Loading...
Logo TinLit
Read Story - A Poem For Blue Day
MENU
About Us  

SUDAH ADA YANG MENUNGGUKU di luar pintu kelas 11 IPA-1. Dia Cherry, temanku. Kami tidak memiliki satu kelas sekarang. Jadi aku bisa sedikit menebak apa yang ingin cewek itu lakukan dengan menungguku, di depan kelasku, sementara dia sendiri harusnya berada di kelas 11 IPS-7. Saat melihatku datang, cewek itu melebarkan senyumanya, sumringah seakan-akan aku adalah malaikat pencabut nyawa yang dianugerahi kesempatan hidup.

"Haloo, cewek cantik! My president club, our school pride student!"

Saking terbiasanya aku oleh godaan yang menggelikannya, tak kusangka aku menguap dan berhenti di depannya. "Mau apa sih lo.."

Cherry tambah sumringah dan secara mencurigakan, dia meraih tangan kananku dan menaruh sesuatu di sana. Kulihat, itu sebuah kotak kado cantik berwarna merah. Singatku, hari ini bukan hari Valentine. Tapi aku tetap yakin kepada siapa dia ingin aku memberikannya.

“Tolong ya, My Cloudiee ? Please ..” pintanya, sambil berjanji erat, “Titip ini ke doi?”

"Ruli?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk mantap.

Raut wajahku secara otomatis geli dan bingung. "Saran gue, lo ketemu langsung sama dia aja. Biar dia beneran notice lo. Percaya deh, Rulli orangnya baik kok. Dia bakal ngerti kalo lo nggak sengaja waktu itu,"

Waktu itu, sekitar tiga hari yang lalu, Cherry Linn, temanku ini, menyanyikan influencer terkenal di media sosial, secara tidak sengaja memposting story di akun Instagram-nya--yang jumah pengikut-nya 300 ribu--dengan menampilkan gambar screenshoot feed profil teman kelasku, Rulli, caption-nya begini: ' feednya doi gue cakep beut, secakep orangnya ngga siihh? ', lalu disana, dia tag nama akun kedua -ku besar-besar. 

Dia pun merasa bersalah karena hampir membuat namaku tercoreng--karena kecelakaan, akun kedua -ku anonim. Meski sempat menjadi bahan gosip warga sekolah, tapi setidaknya, nama baikku tetap aman. Semua orang langsung yakin bahwa ini hanya tingkah konyol Cherry--seperti bagian dari teknik pemasaran untuk sensasi, karena secara umum, dia seorang influencer dengan image ceria dan centil. 

Meski sejujurnya, kami berdua memang terbiasa bercanda membahas apapun dengan cara itu, tapi kami melakukannya secara pribadi. Jadi aku sangat terkejut saat Cherry memposting tentang itu tidak lewat DM, second account, atau--setidaknya-- close friend. 

Kejadiannya saat tengah malam. Dia bilang, alasan begitu random --dia tiba-tiba bangun dan kelaparan, lalu makan snack sambil bermain Instagram, dan dengan keadaan setengah mengantuk, dia merasa masih bisa becanda bersamaku. Dia memposting story itu, dan tak lama, dia kembali tidur.
Hingga akhirnya, Cherry menitipkan ini untuk meminta maaf. Tadinya kami tidak yakin apakah minta maaf dapat dianggap cukup.

Tapi dari pendapatku sendiri, aku ikut berharap dia tetap melakukannya. Siapa tahu karena kejadian ini, lalu niatnya yang ingin meminta maaf, mungkin curhatannya tentang Rulli bisa berkurang--setidaknya mereka akhirnya saling kenal dan bicara. Maka, kupingku bisa berhenti berdengung karena terlalu sering mendengar nama Rulli.

"Ihh nggak mau! Malu banget gue, lagian lo tahu kan? Gue itu pemalu..."

"Astaga," aku memutar mata--kebohongan besar. 

"Pokoknya," kedua tangan Cherry mengenggam, matanya berbinar-binar "Kali ini bantuin gue tolong .. buat kasih ini ke dia. Cukup bilang ini dari gue. Lo nggak perlu bilang apa-apa lagi. Lo lihat sendiri, gue udah bikin akun dia diserbu dan kesebar sama followers gue? Dari yang ngehujat sampai ngedoain gue sama dia langgeng, duh, udah deh, gue nggak sanggup kalau kalau harus ngomongin ini sama dia,"

Aku sadar, Cherry sudah benar-benar menyukai cowok itu. Dia tipe cewek yang selalu santai dan bebas di depan siapa pun, sekali pun itu di depan sekelompok cowok, kecuali Rulli. Dia tampak menciut jika Rulli muncul di sekitarnya.

" Pizza ," ujarnya tiba-tiba.

Kedua mataku melebar.

" Pizza pepperoni , kesukaan lo," lanjutnya, "Gue traktir lo itu nanti,"

Aku mengerjap, terdiam terkesiap. Namun, kedua mata jenaka Cherry membuatku membayangkan satu loyang pizza dan mengingat-ngingat rasanya. Beberapa hari yang lalu, aku pun merindukan menu pizza yang lain. Sudah lama juga aku belum makan pizza

" Tuna melt," kataku.

" Tuna melt! Tambah cheeseball dan cola ?" 

Kami berdua mengangguk riang. Aku tiba-tiba ingin menghabiskan akhir pekan dengan waktu senggang, bersantai dan menonton di tempat Cherry. Aku lupa kapan terakhir kali meluangkan waktu seperti itu. Saat hendak mengatakannya, Cherry tahu-tahu terkesiap sampai suaranya tercekat dan memalingkan wajah ke segala arah,  

"Ya ampun, sial, gue kira dia udah di dalam kelas!"

Aku mengernyit, lalu menoleh dan melihat sekumpulan cowok datang, berjalan di koridor, menuju kelasku. Dilihat seksama, itu sekumpulan teman kelasku. Lebih tepatnya, itu geng Rulli. Mereka biasa disebut geng Rulli , karena Rulli memang cowok paling tampan, baik, dan populer di kelas. Perawakannya sangat menawan dan misterius--bak pangeran charming yang biasa ada di negeri dongeng. Tapi sebalnya, dimana ada Rulli, disana juga ada Ren.

Ada Ren, Nanda, Tio, dan Farel. Mereka adalah salah satu geng paling gaduh dan menonjol di sekolah. Meski begitu, diam-diam aku setuju ketika orang-orang berpendapat bahwa mereka semua good looking;  dan aku tidak akan pernah berminat mengungkapkan rasa setujuku ini kepada siapa pun.

Tapi kulihat, rambut Ren makin berantakan. Rasanya aneh melihatnya, padahal dia selalu tampil paling modis dan berkilauan. Jenis kilau yang kumaksud itu ibarat cahaya yang terpancar dari penampilan seseorang--lebih karena kearoganannya. Kalau pun dia berantakan, tidak akan seberantakan itu. 

“Klaudia Winooona..” seseorang memanggil namaku bulat-bulat, entah siapa, yang pasti diantara mereka.

"Winona-winona," tukas yang lain. 

"Wah lagi nggak bawa buku nih,"

Antara Tio atau Farel. Hanya mereka berdua yang biasa melakukan ini kepada siapapun yang mereka lihat di depan mata, dan mereka ketahui namanya. Aku tersenyum tipis membalas mereka, dan menangkap tatapan ganjil Ren. Dia sedang mengobrol. Caranya bicara dan menatap, tampak seperti dia sedang menggunjingku bersama Nanda di sebelahnya. Aku membuang muka dan kembali menatap Cherry. Cewek itu masih pura-pura menggaruk kening.

"..lagian biarin ajalah warna kuning, pengen tahu juga gimana rambut di- bleaching ," 

Suara Ren begitu jelas dan familiar saat berlalu di belakangku.

"Biar rambut gue kering terus gue bentuk jingkrak ke atas mirip Jimmy Neutron," katanya, sebelum  masuk kelas, dia melirik aku dan sok ramah bertanya, "Lo tahu Jimmy Neutron nggak, Klaudia?"

Aku melirik sinis. Tentu saja tidak akan kujawab. Dia sedang sengaja meledek aku. Tio di sebelahnya langsung tersedak tawa dan mendorong Nanda, lalu melirik kami berdua.

“Cie caper sama Klaudia, uhuy…” ucapnya di sela tawa.

Entah Ren merespon apa dan bagaimana. Karena dia, pastinya, tidak menunggu jawabanku. Cowok itu melenggang masuk kelas begitu saja. Aku melihat bahasa tubuh tengilnya dari belakang dan aku tambah kesal.                                                                  

"Eh ada buah Cherry, nona sebelgram," giliran Cherry yang di sapa Farel sebelum dia masuk kelas. Cherry membalas sapaan itu agak kikuk, sementara Rulli hanya melirik Cherry, lalu masuk ke dalam kelas tanpa mengucapkan apa-apa. Setelah anak-anak itu masuk, kami berdua saling tatap.

"I feel like we were both in danger, now,"

Mendengar Cherry, kedua alisku terangkat. Belum sempat mencerna maksudnya, Cherry melotot melihat kelasnya dari kejauhan dan memaksa kedua tanganku mengepalkan kado itu, lalu lari terbirit-birit menuju kelasnya.

"Pak Satrio lagi otw kelas gue, byee!" teriaknya, "See you after class, Cloudie!"

Setelah melihat Cherry masuk kelas, aku menghela napas, mempersiapkan diri untuk menghadapi geng itu. Ibu guru di kelasku belum datang, jadi aku melangkah menuju meja Rulli lalu menaruh kado merah itu disana. Tindakanku ini membuat anak-anak disekitar terdiam dan menonton.

"Rulli, ini dari Cherry, buat lo," kataku. Rulli tersenyum ramah, seperti biasa, dan menimbang-nimbang untuk memerhatikan barang itu sejenak.

"Apa ini?" tanyanya.

"Gue juga nggak tahu, tapi, dia berharap lo terima itu,"

Rulli mengangguk-angguk. "Yang tadi itu..dia, ya?" 

“Idih sok-sokan nggak tahu Cherry yang mana lo, Irul,” tukas Farel, semangat julid. Disusul Tio dan Nanda yang menepuk pipi Rulli. Karena penasaran, Tio mengambil kotak merah itu. Secepat mungkin Rulli menarik kado itu lagi, dan aku langsung lega.

"Terus, kado dari lo buat Ren mana, Klaud?" Tio tiba-tiba bertanya, memancing.

Meski aku tidak melirik Ren, kuperlihatkan ekspresi merindingku yang jelas-jelas kepada mereka. Jika dilihat dari dekat sini, wajah Tio sangat menyebalkan dan aku ingin sekali menarik kumis tipisnya.

"Gue nggak tahu selera tingginya kayak apa, mungkin kado gue bisa telalu murah," aku tersenyum masam lebar-lebar. 

“Ups,” Tio menutup mulutnya, bahunya terangkat. Kikikannya sudah sampai di ujung lidah, tapi buru-buru ia tahan. sepertinya dia setuju.

“Bukan gue yang ngomong, Ren..” goda Nanda. Farel menyusul dengan memeluk uuuuu .

“Kalau begitu, makasih ya Klaudia,” ujar Rulli, akhirnya. 

"Sip,"

Rulli baik sekali, selalu tahu aku tak perlu meladeni mereka. Aku pun berbalik, kembali ke bangku. Aku duduk, berusaha menaruh perhatianku di meja, dan mulai memilah barang-barang untuk belajar agar bisa fokus pada materi yang akan dipelajari hari ini. Mata pelajaran sekarang adalah Biologi.

Aku sempat belajar tadi malam, jadi aku meletakkan buku paket, buku tambahan, catatan, LKS, beberapa post-it , dan sejumlah pulpen di meja. Aku mulai membuka buku tulis lebar-lebar, menulis tanggal dan waktu, lalu menyadari Pitaloka, Kintan, dan Eva sedang memperhatikanku.

Dari bangku depan, Eva berbalik, kedua tangannya memegang dagu dan memandang mejaku, lalu berujar,

"Hmmm.. gue iri sama Klaudia deh, bisa semangat gitu,"

“Semoga aja kita bertiga bisa ketularan lo, Klaud,” ujar Karin yang duduk disebelahku.

"Makanya kita pindah karena kita pengen ketularan Klaudia. Lo pasti minum obat buat ketagihan belajar ya?" tanya Pitaloka. Dia duduk di depan bersama Eva. 

Aku menggigit bibir kikuk, tertawa pelan. Aku tidak tahu harus menjawab apa, sebab aku hanya terbiasa seperti ini. Sejak dulu, yang kulakukan ini memang menjadi sumber dari segala kebahagiaanku; lebih tepatnya harapanku. 

Aku tidak mengatakan  ini membahagiakanku secara harfiah. Hanya saja, pada kenyataannya, tidak banyak yang bisa dilakukan. Aku bukan anak yang tumbuh seperti anak-anak pada umumnya. Jadi aku selalu menyembunyikan rapat-rapat latar belakangku dan merakit reputasi serta pencapaianku sendiri, tanpa kukaitkan dengan masa laluku.

Terlebih lagi jika aku membandingkan diri dengan mereka. Lagipula, mereka bukan teman dekaktu. Sejujurnya aku bukan tipe anak yang pandai bergaul, apalagi bersama mereka. Selain karena mereka bagian dari klub elit English Society, mereka semua cantik dan terkenal--mirip seperti Cherry. Bahkan, reputasi Cherry masih jauh di bawah mereka. 

Tetapi, setelah beberapa hari aku sebangku dengan Tiara--teman kelas baruku pertama--dari hari pertama setelah pembagian jurusan kelas, tiba-tiba saja mereka  meminta Tiara dan dua orang di depanku bertukar tempat duduk. Tentunya, aku panik, mengingat aku dan Tiara baru saja mencoba akrab. Tapi, Tiara terlihat sukarela dan tidak keberatan. 

Selain karena dia penyendiri, kelewat lembut, dan sopan terhadap siapa pun, Tiara juga tidak banyak bicara. Dia tipe yang akan mengalah demi ketenangan dan kemurahan hati. Sikapnya yang suka mengalah, membuatku tidak sanggup menahannya.

Aku--tentu saja--curiga setelah mereka bertiga disini. Mereka tampak punya agenda tertentu, dan mungkin berhubungan dengan aku. Akan tetapi, sejauh ini, interaksi kami baik-baik saja. Akupun mulai membuat rencana, mengambil kesempatan ini untuk mengetahui lebih lanjut tentang mereka, dan tentang English Society, contohnya dari percakapan mereka sehari-hari. 

Karena meskipun aku adalah anak teladan dan punya prestasi di sekolah, English Society menolakku. Aku gagal menjadi bagian dari klub mereka, bahkan dari awal pemilihan anggota.

Pitaloka memandangi wajahku. "Kacamata lo baru, ya?"

Aku berdehem, tiba-tiba teringat komentar Ren serta wajah angkuhnya.

"Kacamata gue yang sebelumnya patah,"

"Tapi, kenapa lo nggak pakai softlens aja sih? Lo bisa lebih cantik loh,"

"Kadang, gak nyaman kalau dipake terus,"

"Ooh," gumamnya.

Saat aku melanjutkan kegiatanku, Pitaloka bertanya lagi, kali ini nadanya mengecil nyaris berbisik,

“Klaudia,” katanya, “Tadi itu, lo kasih Rulli kado apa?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
GADIS MISTERIUS milik CEO DINGIN
33      32     0     
Action
Pertemuan dengan seorang pemuda yang bersifat anti terhadap para wanita. Justru membuat dia merasa bahwa, Ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis dengan kehidupan yang di alami gadis tersebut, hampir sama dengan dirinya. Nasib keduanya sama-sama tidak memiliki seorang bidadari tanpa sayap. Kehilangan sosok terbaik yang menemani mereka selama ini. Sehingga kedua manusia...
Mendadak Halal
7786      2169     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
Serpihan Hati
11238      1866     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
Bukan kepribadian ganda
9377      1823     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
The Unbreakable Love
27      26     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
What If I Die Tomorrow?
416      266     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
Coneflower
3967      1648     3     
True Story
Coneflower (echinacea) atau bunga kerucut dikaitkan dengan kesehatan, kekuatan, dan penyembuhan. Oleh karenanya, coneflower bermakna agar lekas sembuh. Kemudian dapat mencerahkan hari seseorang saat sembuh. Saat diberikan sebagai hadiah, coneflower akan berkata, "Aku harap kamu merasa lebih baik." — — — Violin, gadis anti-sosial yang baru saja masuk di lingkungan SMA. Dia ber...
TWINS STORY
1196      668     1     
Romance
Di sebuah mansion yang sangat mewah tinggallah 2 orang perempuan.Mereka kembar tapi kayak nggak kembar Kakaknya fenimim,girly,cewek kue banget sedangkan adiknya tomboynya pake banget.Sangat berbeda bukan? Mereka adalah si kembar dari keluarga terkaya nomor 2 di kota Jakarta yaitu Raina dan Raina. Ini adalah kisah mereka berdua.Kisah tentang perjalanan hidup yang penuh tantangan kisah tentang ci...
Search My Couple
543      308     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Secret’s
4098      1337     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...