Kenangan tragis akan kematian sang adik terpendam dalam mimpi-mimpi Silla yang kelam. Dan malam itu, mimpinya kembali menghantui.
“Mutia! Jangan tinggalin aku!” seru Silla. “Mutia! Aku rindu kamu!”
Isak tangisnya membuat rasa menyesak di dada.
Lambat laun, ia mendengar lantunan mistis. Dalam kegelapan, ia melihat sosok Mutia tengah duduk seorang diri. Adik kecilnya itu bersenandung lembut. Pemandangan yang sama seperti mimpi-mimpi sebelumnya.
“Berhenti! Jangan nyanyi lagi!” teriak Silla. “Mutia, tolong berhenti!”
Kali ini ia melihat Mutia menengok ke arahnya. Seketika sekujur tubuh Silla mematung gugup.
“Kakak, ikut aku yuk. Kita bermain dalam kegelapan,” ujar Mutia.
Silla mengernyit bingung. Baru kali ini ia mendengar Mutia mengajaknya bicara dalam mimpi. Apakah sosok mungilnya itu benar-benar adiknya yang telah wafat?
“Temani aku di sini, Kak,” ajak Mutia.
Silla menggeleng. Tak sadar ia telah mengambil langkah mundur. Sedangkan Mutia beranjak berdiri.
“Jangan takut. Ikut aku sekarang… kita bisa bersama selamanya,” tutur Mutia seraya mengulurkan tangan padanya.
“Enggak. Kamu sudah mati,” ujar Silla.
Adiknya tertawa.
“Kamu sudah enggak ada di dunia ini!” seru Silla.
Mutia semakin kencang menertawakannya.
Entah apa ada sosok yang menyerupai adiknya itu. Atau memang Mutia datang untuk mengajaknya terbebas dari belenggu kegelisahannya selama ini?
Suara gaduh angin kencang menyertai gubrakan jendela yang terbuka. Silla langsung terbangun. Jantungnya berpacu kencang. Ia menatap terkejut pada tirai jendela yang berterbangan di seberang kasurnya. Lagi-lagi jendela terbuka seperti malam lalu. Kali ini terjadi pada jendela kamarnya.
Segera ia beranjak dari kasur dan ingin menutupnya. Tepat di depan jendela, ia berhenti. Ia mengucek matanya beberapa kali. Lalu mengernyit, ia mencoba memahami pemandangan yang disaksikannya.
Ada sesuatu yang tak biasa di luar rumah. Sesuatu yang menari-nari di udara. Silla membatin; mungkinkah dirinya sedang mengigau?
Dari kejauhan, sosok bercahaya itu mirip peri yang berterbangan. Bak kunang-kunang malam yang menerangi kegelapan. Ternyata tak hanya satu, tetapi ada dua sosok. Mereka seperti kembar, mengenakan pakaian serba kuning. Selendang mereka ikut melayang-layang kala mereka mengambang di udara.
Bagai ada daya magnet yang membuat Silla ingin melihatnya dari dekat. Setelah menutup jendelanya, ia bergegas keluar rumah.
Namun semakin dikejar, kedua sosok misterius itu malah semakin menjauh. Akhirnya Silla tergiur ingin mengikuti ke mana pun mereka akan terbang.
***
Di malam yang sama, Mahesa menumpang tidur di rumah warga. Terkadang kenangan setahun lalu terekam dalam alam bawah sadarnya. Sampai memasuki jauh ke alam mimpinya.
Setelah mendengar kabar duka dari para koleganya di kantor, Mahesa ikut mendatangi apartemen Bima. Kawannya itu ditemukan tewas tak bernyawa akibat gantung diri. Gerangan apa yang membuatnya berbuat demikian. Menghukum dirinya sendiri dengan jeratan tali sampai kehilangan nyawa.
Di sana, Mahesa menemukan peninggalan buku catatan milik mendiang kawannya itu. Semua catatan terakhirnya mengenai tradisi Tembung Lakar. Ada banyak catatan kaki yang ditulisnya, serta foto-foto rekam jejak pengamatannya di Kampung Jinem.
Mahesa lantas merenungi nasib kawannya itu. Apakah karena dirinya berhalangan hadir; jadi harus menumbalkan rekan kerjanya sendiri?
Andai saja waktu bisa terulang kembali. Ia akan menahan Bima agar jangan menggantikan dirinya ke sana. Jika nanti ia bisa mengetahui kejanggalan di desa itu, ingin sekali dirinya menguak kebenaran pada semua orang.
Jejak-jejak kematian kawannya itu membuat Mahesa sedih. Apalagi setelah ia mengetahui; bahwa ada saja warga yang juga mati dari waktu ke waktu di sana. Dalam duka keheningan, ia jadi merenungi lika-liku misterius kehidupan tiap insan di dunia.
Ketika suara gubrakan jendela terdengar, Mahesa langsung terbangun. Ia terkejut bukan main mendapati jendela di kamarnya terbuka lebar. Angin kencang bergerilya menerbangkan tirai. Segera ia beranjak dari kasur untuk menutupnya.
Namun gerakannya terhenti kala melihat ada sesuatu yang bercahaya di luar sana. Bagai melihat kunang-kunang yang menjelma bak dayang dewi. Kedua sosok itu berpakaian kemben dan selendang serba kuning keemasan. Mereka melayang di udara dan berputar-putar di atas semak pepohonan.
Bagai tersihir, dalam dirinya bergejolak ingin mendekati dayang-dayang itu. Ia mengikuti ke mana pun mereka pergi. Sampai tak terasa ia telah berjalan jauh ke area hutan. Ketika menyusuri sungai, ia berpapasan dengan seorang wanita yang mengenakan piyama.
“Loh, Teh Silla?” sapa Mahesa. Lalu ia mengucek-ngucek matanya, memastikan apakah ia masih bermimpi.
“Aa Mahesa kok bisa ada di sini?” tanya Silla.
Saat itulah Mahesa tersadar, ia bukan lagi bermimpi. Pertemuannya dengan Silla di dekat sungai hutan memang nyata. Beberapa saat mereka saling tertegun.
“Tadi saya lihat ada sosok yang terbang di udara, Teh. Seperti peri, bersinar…” ucap Mahesa. Di sisi lain, ia merasa bak orang yang sedang melantur. Ia takut, Silla akan mengiranya orang gila.
“Saya juga. Rasanya seperti tersihir buat ngikutin mereka,” timpal Silla. “Sosoknya pakai baju serba kekuningan emas, kan?”
Seketika Silla berkata demikian, Mahesa membelalak. Lalu ia mengangguk-angguk dan menyahut, “Benar, Teh! Ternyata lihat juga ya.”
Kemudian mereka mencari-cari di mana sosok yang dibicarakan tersebut. Pemandangan yang gelap justru tak membuat mereka kesulitan mencarinya. Karena kedua sosok tersebut bersinar dalam kegelapan. Dari kejauhan terlihat, keduanya terus melayang-layang.
Entah sebenarnya mereka sosok peri atau dayang-dayang dewi. Karena Silla dan Mahesa sama-sama penasaran, mereka terus mengikutinya sampai ke tepian sungai.
Sepertinya kedua sosok tersebut sedang memberikan petunjuk pada mereka. Karena saat itu, Silla dan Mahesa melihat sosok yang tak asing sedang menyusuri sungai. Sosok paruh baya tersebut berambut ubanan bersanggul. Beliau sedang menaburkan isi bejana ke pinggiran sungai.
“Itu bukannya Bu Makar, ya?” bisik Mahesa.
“Iya, itu Bu Makar. Ngapain ya dia ke sini malam-malam?” gumam Silla.
“Sama seperti kita, Teh,” timpal Mahesa, menahan gelak tawanya. “Kita juga seperti orang ngelantur, masuk ke hutan tengah malam begini.”
Mereka kembali memperhatikan beliau dari kejauhan. Diam-diam mereka mengikutinya. Ada yang aneh dengan isi bejana yang beliau percikkan ke sungai. Tepian air yang tadinya jernih berlahan jadi terlihat kemerahan.
Bu Makar lalu berdiri di seberang sungai, diam mematung. Terkadang beliau mendongak sambil memejamkan mata, menghirup desir angin malam.
Saat itu Silla dan Mahesa bersembunyi di balik semak-semak.
“Sepertinya ada yang aneh deh,” bisik Silla.
“Sepemikiran, Teh,” balas Mahesa.
Mereka kembali memperhatikan. Bu Makar terlihat sedang mengangkat bejana yang dibawanya untuk diminum. Sampai isinya tumpah berceceran. Silla dan Mahesa seketika membelalak ngeri.
“Teh… itu… itu…” suara Mahesa sampai gugup bergetar.
Silla pun begitu, “Da… darah, Aa.”
Jelas warna yang gelap kemerahan itu menandakan cairan darah. Apalagi beliau mengenakan kebaya berwarna putih. Seketika ternodai dengan ceceran darah merah. Begitu juga dengan air sungai yang sengaja dipercikkannya tadi.
“Ber… berarti si Bu Makar minum darah?” bisik Mahesa.
“Gila, kok bisa sih?” gumam Silla, masih terkejut. “Apa itu beneran darah ya?”
“Apalagi kalau bukan darah? Warnanya jelas merah begitu,” timpal Mahesa.
“Kalau iya, kenapa juga beliau minum darah? Terus itu darah apa?” tanya Silla.
Pemandangan tak lazim di hadapan mereka membuat bulu kuduk berdiri. Terlebih lagi ketika Bu Makar tiba-tiba menjerit.
“Jiwa kuring ngan haturan Sanghyang Asri!” teriak Bu Makar.
Silla dan Mahesa bergidik kala mendengarnya. Mereka masih memperhatikannya dari balik semak-semak hutan.
“Si Bu Makar ngomong apaan, Teh?” bisik Mahesa.
Silla mengernyit padanya, “Masa’ gak denger, Aa? Sudah sekencang itu si Bu Makar teriaknya…”
“Bukan. Maksud saya, artinya apa, Teh? Saya enggak terlalu paham Bahasa Sunda,” balas Mahesa.
“Loh, bukannya si Aa orang Sunda juga, ya?” tanya Silla sambil menatapnya heran.
“Bukan, Teh. Sebenarnya saya aslinya orang Jawa. Saya cuma paham dikit-dikit Bahasa Sunda,” ujar Mahesa.
“Ya ampun si Aa,” gumam Silla yang baru mengetahuinya.
Mahesa menjelaskan, “Saya kan harus bisa membaur sama para warga di sini, Teh. Makanya sok-sok’an saja saya ngomong pakai logatnya urang Sunda.”
Silla sesekali mencuri pandang ke Bu Makar yang masih berdiri jauh darinya.
“Jadi… si Bu Makar tadi ngomong apa, Teh? Boleh diterjemahin?” tanya Mahesa.
“Jiwaku hanya untuk Sanghyang Asri,” gumam Silla. Seketika itu ia teringat, dulu Pak Samir yang pernah mengatakannya. Bahkan tak lama setelah itu, beliau menyayat lehernya hingga tewas. Apakah kali ini Bu Makar akan melakukan hal yang sama?
Mahesa membuyarkan lamunannya, “Itu semacam mantra, kah?”
Silla menggeleng. “Enggak tahu, Aa.”
Namun satu hal yang pasti ia yakini sekarang; yaitu ucapan sang jurnalis. Memang ada yang aneh dengan kelakuan orang-orang di Kampung Jinem, terutama kepala adatnya.
“Terus ngapain ya si Bu Makar teriak-teriak begitu di hutan?” celoteh Mahesa.
“Mungkin lagi ngelakuin ritual,” ujar Silla. “Kita balik pulang saja yuk, Aa. Nanti dikiranya kita lagi ngebuntutin beliau kalau ketahuan.”
“Tapi, Teh… memangnya si Teteh enggak ngerasa merinding ngeliat beliau berlumuran darah sambil teriak-teriak begitu?” tanya Mahesa. “Jujur… saya berasa seperti ngeliat film horror versi langsungnya.”
“Jiwa kuring ngan haturan Sanghyang Asri!” teriak Bu Makar sekali lagi.
Silla dan Mahesa semakin merinding saat menyaksikannya.
Lalu keduanya melihat sesuatu yang janggal. Penampakan sosok yang tinggi besar tiba-tiba muncul. Sosok hitam itu mendatangi Bu Makar dari arah pepohonan.
Silla merasakan tubuhnya bergemetar. Lalu ia berbisik, “Aa… apa kamu lihat yang saya lihat?”
Mahesa mengangguk. Ia juga tengah bergemetar di sebelahnya. Mereka sama-sama bergidik ngeri saat itu.
“Itu… itu… mirip makhluk yang ada di gambar-gambar…” suara Mahesa terlalu gugup.
Silla langsung mengerti maksudnya. “Gambar yang Aa tunjukkin ke saya pas di rumah peribadatan tadi pagi, kan?”
“Iya, Teh… mirip,” bisik Mahesa. “Makhluk sejenis Lelepah.”
Silla masih ingat apa yang dimaksud dengan makhluk Lelepah. Yaitu makhluk yang haus akan darah manusia. Terlepas benar atau tidaknya jenis makhluk itu, yang jelas mereka sama-sama menyaksikan penampakan seramnya.
Sosok itu menghampiri Bu Makar dari belakang punggungnya. Apakah beliau akan diterkam hidup-hidup?
“Ba… bahaya!” ujar Silla, hampir berseru.
Mahesa segera menutup mulutnya. Ia mencegahnya agar keberadaan mereka tak ketahuan.
Silla berusaha melepaskan tangan kapalan laki-laki itu dari bibir lembutnya. Lalu ia menyahut dengan panik, “Aa… Bu Makar dalam bahaya…!”
“Teh, lihat baik-baik. Ada yang enggak beres,” bisik Mahesa. “Jangan gegabah.”
Silla kembali mengamati apa yang sebenarnya tengah terjadi. Makhluk itu semakin mendekati Bu Makar dengan langkah yang pelan. Jantung Silla semakin berpacu resah. Apa yang bakal terjadi selanjutnya?
Mendadak keheningan mengisi suasana hutan. Desir angin melewati seisi alam. Air mengalir tenang di sungai. Dan sosok kedua dayang misterius yang tadi mengantar mereka telah lenyap. Keberadaannya sudah tak terlihat di mana-mana.
Tiba-tiba saja, Bu Makar bertekuk lutut ke tanah. Wadah bejana yang dipegangnya ikut jatuh. Sisa isinya tumpah menodai rerumputan. Makhluk hitam berbulu itu langsung membungkuk menjilati sisa-sisa darah yang bercecer di tanah hutan.
Saat itulah, Bu Makar bersujud menghadap ke sungai.