Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menjadi Aku
MENU
About Us  

Pagi itu, rumah keluarga Kathlea terasa lebih dingin dari biasanya.

Bukan karena cuaca, melainkan karena suasana yang menegang di antara dua saudara kembar yang akhir-akhir ini selalu diwarnai konflik—Kathlea dan Kathleen.

Sejak seminggu terakhir, mereka nyaris tak bicara. Bahkan ketika berada di meja makan yang sama, tak ada satu pun dari mereka yang memulai percakapan.

Kathlea menyuapkan sereal dingin ke mulutnya, tatapannya lurus ke mangkuk. Di seberangnya, Kathleen hanya duduk menunduk, memainkan sendok tanpa selera.

“Girls,” suara Mommy akhirnya memecah keheningan, “Mommy tahu kalian sedang ada masalah. Tapi sampai kapan kalian begini terus?”

Tak ada jawaban.

Mommy melanjutkan dengan nada lebih lembut, “Kathlea, Mommy harap kamu bisa sedikit mengalah. Coba ajak Kathleen bicara, minta maaf duluan.”

Kathlea mengangkat wajahnya. “Mom, aku yang harus mengalah? Lagi? Padahal dia yang bikin masalah. Dia yang bentak aku, dan dia juga yang—” suaranya tercekat.

“Sayang, Mommy tahu kamu marah, tapi… bisa tidak hari ini kamu yang lebih dulu sapa Kathleen? Mommy mohon, ya?”

Kathleen menegakkan kepalanya setelah sedari tadi menunduk, “Sudah Aleen kata, Lea memang keras kepala, Mom.”

“Aleen, Lea.. Mommy tahu kalian sedang sama-sama keras kepala. Tapi Kathleen sudah mengaku salah. Sekarang tinggal kamu,” bujuk Mommy saat sarapan.

Kathlea menatap sereal di piringnya tanpa selera. “Mommy, aku gak bisa pura-pura baik-baik aja. Kathleen yang mulai. Dan dia tahu apa yang dia katakan itu nyakitin aku.”

“Tapi kalian saudara, Kathlea...”

“Justru karena saudara. Aku gak mau hubungan kita palsu.” Ucap Kathlea dengan nada suaranya yang tidak meninggi, tapi cukup jelas untuk menunjukkan bahwa luka itu masih terasa segar.

Mommy mendesah. “Lea.. Mommy sudah bicara sama Kathleen, atas apa yang dia lakukan kemarin. Tapi kalian gak bisa diam-diaman terus, kan? Tidak baik saudara kembar selalu bertengkar.”

Kathlea menghela napas dalam. Ia berdiri dari kursinya, merapikan seragam Elvoreign-nya.

“Mommy, aku memang saudara kembar Kathleen. Tapi aku juga punya batas. Aku gak bisa pura-pura memulai duluan setelah dia seperti itu.”

“Kamu tahu Kathleen cuma lagi emosi waktu itu, mungkin dia sedang lelah...”

“Cukup Mom, sabarku sudah melebihi habis.”

Mommy terdiam.

Kathlea mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sedikit.

“Kalau Kathleen mau bicara baik-baik, aku akan jawab baik-baik. Tapi untuk sekarang, aku gak akan pura-pura memulai duluan, Mommy.”

Dan dengan itu, ia melangkah keluar rumah, membiarkan embusan angin pagi menyambutnya, membawa perasaan campur aduk yang belum selesai diproses. Ia tahu hari ini adalah hari besar untuk Shanum, sahabatnya. Maka, ia berniat menyimpan semua luka itu di balik senyuman.

Setidaknya... untuk hari ini.

Sedangkan, di Elvoreign High School, suasana begitu meriah.

Lobi utama dipenuhi siswa yang berkumpul di depan mading besar dan media sosial resmi Elvoreign High school Di sana terpampang pengumuman besar:

"Selamat kepada Shanum Aleyra – Juara 1 Lomba Seni Lukis dengan tema 'Wajah Kota Melalui Mata Remaja'"

Senyum Shanum terpampang dalam poster, memegang piagam dengan ekspresi penuh kemenangan.

Pujian berdatangan. Dari guru, siswa lain, dan media sosial resmi Elvoreign. Komentar membanjiri unggahan tentang kemenangan Shanum di media sosial, dan para siswa membicarakannya dengan antusias, meskipun tak seluruh siswa bangga. Adapun yang menganggap hal itu biasa dan tidak penting.

Namun, satu pertanyaan terus bergema:

“Di mana Shanum?”

Kathlea gelisah saat sampai di sekolah, ia mendapati kursi Shanum kosong. Bahkan tas sekolah nya pun tidak ada, biasanya gadis itu sudah berada di sekolah sebelum Kathlea tiba.

Sudah beberapa kali ia menghubungi Shanum tapi tak mendapat balasan. Handphone-nya tidak aktif. Tak biasanya Shanum menghilang saat momen penting seperti ini.

“Hey... Kathlea.”

Kathlea menoleh. Di depannya berdiri Yazlyn.

Gadis itu tampak menawan seperti biasa, dengan senyum tenang dan rambut dikuncir sederhana. Bahkan seragam sekolah pun tak mampu menyembunyikan auranya yang mencuri perhatian.

Beberapa siswa yang lewat menyapanya penuh kekaguman.

“Gila, Yazlyn makin glowing aja!”

“Kamu lihat gak, dia masuk Teenlit Mag bulan ini? Mukanya di cover, lho!”

“Aku denger-denger Yazlyn bakal jadi duta sekolah, keren banget gak sih?”

Kathlea menelan ludah. Ia menarik napas panjang, mencoba menutupi rasa kecil yang tiba-tiba menghantam dadanya.

“Kamu sendirian?” tanya Yazlyn ringan.

“Iya. Lagi nyari Shanum, tapi... dia gak masuk. Handphone-nya juga gak aktif.”

“Loh? Kirain dia udah ada di sekolah. By the way Lukisannya keren banget, ya?"

“Iya. Tapi justru itu yang bikin aku khawatir. Dia gak biasa kayak gini.”

“Kamu udah tanya teman-temannya yang ikut lomba juga?”

“Belum, duh... iya ya. Mungkin Amel tahu. Aku cari Amel dulu di ruang seni," pamit Kathlea.

“Eh, Aku ikut Lea.” Seru Yazlyn, dan mereka pun berjalan menuju ruang seni.

Dalam perjalanan, Kathlea sadar betapa kontras penampilan mereka. Dirinya yang bertubuh besar dan tidak modis berjalan di samping Yazlyn, si gadis cover majalah remaja.

Pandangan beberapa siswa menyapu mereka berdua. Ada yang berbisik.

"Kenapa sih Kathlea jalan sama Yazlyn? Berarti benar dong mereka berteman dekat?”

“Ih, aneh banget gak sih.”

Kathlea mencoba tak peduli. Tapi hatinya mencubit perih.

Untuk mencairkan suasana, ia berkata pelan, “Ngomong-ngomong... selamat, ya. Aku lihat kamu di Teenlit Magazine. Kamu keren banget.”

Yazlyn sempat kaget. “Oh... makasih, ya. Aku juga gak nyangka.”

Belum lama berbincang, mereka akhirnya tiba di ruang seni. Tanpa menunggu lama, Kathlea langsung bertanya kepada Amel.

Amel menjawab bahwa Shanum tidak masuk karena ayahnya sakit dan harus dirawat di rumah sakit sejak subuh tadi.

Kathlea langsung mengambil ponsel dan mencoba kembali mengirim pesan, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel.

Suara itu bukan berasa dari Kathlea, melainkan dari ponsel Yazlyn, gadis jangkung itupun terpaksa meninggalkan Kathlea untuk menerima panggilan telepon yang sedari tadi tak berhenti berdering.

Kathlea berniat kembali ke kelasnya, namun langkahnya terhenti saat Amel tiba-tiba menatap ke lorong lain.

“Lea... itu...”

Kathlea mengikuti arah pandang Amel.

Kelompok The Girls, termasuk Kathleen, berdiri di ujung lorong, menatap Kathlea dengan senyum menyeringai. Kathleen memberi kode. Fabianca dan Rosela menghampiri Kathlea.

“Kathleen mau ngomong, ikut dulu. Cuma sebentar.”

Yazlyn hendak menyela, Fabianca  berkata cepat, “Tenang kok, gak apa-apa. Cuma mau ngobrol doang.”

Kathlea mengangguk ragu. Ia mengikuti mereka menuju salah satu ruang kelas kosong. Begitu pintu ditutup, wajah-wajah di dalam ruangan berubah sinis.

Kathleen berdiri paling depan. Wajahnya dingin.

“Jadi kamu pikir kamu paling benar? Gak mau minta maaf ya?”

Kathlea menghela napas. “Aku gak mau mulai kalau kamu gak sungguh-sungguh.”

Ghianetta tertawa mengejek. “Tuh dengerin, Kat. Emang dari dulu dia sok suci.”

Kathleen perlahan melangkah mendekat.

“Gara-gara kamu, Daddy marahin aku habis-habisan. Kamu pikir cuma kamu yang boleh sakit hati? Aku juga! Kamu bikin aku malu di depan Yazlyn waktu acara sosialita! Kamu pikir kamu bisa jadi korban terus? Enggak, Lea.”

Sebelum Kathlea sempat membalas, Rosela mendorongnya pelan. “Kamu tuh gak cocok main sama Yazlyn. Ngaca deh, tubuh kamu kayak apa?”

Kathlea terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Kamu tahu kenapa gak ada yang mau duduk sama kamu di kantin? Karena kamu gak pantes!” celetuk yang Fabianca.

Kathleen hanya diam, tapi jelas ia menikmati balas dendam kecil ini.

Kathlea menggigit bibir bawahnya dengan tangannya yang mengepal.

“Sudah? Kalau kalian puas, boleh aku pergi?” suaranya lirih, tapi tegas.

Tak ada jawaban.

Kathlea berniat pergi tanpa persetujuan mereka. Namun sebelum berhasil keluar, Kathlea terhenti karena mendengar suara Kathleen, "ingat ya Kathlea, walaupun kita kembar tapi aku tidak akan mengakuimu sebagai adik mu disini."

Tiba-tiba dari belakang seseorang mendorong nya, entah siapa yang membuat Kathlea tersungkur jatuh ke lantai.

Kaki nya terasa sakit tapi Kathleen malah tertawa paling kencang bergema di sepi nya ruangan itu.

Hari ini memang bukan hari baik. Ketika dia dikelilingi teman yang selalu mendapat pujian, dia masih di uji oleh hal-hal menyakitkan seperti ini.

Yazlyn berlari-lari kecil menyusuri lorong sekolah. Nafasnya memburu dan terengah. Beberapa siswa yang berpapasan dengannya hanya menoleh penasaran, sebagian lagi hanya menunduk dan berlalu begitu saja.

Beberapa menit yang lalu, ia baru saja meminta izin dari Kathlea untuk menerima panggilan telepon yang ternyata dari ibunya. Hanya sebentar. Tapi begitu ia kembali ke depan ruang seni… Kathlea sudah tidak ada.

"Kathlea?" Yazlyn memanggil lirih, menengok ke kanan dan kiri lorong yang kini mulai sepi. Perasaannya tidak enak sejak tadi.

Ia sempat bertanya ke beberapa siswa yang berada di sekitar, tapi tak ada yang tahu di mana Kathlea. Lalu, nalurinya membawanya ke satu tempat yang cukup asing: lantai dua gedung sebelah timur, deretan kelas kosong yang sudah jarang dipakai.

Langkah Yazlyn melambat. Terdengar suara gaduh. Bisikan… dan tawa. Tawa yang tajam. Lalu—suara bentakan.

“Jangan sok suci kamu, Lea!”

Itu… suara Kathleen?

Tanpa pikir panjang, Yazlyn mendekat dan mendorong pintu kelas kosong itu terbuka. Pemandangan di depannya membuat darahnya mendidih.

Kathlea terduduk di lantai, rambutnya sedikit berantakan, tasnya terlempar ke sudut ruangan. Wajahnya pucat, dan di sekelilingnya berdiri "the girls"—kelompok gadis-gadis yang katanya paling berkuasa di Elvoreign. Di antaranya berdiri Kathleen, si kembarannya sendiri.

“APA INI?!” suara Yazlyn menggema memenuhi ruangan.

Semua orang terkejut. Beberapa dari "the girls" langsung mundur. Kathleen menoleh tajam.

“Ini bukan urusanmu, Yazlyn,” katanya datar, meski matanya menunjukkan kilatan emosi yang tak stabil.

“Ini urusanku kalau kalian menyakiti orang lain,” jawab Yazlyn dengan suara bergetar karena marah. Ia langsung berjalan cepat ke arah Kathlea dan membantu gadis itu berdiri. “Lea, kamu gak apa-apa?”

Kathlea menggeleng pelan. Matanya berkaca-kaca. Tangannya sedikit gemetar saat menerima bantuan Yazlyn.

“Tolong bawa aku pergi Yaz..” bisiknya.

Yazlyn menatap Kathleen tajam. “Kamu saudaranya, Kathleen. Tapi kamu tega seperti ini?”

Kathleen membalas tatapan itu. Ada dendam di sorot matanya. “Karena dia juga gak pernah mikirin aku! Gara-gara dia aku dimarahi Daddy, gara-gara dia aku jadi bahan omongan ibu-ibu sosialita setelah kamu bela dia waktu itu. Dan sekarang, dia bahkan gak bisa minta maaf! Jadi kamu, jangan ikut campur!”

“Kathlea yang tersakiti bukan kamu Kathleen," Kata Yazlyn pelan, suaranya menekan emosi yang meluap. “Tapi kamu memilih balas dendam? Apa perasaanmu sebagai kakak memperlakukan adik kembarmu seperti ini? Kamu dan Kathlea sudah bersama bahkan saat masih dalam kandungan.”

Hening sesaat. Kathleen seperti terpojok, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui.

Yazlyn melangkah mundur, mengajak Kathlea keluar dari kelas itu. “Ayo, Kath. Kita gak perlu ada di tempat seperti ini.”

Saat mereka berjalan keluar, Yazlyn meraih tangan Kathlea erat, memberikan sedikit kekuatan melalui genggaman hangat itu.

Begitu pintu tertutup di belakang mereka, barulah tangis Kathlea pecah.

“Aku… aku capek, Yaz,” ucapnya lirih.

Yazlyn memeluknya. Erat. Tanpa berkata-kata.

Dan di lorong yang sepi itu, dua gadis yang berbeda dunia—si populer dan si tidak populer—berdiri saling menguatkan. Salah satunya patah dan diuji, satunya lagi menjadi penopang yang selalu dipuji. Dunia memang kejam tapi hidup harus tetap berjalan, kan?

Masih dengan tangan yang saling menggenggam, Yazlyn menggiring Kathlea menyusuri lorong. Langkah mereka pelan, namun pasti. Beberapa siswa memperhatikan keduanya, membisikkan sesuatu—namun Yazlyn tak peduli.

Begitu sampai di depan ruang UKS, Yazlyn mengetuk pintu pelan. Seorang ibu berjilbab dengan seragam putih membuka pintu dan langsung mempersilakan mereka masuk.

“Dia terluka?” tanya Bu Nisa, petugas UKS.

“Tidak berdarah, Bu… tapi kayaknya syok dan mungkin keseleo. Bisa tolong bantu lihat?”

Bu Nisa mengangguk dan segera membantu Kathlea duduk di ranjang UKS. Yazlyn melepas tas Kathlea, membantunya rebahan perlahan.

“Terima kasih,” bisik Kathlea lirih. Pandangannya masih kosong.

Yazlyn duduk di bangku kecil di samping ranjang. Tangannya tak lepas dari lengan Kathlea.

Bu Nisa memeriksa pergelangan tangan Kathlea dan sedikit mengoleskan balsem ringan. “Hanya memar sedikit. Saya tinggal ambil air hangat dulu ya.”

Begitu Bu Nisa keluar, Yazlyn menatap Kathlea lekat-lekat.

“Lea… kenapa kamu gak bilang? Kenapa kamu tahan semua ini sendirian?”

Kathlea mengalihkan pandangan ke langit-langit, matanya berkaca-kaca lagi.

“Aku takut dikira lemah. Takut dianggap cari perhatian. Semua orang selalu bilang aku tidak bisa ‘tampil sempurna’ seperti kakak kembarku sendiri…  Aku bahkan gak tahu siapa aku di rumahku sendiri.”

Yazlyn mendengarkan dengan hati yang ikut tercekat. Ia tahu perasaan kehilangan arah itu… perasaan menjadi asing di tempat yang seharusnya terasa aman.

“Di rumah, aku gak bisa nangis. Gak bisa cerita. Cuma Shanum yang selalu menjadi tempat cerita hal-hal apa yang lagi aku rasa.”

Yazlyn menunduk, mengelus tangan Kathlea pelan.

“Aku tahu, kamu dan shanum.. tidak harus merasakan ini di sekolah," katanya lembut. “Kalau kamu capek… istirahat. Kalau kamu takut, aku akan ada di sini. Kamu gak harus pura-pura kuat di depanku.”

Air mata Kathlea akhirnya jatuh. Tapi kali ini, ia tidak buru-buru menyekanya. Ia membiarkannya mengalir, sambil terus menggenggam tangan Yazlyn.

“Terima kasih, Yaz.”

Suasana menjadi hening. Hangat. Damai. Dan di dalam ruangan UKS yang sunyi, untuk pertama kalinya Kathlea bisa bernapas lega. Bukan karena tak ada rasa sakit… tapi karena akhirnya, ada seseorang yang melihatnya selain Shanum… bukan sebagai ‘Bayangan Kathleen,’ tapi sebagai Kathlea—gadis yang rapuh, terluka, dan sedang mencoba bertahan.

---

Sementara itu di lain tempat di sebuah ruangan sunyi. Hanya suara mesin monitor yang konsisten memecah keheningan:

beep... beep... beep...

Suara napas berat dan lemah terdengar dari bapak Shanum, terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pasien. Selang infus tergantung rapi, menetes perlahan. Di sudut ruangan, Shanum duduk diam. Tangannya menggenggam erat tas sekolah yang belum sempat dibuka sejak pagi. Matanya kosong, sembab, menahan banyak hal sekaligus. Dia seharusnya ada di sekolah hari ini.

Seharusnya...

...menerima ucapan selamat.

...berfoto bersama kepala sekolah.

...menjadi bintang di tengah euforia sekolah atas kemenangannya dalam lomba seni lukis antar sekolah.

Tapi kenyataan tak memberinya ruang untuk bersuka cita hari ini.

Shanum memandangi bapaknya dari jauh. Tangan bapaknya dingin saat disentuh pagi tadi. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah.

Shanum merogoh ponsel dari saku jaketnya. Dengan jempol yang bergetar, ia mulai mengetik pesan kepada gurunya.

Selamat pagi, Miss. Maafkan saya... Saya tidak bisa hadir ke sekolah hari ini. Bapak saya harus dirawat inap sejak tadi malam. Saya menemani beliau di rumah sakit. Mohon maaf belum sempat memberi kabar lebih awal.

Ia menekan tombol kirim, lalu menarik napas panjang. Namun justru napas itu pecah menjadi isak kecil. Tangisnya tak menggelegar, hanya samar—seperti hujan yang turun diam-diam. Tapi hati Shanum sesak. Dari tasnya, terselip piagam kemenangan. Ia tidak ingin melihatnya. Belum hari ini.

Prestasi itu terasa tidak penting, jika dibandingkan dengan bapaknya yang terbaring diam, tak berkata apa-apa.

Menggenggam tangan dingin bapak, shanum jadi ingat masa kecil dulu..

Saat itu shanum berumur 5 tahun, Shanum kecil, sedang mencoret-coret tembok rumah dengan krayon warna-warni. Gambar matahari, rumah, dan bunga—semuanya berantakan, tapi penuh semangat.

Ibu begitu panik.

“Shanum! Ya ampun, itu tembok!”

Tapi bapa yang datang dari belakang, hanya tersenyum melihat tembok itu.

“Biarkan, Bu. Siapa tahu... nanti dia jadi pelukis besar.”

“Lihat ekspresinya tuh. Nggak semua anak bisa cerita pakai gambar.”

Bapak lalu berjongkok, malah menyodorkan krayon tambahan.

 “Ini warna biru, untuk langitnya. Tambah awan di sini, sayang...”

Shanum kecil tertawa riang saat itu. Ia tak tahu bahwa dukungan kecil itu akan membentuk hidupnya.

Bahwa tembok yang kotor hari itu menjadi langkah pertama dari mimpinya.

Shanum menutup mata. Air matanya menetes perlahan. Ia menatap ayahnya, lalu berbisik sangat pelan.

 “Pak... Shanum menang, Pak. Tapi... rasanya hampa. Gak ada artinya kalau Bapak gak ada buat lihat...”

Pintu kamar terbuka perlahan. Ibunya masuk, membawa tas plastik berisi botol air dan amplop cokelat kecil. Wajahnya letih, napasnya tersengal.

“Ibu tadi ke tetangga... minjem sisa kekurangannya. Baru cukup buat rawat inap dua hari ke depan.”

Shanum menoleh. “Maaf, Bu... Shanum gak bisa bantu apa-apa…”

Ibunya mendekat dan memeluk Shanum dari samping.

“Kamu udah bantu banyak. Lihat? Bapak pasti bangga... Kamu anak hebat.”

Ponsel Shanum kembali berbunyi. Notifikasi masuk dari Miss Anna.

Miss Anna:

Terima kasih sudah memberi kabar, sayang. Sekolah bangga padamu. Tapi yang lebih penting sekarang: jaga bapak baik-baik. Kamu bukan cuma pelukis hebat, tapi juga anak luar biasa.

Shanum tersenyum samar. Matanya masih basah, tapi ada sedikit kehangatan di baliknya. Ia menatap piagam itu dalam diam... lalu kembali menatap ayahnya.

“Pak... Aku akan terus lukis mimpi kita. Tapi tolong... bangun ya.”

---

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Perjalanan Tanpa Peta
51      46     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Mana of love
231      163     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...
The Unbreakable Love
41      40     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
Merayakan Apa Adanya
391      284     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
ALMOND
1070      616     1     
Fan Fiction
"Kamu tahu kenapa aku suka almond?" Anara Azalea menikmati potongan kacang almond ditangannya. "Almond itu bagian penting dalam tubuh kita. Bukan kacang almondnya, tapi bagian di otak kita yang berbentuk mirip almond." lanjut Nara. "itu amygdala, Ra." Ucap Cio. "Aku lebih suka panggilnya Almond." Nara tersenyum. "Biar aku bisa inget kalau Almond adalah rasa yang paling aku suka di dunia." Nara ...
Anak Magang
118      110     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
Behind Friendship
4585      1327     9     
Romance
Lo harus siap kalau rasa sahabat ini bermetamorfosis jadi cinta. "Kalau gue cinta sama lo? Gue salah? Mencintai seseorang itu kan hak masing masing orang. Termasuk gue yang sekarang cinta sama lo," Tiga cowok most wanted dan dua cewek receh yang tergabung dalam sebuah squad bernama Squad Delight. Sudah menjadi hal biasa jika kakak kelas atau teman seangkatannya meminta nomor pon...
Da Capo al Fine
273      231     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Kainga
1137      669     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Let Me be a Star for You During the Day
956      500     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...