetap bersikap profesional, nggak peduli gimana kacaunya perasaanku. Aku juga sering tetap bekerja walau kondisi kesehatanku nggak terlalu bagus. Selama tubuhku masih mampu berdiri, nggak ada yang bisa menghalangiku untuk bekerja.

Selama ini, semua aman terkendali. Aku bisa melewati seluruh prosesnya dengan lancar. Aku akan lega walau susah payah berjuang.

Sayangnya, sekarang aku merasa bahwa bersikap profesional itu berat banget.

Aku mengamati tubuhku yang nyaris telanjang di cermin. Setelah seminggu, kondisi kulitku nggak membaik sama sekali, bahkan semakin parah. Kulitku tetap kering dan mengelupas di beberapa bagian. Penampakannya jadi mengerikan, seperti sisik yang terlalu rapuh.

Rasa gatalnya nggak bisa aku tahan. Di beberapa bulatan kering yang semakin membesar, ada bekas darah akibat aku terlalu kuat menggaruk. Apesnya, luka lecet ini membuat luas kulit yang meradang jadi semakin lebar. Sekarang, di perut dan punggungku juga muncul bulatan kering, putih, dan gatal.

Gimana aku bisa keluar rumah kalau wujudku jadi mengerikan begini?

Aku mengambil ponsel. Mak Mum mengingatkanku bahwa dua jam lagi aku harus datang ke Rainema. Semua pemain yang terlibat dalam film ini akan mulai berkumpul untuk membaca naskah. Kami akan bekerja sama untuk memahami cerita dan mengenal masing-masing karakter.

Mak Mum : Hari ini, lo berangkat sama Helda, ya. Gue harus ketemu sama PH lain buat deal kontrak.

Sebenarnya, aku butuh Mak Mum. Tapi, aku nggak bisa egois. Mak Mum harus mengurus banyak orang, bukan cuma aku. Jadi, aku harus puas berangkat bersama asistenku saja.

Di kondisiku ini, aku nggak yakin bertemu dengan orang lain. Tapi, aku juga nggak mungkin mangkir dari tanggung jawabku. Semua yang terlibat dalam proses produksi film Diari Gadis Buta akan berkumpul hari ini. Bang Felix sudah pasti hadir. Kalau aku nggak muncul, Bang Felix pasti marah dan kecewa. Aku nggak mungkin berbuat salah di hari pertama proses pra-produksi film ini.

Aku nggak boleh membuat kecewa orang yang sudah percaya kemampuanku. Tapi, aku juga nggak percaya diri hadir di antara banyak orang.

Aku mengoleskan losion sebanyak mungkin ke tangan dan kaki. Ini cara yang kutahu bisa sedikit meredakan kering dan rasa gatal yang mengganggu. Tapi, durasinya memang cuma sebentar banget. Aku harus sering menggunakan losion, yang tentu merepotkan banget.

Semalaman aku frustrasi memikirkan ini. Sampai satu jam sebelum waktu yang ditentukan, aku masih ragu untuk pergi. Berkali-kali, aku mengganti pakaian. Tapi, di cuaca cerah yang cenderung panas ini, pasti aneh banget kalau aku menggunakan lengan panjang. Sayangnya, aku nggak punya pilihan lain untuk menutupi bercak-bercak mengerikan di tubuhku.

"Kamu kenapa jadi sering pakai lengan panjang gitu, sih, Dek?" tanya Bunda sebelum aku berhasil kabur tanpa ketahuan, seperti biasanya.

Tubuhku membatu. Otakku berpikir keras mencari alasan yang masuk akal. Selama ini, aku berhasil menghindari bertemu Bunda. Aku nggak mau mendengar komentar dan omelan yang pasti menyakitkan.

"Tuntutan peran," jawabku asal. Sepertinya, nggak ada alasan yang lebih masuk akal dari ini.

"Bagus itu," komentar Bunda yang sama sekali nggak aku duga.

Ini salah satu dari sedikit komentar paling ramah di telingaku yang Bunda ucapkan. Kalau nggak salah, komentar menenangkan seperti ini baru aku dapatkan lagi setelah satu tahun berlalu. Waktu itu, Bunda mengungkap rasa bangganya karena ada teman sekolahnya yang menyanjung dan mengaku menjadi penggemarku.

"Kamu harus tingkatin kemampuan akting kamu biar makin dikenal banyak orang, biar kayak Dian Sastro itu lho, Dek." Seperti biasa, Bunda nggak akan pernah memujiku dengan tulus. Selalu ada tuntutan yang membuatku terus merasa gagal.

Aku memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Nggak seharusnya aku keluar rumah dengan perasaan yang buruk. Jadi, sebisa mungkin aku meredam kekecewaan yang sudah mengakar kuat di hatiku.

"Pergi dulu, Bun," pamitku sambil berjalan cepat keluar rumah.

Aku berusaha menulikan pendengaran dari ocehan Bunda. Sepertinya, aku mendapatkan peran gadis buta. Tapi, aku justru harus berlatih menjadi gadis tuli.

Sepanjang perjalanan ke gedung Rainema, aku menenangkan perasaan. Ini bukan pertama kalinya Bunda bersikap jahat. Tapi, setiap kali Bunda meremehkanku, rasanya selalu sama sakitnya.

"Ilona," panggil Allena begitu aku turun dari mobil. Dia melambaikan tangan di samping mobilnya.

Aku memaksakan membalas senyumnya dan berusaha bersikap ramah. "Sama siapa, Na?" tanyaku sambil menghampiri Allena yang posisinya lebih dekat pintu masuk. Aku senang bisa bekerja sama lagi dengannya. Tapi, saat ini aku nggak suka bertemu Allena, bahkan siapa pun.

"Sama Kak Riri, tapi lagi beliin gue kopi. Zizi sama Vikar udah di atas." Allena menggandeng tanganku. Kami melangkah bersama ke dalam gedung Rainema, sedangkan Helda mengekor di belakang. "Aku seneng banget bisa ikutan main di film ini." Seperti biasa, Allena selalu ceria. Dia sama sekali nggak mempertanyakan kenapa aku pakai baju panjang di siang yang panas banget ini.

Harusnya, aku gembira bisa bertemu lagi dengan rekan-rekan yang menyenangkan. Tapi, tetap saja rendah diriku saat ini jauh lebih besar. Aku nggak mau ada yang tahu di balik pakaianku ada kulit yang mengerikan. Mereka pasti jijik melihatnya.

"Kamu harus terlihat cantik. Dengan kecantikanmu ini, nggak ada yang akan mengejek kamu. Orang-orang cuma akan memuji. Jadi, kamu harus tetap mempertahankan penampilan terbaik." Bunda selalu mengingatkanku untuk nggak menunjukkan kondisi terburukku pada orang lain.

Aku harus terus cantik. Aku nggak boleh jelek. Kulitku harus mulus dan putih. Aku nggak boleh terlihat dekil. Wajahku nggak boleh kusam. Jerawat juga sebaiknya nggak muncul di bagian mana pun tubuhku.

Lalu, gimana kalau ada yang tahu kulitku mengelupas, bersisik, kering, dan rontok mengerikan begini?

Aku nggak siap menerima hinaan orang lain. Jadi, lebih baik aku menyembunyikan kondisi terburukku ini. Untung saja, bagian kulitku yang terbuka masih aman. Wajahku tetap mulus dan nggak ada luka sama sekali. Kecantikanku tetap terjaga. Aku masih yakin semuanya akan baik-baik saja.

Begitu masuk ruangan, aku nggak mampu menyembunyikan kekaguman. Ruangan ini biasa saja, tapi orang-orang yang hadir luar biasa. Beberapa nama hebat yang biasanya cuma aku tonton di layar kaca, sekarang ada di hadapanku. Aku berjabatan tangan dengan Naura Hakim yang tahun kemarin berhasil mendapatkan penghargaan pemeran pembantu terbaik. Sekarang, aku beruntung bisa berperan sebagai anak Naura Hakim.

Bang Felix menyambutku dengan hangat. Walau nggak ada senyuman, Bang Felix menjabat tanganku erat dan menepuk-nepuk pundakku. "Kita akan bikin film ini jadi yang terbaik," katanya dengan penuh keyakinan.

Rasa hangat yang Bang Felix salurkan, cuma sesaat. Sisanya, ada beban yang bergelantung terlalu berat di pundakku.

Bisakah aku memenuhi ekspektasi banyak orang? Gimana kalau aku gagal? Gimana kalau aku membuat kecewa semua orang? Nggak cuma Bunda yang benci sama aku, Bang Felix, Pak Rahardian, dan semua orang juga pasti muak terhadapku.

Tepat di jam sepuluh, acara dimulai. Para pemeran film duduk melingkar. Bang Felix membuka acara dengan tegas dan suntikan semangat. Harapan atas kelancaran proses produksinya terucap dari bibir semua orang.Suasananya hangat meskipun sedikit tegang saat Bang Felix berbicara.

Naskah film dibagikan. Semua orang yang ada di ruangan ini mendapat salinan naskah yang harus dibacakan secara berurutan. Masing-masing aktor dan aktris harus membacakan dialognya dan mencoba menghayati peran. Bang Felix dan timnya memberikan banyak arahan agar karakter kami bisa lebih kuat.

Memang nggak ada yang sempurna di hari pertama. Tapi, kami semua mencoba melakukan yang terbaik, ... kecuali aku.

Gatal di sekujur tubuhku mengganggu banget. Tanganku nggak bisa berhenti menggaruk di berbagai titik. Fokusku terpecah. Berkali-kali, aku kesulitan memahami maksud dialogku sendiri.

"Ilona," panggil Bang Felix tegas. Suara kencangnya menggema di dalam ruangan. Tatapannya tajam ke arahku. Seketika, suasana hening dan berubah tegang. "Fokus! Lo nggak akan pernah bisa jadi Arum kalau kayak gini terus. Jangan cuma baca kayak anak SD! Mana penampilan terbaik lo di audisi kemarin? Jangan mentang-mentang udah tanda tangan kontrak, lo bisa seenaknya."

Aku menunduk dalam. Di hadapan banyak orang, aku melakukan kesalahan dan mendapatkan teguran dengan keras. Sepertinya, Bunda benar. Aku nggak pernah bisa melakukan apa pun dengan baik. Aku selalu gagal. Aku jago membuat orang kecewa.

Aku juga kecewa dengan diriku sendiri. Aku benci kulitku yang mengerikan. Aku nggak suka rasa gatal yang nggak pernah hilang ini. Aku marah pada diri sendiri karena nggak bisa bersikap profesional.

Lagi-lagi, aku nggak bisa tidur. Aku melangkah bolak-balik dengan naskah di tangan kanan. Sesekali, aku memejamkan mata dan tetap sambil berjalan memutari kamarku yang nggak terlalu luas. Aku mencoba membaca naskah untuk memahami dan mendalami karakter Arum. Tapi, pikiranku nggak pernah mau tenang. Ada banyak ketakutan yang muncul dan berhasil mengacaukan konsentrasiku. Rasa gatal yang datang bergantian, bahkan kadang serentak, di kulitku juga menambah kacau pikiranku.

Aku mengempaskan tubuh ke kasur. Tanganku menggaruk perut. Rontokan kulit mengotori lantai, seperti potongan kertas yang berhamburan. Pandanganku tertuju ke langit-langit yang kosong. Cuma ada putih di sana, yang sama sekali nggak menenangkanku.

Aku meraih ponsel, lalu mengirimkan pesan untuk Zahier. Aku butuh membagi keresahan dengan Zahier. Dia pasti bisa menanangkanku.

Aku : Sayang udah tidur? Aku nggak bisa tidur. Isi kepalaku kusut banget.

Sayangnya, setelah satu jam, pesanku nggak mendapatkan balasan. Ini sudah jam dua pagi. Zahier pasti sudah tidur. Memangnya, aku berharap apa? Ini waktunya orang tidur. Harusnya, aku juga tidur. Tapi, aku nggak ngantuk sama sekali.

Samar-samar, aku mendengar azan saat kantuk mulai menguasaiku. Mataku perlahan memejam dengan harapan semuanya akan jadi baik-baik saja setelah tidurku. Sayangnya, harapanku nggak pernah terwujud.

Kulitku bertambah hancur. Nggak cuma tangan dan kaki, perut juga punggung, sekarang wajahku juga mulai mendapatkan serangan. Bulatan kecil itu muncul di atas alis kiri. Ukurannya cuma sebesar biji semangka. Tapi, aku tahu besarnya akan melebar dalam waktu singkat.

Aku berteriak di dalam kamar mandi. Tangisku lepas dan kencang. Aku nggak punya energi lagi untuk meredam emosiku.

"Dek," panggil Bunda sambil menggedor pintu kamar mandi.

Aku terus  berteriak, meraung sekencangnya. Di depanku ada wajah yang selama ini aku banggakan kecantikannya. Ini satu-satunya yang bisa membuat Ayah dan Bunda nggak malu punya anak aku. Tapi, sekarang wajahku rusak.

Aku nggak punya senjata lagi untuk membuat prestasi. Aku nggak punya apa-apa lagi untuk membanggakan orang tuaku. Untuk kesekian kalinya, aku gagal membuat Ayah dan Bunda bangga.

Tanpa wajah cantikku, aku bisa apa?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Sebatas Doa
607      426     0     
Short Story
Fero sakit. Dia meminta Jeannita untuk tidak menemuinya lagi sejak itu. Sementara Jeannita justru menjadi pengecut untuk menemui laki-laki itu dan membiarkan seluruh sekolah mengisukan hubungan mereka tidak lagi sedekat dulu. Padahal tidak. Cukup tunggu saja apa yang mungkin dilakukan Jeannita untuk membuktikannya.
Survive in another city
127      106     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Alzaki
2133      876     0     
Romance
Erza Alzaki, pemuda tampan yang harus menerima kenyataan karena telah kejadian yang terduga. Di mana keluarganya yang hari itu dirinya menghadiri acara ulang tahun di kampus. Keluarganya meninggal dan di hari itu pula dirinya diusir oleh tantenya sendiri karena hak sebenarnya ia punya diambil secara paksa dan harus menanggung beban hidup seorang diri. Memutuskan untuk minggat. Di balik itu semua,...
Dibawah Langit Senja
1607      943     6     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.
Dream
618      453     5     
Short Story
1 mimpi dialami oleh 2 orang yang berbeda? Kalau mereka dipertemukan bagaimana ya?
Titisan Iblis
283      226     0     
Romance
Jika suatu saat aku mati, aku hanya ingin bersamamu, Ali .... Jangan pernah pergi meninggalkanku..... "Layla "
Altitude : 2.958 AMSL
719      491     0     
Short Story
Seseorang pernah berkata padanya bahwa ketinggian adalah tempat terbaik untuk jatuh cinta. Namun, berhati-hatilah. Ketinggian juga suka bercanda.
Waktu Itu, Di Bawah Sinar Rembulan yang Sama
842      486     4     
Romance
-||Undetermined : Divine Ascension||- Pada sebuah dunia yang terdominasi oleh android, robot robot yang menyerupai manusia, tumbuhlah dua faksi besar yang bernama Artificial Creationists(ArC) dan Tellus Vasator(TeV) yang sama sama berperang memperebutkan dunia untuk memenuhi tujuannya. Konflik dua faksi tersebut masih berlangsung setelah bertahun tahun lamanya. Saat ini pertempuran pertempuran m...
November Night
381      272     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
Penantian Panjang Gadis Gila
280      217     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.