Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menjadi Aku
MENU
About Us  

Hari-hari Shanum di Elvoreign High School berjalan tidak seburuk yang ia bayangkan. Di ruang kelas, setidaknya, ia bisa bernapas lega. Pelajaran demi pelajaran ia ikuti dengan cepat. Ia bahkan menjadi siswa paling menonjol karena selalu mampu menjawab pertanyaan dari guru dengan tepat.

Beberapa kali, guru-guru memujinya secara terbuka—sesuatu yang membuat Shanum malu, tapi diam-diam bersyukur. Setidaknya, di kelas, ia bisa merasa aman.

Meski tidak semua teman sekelas menyambutnya hangat, mereka tak juga menatapnya sinis seperti di hari pertama. Beberapa tampak cuek, tapi ada juga yang mulai menyapanya.

Itu cukup untuk membuat Shanum merasa bahwa dirinya tidak sepenuhnya tak terlihat. Namun, rasa nyaman itu hanya terbatas di dalam kelas. Begitu keluar dari pintu itu, semuanya berubah.

Di luar kelas, Shanum mulai merasakan tekanan yang sesungguhnya. Meski kini ia mengenakan seragam yang sama, kehadirannya tetap mencolok—terutama karena hijab yang ia kenakan.

Ia tidak sendiri, memang, ada beberapa siswi lain yang berhijab, namun tetap saja, penampilan mungilnya menjadi bahan ejekan yang menyakitkan.

“Hei, lihat deh, anak SD nyasar,” ucap seorang siswa pria di koridor, disambut tawa beberapa temannya.

“Dia tuh tinggi atau nama doang? 148 cm, serius?” tambah yang lain sambil menunduk-nunduk mengejek.

Shanum menunduk, pura-pura tidak mendengar. Ia sudah hafal strategi itu sejak SMP. Tapi tetap saja, hatinya seperti diremas setiap kali ejekan itu datang. Ia merasa seperti kelinci kecil yang tersesat di antara jerapah-jerapah tinggi—tak berdaya dan mudah diinjak.

Yang lebih menyakitkan bukan hanya ejekan soal fisiknya, melainkan juga ketika status keluarganya mulai dibahas. Entah dari mana para siswa itu mengetahui tentang keluarganya, tapi kabar itu cepat menyebar di kalangan mereka yang haus akan topik untuk dijadikan bahan cemoohan.

“Katanya bokapnya tukang ojek online, ya?” celetuk seseorang di lorong.

“Ibuknya nyuci baju, kan? Aduh, pantes... vibe-nya beda,” ujar gadis lain sambil terkikik di belakangnya.

Shanum berpura-pura fokus pada buku di tangannya, tapi suaranya tercekat. Ada rasa panas yang mengendap di dada. Ia mulai mempertanyakan, apakah memang salah menjadi anak dari keluarga biasa? Mengapa Elvoreign yang katanya menjunjung tinggi prestasi justru menjadi tempat paling mematikan untuk harga diri?

 

---

 

Saat istirahat, Shanum memilih ke perpustakaan. Di sana, ia merasa seperti menemukan tempat berlindung. Sunyi, tenang, dan jauh dari tatapan menghakimi. Ia mengambil sebuah novel fiksi dan duduk di sudut ruangan, mencoba melarikan diri ke dunia lain. Namun rasa lapar akhirnya memaksanya keluar dari persembunyian.

Kantin masih cukup ramai, tapi tidak sepadat saat bel baru berbunyi. Ia mengambil makanan sederhana dan memilih duduk di sudut dekat jendela, berharap tidak ada yang menyadarinya. Tapi harapannya pupus saat seorang siswi dengan blazer rapi dan penampilan mencolok datang menghampiri.

Name tag di dadanya bertuliskan Rosela.

“Boleh duduk sini?” tanyanya tanpa senyum.

Shanum hanya mengangguk pelan. Rosela langsung duduk dan menatapnya tajam, seperti sedang menilai harga barang murah.

“Nama kamu siapa?”

“Shanum,” jawabnya lirih.

“Tinggal di mana?”

“Di... pinggiran kota,” jawab Shanum, merasa detak jantungnya mulai tak teratur.

“Bapak kamu kerja apa?”

“Ojek online.”

“Ibu?”

“Buruh cuci.”

Rosela terdiam sejenak, lalu tertawa—tajam dan nyaring. “Serius? Kamu nggak malu masuk sini dengan latar belakang kayak gitu?”

Belum sempat Shanum menjawab, tiga gadis lain datang bergabung. Di name tag mereka tertulis: Ghianetta, Fabianca, dan Kathleen. Saat melihat Kathleen, hati Shanum berdesir. Ia masih ingat perempuan itu, yang memarahi Kathlea—kembarannya. Shanum belum bertemu lagi dengan Kathlea sejak hari itu. Ia ingin bertanya di mana gadis itu sekarang, tapi lidahnya kelu.

Obrolan di meja berubah menjadi interogasi yang menusuk.

“Sepatu kamu beli di mana? Murah ya?” tanya Fabianca.

“Kamu nggak malu ya duduk di sini? Ini kan area anak-anak ‘atas’,” sindir Ghianetta.

Shanum menggenggam garpunya erat. Ia ingin menjawab, tapi semua kata yang ada di pikirannya seolah hilang ditelan rasa takut. Napasnya sesak. Ia tak bisa menahan suara batinnya sendiri.

"Kenapa mereka sebegitu tega? Apa salahku jadi anak dari keluarga sederhana? Aku belajar keras, aku ingin masa depan yang layak. Tapi kenapa latar belakang keluargaku jadi alasan mereka merendahkanku?" Bisik shanum di dalam hati.

Ia ingin menangis. Tapi ia tahu, itu hanya akan membuat mereka lebih senang.

Tiba-tiba, suara gemericik air terdengar. Segelas air mineral tumpah dan mengenai rok Rosela.

“Astaga!” pekiknya.

Namun Rosela tidak jadi mengamuk. Begitu melihat siapa yang menumpahkan, ekspresinya berubah. Lembut. Bahkan canggung.

“Sorry, Rosela... aku nggak sengaja,” ujar gadis berwajah cantik yang kini berdiri di samping mereka. Namanya Yazlyn. Shanum tahu, karena nama itu sering disebut-sebut di kelas, apalagi oleh para siswa laki-laki yang tampaknya sangat mengidolakannya.

Rosela hanya tersenyum kikuk. “Gak apa-apa kok…”

Tak lama, Rosela dan ketiga temannya pergi ke toilet. Shanum menyandarkan punggungnya ke dinding, mencoba bernapas. Yazlyn menatapnya singkat.

“Maaf ya kalau aku ganggu,” ucap Yazlyn pelan, lalu berlalu begitu saja tanpa bergabung.

Shanum mematung. Dalam hati ia berterima kasih. Bukan karena Yazlyn menyelamatkannya, tapi karena ia bisa menghabiskan makanannya dengan tenang.

Tapi setelah Yazlyn pergi, perasaan itu kembali menyerang. Shanum tahu, tak mungkin Yazlyn—gadis populer dan rupawan—mau duduk bersamanya. Berteman saja mungkin tak akan pernah terjadi. Ia hanyalah Shanum. Bukan siapa-siapa.

Saat kembali ke kelas, pikirannya dipenuhi suara-suara ejekan yang terus menghantui.

Anak ojek. Buruh cuci. Mungil. Tak pantas di Elvoreign.

Tangannya mengepal. Ada amarah, ada luka. Tapi di atas semua itu, ada tekad yang perlahan tumbuh. Jika semua orang menilainya dari apa yang keluarganya miliki, maka ia akan buktikan bahwa ia mampu berdiri dengan prestasi. Bahwa menjadi rendah bukan berarti hina. 

Dan Shanum pun kembali pada dunianya. Dunia sepi. Dunia diam. Dunia yang tak pernah ramah.

 

---

 

Malam hari, setelah lelah bergelut dengan pelajaran dan ejekan yang menyesakkan, Shanum sudah berada di rumah sederhananya. Ibunya sedang melipat pakaian di dalam rumah karena besok harus diantarkan kepada si pemilik.

Ayahnya belum pulang—masih menarik penumpang, seperti biasa. Bau deterjen dan tanah basah menyambutnya. Sederhana, tapi hangat. Shanum duduk di atas kasur tipis di kamar kecil mereka.

Ia memandangi layar ponselnya. Tidak ada pesan, tidak ada notifikasi. Hanya dirinya sendiri yang terus bercakap dengan isi kepalanya.

“Apa aku harus pindah sekolah? Apa aku cukup kuat untuk bertahan?”

Air matanya jatuh, meski ia mencoba menahannya. Ia benci menangis. Ia ingin jadi kuat. Tapi hari ini terasa terlalu berat.

“Um...” suara ibunya terdengar lembut dari balik tirai. “Tadi Ibu ke pasar, ketemu Bu Darmi. Katanya anaknya juga masuk SMA, tapi sekolah negeri. Kamu betah di tempatmu sekarang, Nak?”

Shanum terdiam. Ia ingin menjawab tidak. Tapi ia tahu betul ayah dan ibunya bangga melihat Shanum dapat masuk ke sekolah elit seperti Elvoreign, meski dengan beasiswa penuh. Biaya seragam, transportasi, dan makan siang pun sedikit ringan.

“Iya, Bu... betah kok,” jawabnya pelan, berbohong demi membuat ibunya tenang.

Ibunya tersenyum, tak menyadari suara hati anak gadisnya yang remuk di dalam. “Alhamdulillah. Ibu sama bapak bangga banget sama kamu, Shanum. Pintar, nggak neko-neko, dan kuat.”

Shanum menggigit bibir. Pujian itu bukan membuatnya senang—melainkan menambah beban. Ia tidak ingin mengecewakan orangtuanya. Maka, ia harus bertahan. Apapun yang terjadi.

Malam itu, sebelum tidur, Shanum berdiri menghadap jendela kecil di kamarnya. Dari sana, terlihat bulan menggantung rendah. Ia memejamkan mata, berdoa dalam hati.

“Ya Allah... kalau aku tidak bisa buat mereka bangga dengan kekayaan, izinkan aku membanggakan mereka dengan ilmu. Jangan biarkan aku menyerah. Jangan biarkan aku hancur sebelum berjuang.”

Ia membuka mata. Air matanya masih mengalir. Tapi kali ini, bukan hanya karena sakit—melainkan juga karena harapan.

 

---

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kainga
1137      669     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Bittersweet My Betty La Fea
4559      1462     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...
The Unbreakable Love
41      40     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
Return my time
306      260     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Cinta Pertama Bikin Dilema
4982      1372     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
972      675     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Perjalanan Tanpa Peta
51      46     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Merayakan Apa Adanya
391      284     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Solita Residen
1391      805     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
A Poem For Blue Day
203      152     5     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...