PADA HARI PERTAMA AKU menginjak kelas 11 dan menjadi teman sebangku Tiara, sebagian besar anak kelas sudah tahu kalau cewek itu berasal dari keluarga menengah bawah. Namun sikap baik hati kelampau santun-nya sering dibuat bercanda anak-anak lain. Beberapa hari selanjutnya, aku sadar, seseorang yang kerap mengawali candaan tentang Tiara adalah Pitaloka.
Aku memandangi wajahnya setelah dia bertanya. Jika Rulli adalah cowok paling populer dari kelas, maka Pitaloka adalah versi ceweknya. Dua teman-temannya, Eva dan Karin, selalu setia berada di sisi kanan dan kirinya. Dari yang sudah beredar, Pitaloka dan Karin sudah bersama sejak SMP. Dan, mereka berdua teman satu sekolah Cherry saat SMP.
Meski Cherry mengaku tidak pernah dekat dan tidak ingat apakah pernah berinteraksi dengan mereka, Cherry tahu banyak hal tentang Pitaloka. Mereka tidak satu kelas, tapi sejak awal tahunnya di SMP, ketenaran Pitaloka sudah menyebar luas. Pitaloka adalah anak dari dewan kota yang cantik dan sangat berbakat. Dia pintar melukis, bahkan punya sebutan calon seniman otentik.
Pitaloka beberapa kali menang di berbagai ajang lomba. Dan setahuku, berhubung kepala sekolah sedang berencana mengadakan lomba seni, yang salah satunya ada klub lukis mereka, itu semakin melambungkan nama Pitaloka di sekolah. Dengan sejumlah pengetahuan ini, aku kerap memikirkan kata-kata yang tepat saat berbicara,
"Titipan,"
"Dari siapa?" Pitaloka tersenyum penasaran, "Teman lo tadi?"
Rasanya lega melihat Bu Afifa masuk. Berhubung duduk di barisan depan, kami otomatis menghadap ke papan tulis kelas--menyaksikan kedatangannya. Tak lama, Shania, sang ketua kelas berdiri untuk intruksi, dan kami semua memberi salam. Pelajaran pun di mulai.
Hanya beberapa guru yang sudah jelas-jelas mengenal aku; Bu Afifa salah satunya. Selain karena Bu Afifa tahu identitas Mama dan reputasiku sebagai juara satu paralel se-angkatan, beliau memandang mata pelajaran Biologi adalah materi diskusi yang melekat padaku. Maka, setiap jam Bu Afifa mengajar, kudedikasikan diriku fokus dan antusias memerhatikan penjelasannya.
Saat waktu begini, aku pakai kacamata. Aku lebih suka pakai kacamata saat belajar atau beraktivitas berat. Tetapi beberapa hari lalu, aku tertidur dimeja kamar dan bangun terlalu terburu-buru, hingga tanpa sadar aku menginjak kacamataku yang sudah tergelatak di lantai sampai patah. Untungnya, Mama langsung memberikan aku koleksi kacamatanya yang berbingkai oval, dan mengajak aku ke toko kacamata untuk disesuaikan angka minusnya.
Aku hanya nyaman menggunakan softlens ketika sedang diluar sekolah atau hangout. Ini perbedaannya; saat menggunakan softlens, aku secara otomatis bersikap lebih santai dan tenang. Sementara saat belajar, aku tidak pernah tenang, maka kacamata--anehnya--bisa terasa lebih bersahabat untukku.
Siang ini, udara kelas terasa pengap. Penampakan awan jernih dari balik jendela begitu putih dan terang. Beberapa anak mulai mengeluarkan kipas, kertas, gemeresak buku, dan suara menguap pun terdengar. Tak lama, ada yang insiatif menurunkan suhu AC kelas. Di depan, Bu Afifa menjelaskan materi dan kini papan tulis mulai dipenuhi diagram hormon tumbuhan dan respons tropisme.
Sebelum Bu Afifa menjelaskan bagian itu secara mendalam, sambil memegang spidol hijau, beliau meminta anak-anak aktif dan bersuara. Seperti biasa, sesi diskusi ini terkadang menyenangkan untuk ditunggu, namun kadang pula bisa menegangkan--seperti yang kualami sekarang.
Saat guru membuka sesi diskusi, ini juga berarti mereka sedang membuka peluang untuk murid yang ingin menambah poin karena berpartisipasi dalam diskusi. Tapi berhubung aku agak mengantuk sebab kelewat sibuk mengurusi stand Ekskul Fair, aku terpaksa terus melebarkan mata--aku perlu menyimak apa yang dibahas.
Setelah Irfan mengangkat tangan, giliran Shania mengangkat tangan dan menjelaskan pengertian hormon tumbuhan, menggunakan bahasa ringkas dan mudah dipahami; bahwa hormon tumbuhan adalah senyawa kimia alami yang diproduksi oleh tumbuhan, dan mengatur pertumbuhan serta respons terhadap lingkungan. Shania adalah juara lima angkatan paralel di sekolah.
“Good. Tepat Shania," Bu Afifa menyapu pandangan. "Sekarang, siapa yang tahu apa itu tropisme?”
Setelah jeda sebentar, seseorang pun menangkat tangan ragu-ragu, rupanya itu Tiara. “Tropisme itu.. gerak bagian tumbuhan yang arah geraknya dipengaruhi oleh rangsangan dari luar, contohnya seperti... cahaya matahari...air,"
“Ya, bagus, Tiara," Bu Afifa mengangguk. "Permukaannya begitu.. Nah... teman-teman.. pernah dengar istilah ‘fototropisme’? Ada yang tahu, apa perbedaan antara tropisme dan fototropisme?
Kelas hening. Beberapa saling pandang. Bu Afifa menyisir pandangannya lagi ke seluruh ruangan. Aku menahan diri dari perasaan tegang, lalu mencatat, dan berpikir cepat--untungnya aku sempat membaca yang ini.
"Kalau pada belum, nggak apa-apa." Bu Afifa melanjutkan, "Nah Klaudia, mau bantu jelaskan apakah itu, dan apa perbedaan dari keduanya? Kamu pasti punya pengalaman soal ini, kan,"
Aku mengangkat kepala, menegakkan badan, dan kujawab dengan percaya diri.
"Perbedaanya adalah..." aku mengatur suara, "Sementara tropisme itu bagian tumbuhan yang geraknya dipengaruhi oleh beberapa pengaruh luar kayak... cahaya, air, atau gravitasi, " jelasku, "Sedangkan fototropisme merupakan salah satu bentuk khusus tropisme, yang terjadi karena rangsangan cahaya,"
Bu Afifa tersenyum mendengar jawabaku, "Kalau begitu, bisa kamu kasih contoh, bagaimana aplikasinya dalam konteks kehidupan sehari-hari?”
Aku diam sejenak, dan pandanganku melihat sekitar--berusaha menemukan sesuatu yang bisa membantu jawabanku. Mataku menangkap beberapa pohon kaktus mungil di sudut jendela milik hiasan kelas, yang mengingatkanku pada tumbuhan milik Mama di kafe.
"Ada hormon auksin yang mengatur fototropisme," kualihkan perhatianku dari kaktus, "Pot bunga yang diletakkan di dekat jendela misalnya, akan tumbuh condong ke arah datangnya cahaya matahari. Itu karena ada auksin yang membantu mengarahkan pertumbuhan ke arah cahaya,"
Aku merasakan beberapa anak di kelas mencatat, dan beberapa yang lain juga mulai kehilangan fokus.
"Jadi menurut kamu, tumbuhan yang mengarah ke matahari, bisa terjadi karena adanya hormon auksin?" Bu Afifa beranjak.
Aku menangguk, mengiyakan. Bu Afifa tampak setuju, lalu beranjak menuju ke papan tulis saat--
"Bukannya auksin menghindar saat kena cahaya luar?" tanyanya. Tapi, itu bukan Bu Afifa. Seseorang bersuara. Suaranya seperti gumaman, tetapi sangat ganjil sehingga suara itu berhasil membuat semua orang menoleh, termasuk Bu Afifa yang berhenti dan menoleh ke sumber suara. Kecuali aku. Karena itu Ren.
"Saya cuma khawatir, kalau banyak orang percaya auksin dalam tumbuhan yang mengarah ke cahaya matahari, itu karena auksin butuh mengarah ke sana biar bertumbuh cepat," Ren berdehem pelan, "Maaf, sudah memotong,"
Aku refleks meremas lengan seragamku. Ck.
"Ren," sahut Bu Afifa senang, "Tentu, silakan, lanjutkan saja.."
"Ada lumayan banyak artikel populer seolah nyederhanain semua respon tumbuhan itu cuma karena auksin, dan menciptakan kesan bahwa hormon auksin membuat tumbuhan mereka mengarah ke cahaya matahari, karena itu yang dibutuhkan. Padahal.. bukan itu?"
Bu Afifa memiringkan kepala, tertarik. “Ren, kamu menyiratkan kalau peran auksin sering disalahpahami, dan dianggap sebagai satu-satunya?”
Ren bersandar di kursinya, suaranya tidak keras tapi terdengar semangat sekali.
"Soalnya auksin bukan bergerak menuju cahaya, malah sebaliknya, apa saya salah?" tanyanya santai. "Dia menumpuk di sisi batang yang nggak terkena cahaya. Di bagian yang terkena cahaya, aktivitas auksin lebih lambat. Sisi yang nggak terkena cahaya tumbuh lebih panjang, jadi itu yang bikin batang miring ke arah cahaya. Dan masih ada giberelin buat pemanjangan batang, atau sitokinin yang ngatur pembelahan sel,"
Dia menyebut jenis-jenis hormon itu seakan aku benar-benar tidak tahu, seakan-akan aku tidak bisa melihat apa yang sudah ditulis Bu Afifa di papan tulis. Maksudku, Ren saat ini sedang giat membuat posisiku goyah, salah, bahkan tidak layak.
"Rupanya kamu sudah belajar spesifiknya, Ren. Dan kalau dilihat lebih detail, interaksi antar-hormon itu kompleks, kan?"
Ren menjawab. "Mirip.. dunia politik? Kalau satu tokoh yang disorot dominan tapi simpel, bisa bias narasinya,"
Kelas tertawa kecil. Aku langsung ingat, perkatannya berkaitan dengan kejadian kami beberapa hari lalu. Aku tidak menyangka ini akan berlanjut.
"Tapi dalam dunia politik," kataku tenang, karena aku belum selesai, "Peran dominan tetap butuh disorot. Dalam tropisme, auksin punya pengaruh paling awal. Tanpa auksin, respons terhadap cahaya nggak bakal terjadi,"
Ren menjawab cepat, "Dominan nggak selalu paling krusial. Adanya instrumen kecil bisa jadi lebih berdampak, kan?"
Beberapa anak mulai mencatat sambil cekikikan. Aku menoleh sempurna ke arahnya, dan langsung menangkap matanya yang sudah ke arahku. Dia menangkat kedua alisnya samar, dan aku berpaling sebelum melihat dia tersenyum. Aku yakin dia tahu arah pembahasan ini khusus fototropisme, tapi dia akhirnya sukses membuat framing seolah pengetahuanku tetap sempit.
“Ren, kamu menyentuh aspek dalam, tapi bukan berarti penjelasan Klaudia keliru. Auksin berperan penting dalam fototropisme," lanjut Bu Afifa sambil menunjukkan tulisannya di papan, "dan ia bekerja bersama hormon lain, dan cara kerjanya bergantung dari lokasi serta jenis jaringan. Baik anak-anak, kita akan mulai bahas lebih rinci supaya kalian nggak cuma menghafal, tapi juga mengerti."
Bu Afifa berjalan ke depan, mulai menggambar sesuatu di papan tulis. Tampaknya seperti dedaunan. Bersamaan dengan itu, aku berusaha meredam kedongkolanku terhadap Ren. Bangku kami lumayan jauh. Ren berada di daerah belakang, sudut dekat jendela. Meski begitu, entah kenapa aku masih merasakan tatapannya ke arahku. Pikiranku kembali pada beberapa hari sebelum ini, dan juga beberapa kejadian kami sebelum-sebelumnya. Bu Afifa mulai bersuara lagi, maka aku tersadar dan segera mencatat.
Di tengah-tengah perjuanganku membuang memori tidak penting dan fokus pada pelajaran, Bu Afifa memberi jeda sebelum masuk ke pembahasan berikutnya. Bu Afifa berjalan ke meja dan melihat catatan khusus. Itu catatan poin.
"Oh iya kalian semua yang berpartisipasi saat diskusi," Bu Afifa melanjutkan, "Siapa saja tadi, boleh angkat tangan?"