Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tembung Lakar
MENU
About Us  

Mahesa hendak mengajak Silla untuk melapor ke desa. Untungnya saat itu ada beberapa warga yang sedang lewat di hutan. Mahesa bergegas memberitahu mereka tentang penemuan jasad seorang remaja laki-laki. Mereka sigap berbondong-bondong mengantar jasad tersebut ke rumah kepala desa.

Tadinya Silla akan menjual ubi singkong milik ibunya. Namun melihat situasi seperti ini, ia harus menunda rencana untuk pergi ke pasar desa sebelah. Mahesa juga berinisiatif untuk membantu melaporkan penemuan jasad tersebut sebagai saksi mata.

Di sana mereka bertemu kepala desa bernama Kang Dadang. Beliau langsung mengenali identitas jasad tersebut. Ternyata itu anak dari tetangganya yang tinggal bersebelahan dengan rumah beliau.

Jasad anak itu lalu dibawa ke rumah orang tuanya. Anehnya, mereka tak terlihat kaget sedikit pun. Bahkan tak telihat tanda-tanda kesedihan pada wajah pasangan paruh baya itu.

Silla dan Mahesa saling bertukar pandangan. Keduanya sama-sama menunjukkan ekspresi keheranan. Suasana janggal tersebut menimbulkan tanda tanya bagi keduanya. Tak hanya orang tua dari jasad itu, namun juga sikap para warga yang terasa aneh. Mereka semua terlihat tenang. Sama sekali tak menunjukkan rasa terkejut atau pun dukacita.

Kang Dadang lalu mengusulkan warga untuk bantu membawa jasad anak itu ke rumah peribadatan. Katanya untuk disembahykangkan di sana sebelum dimakamkan.

Silla teringat Ambu tadi memberitahunya akan pergi bersama Abah ke tempat Bu Makar. Ia jadi penasaran apa yang akan mereka bicarakan saat bertemu. Lalu ia meminta Mahesa untuk menemaninya ikut bersama warga mengantar jasad anak itu.

Setibanya di rumah peribadatan, Silla melihat Ambu dan Abah sedang bertamu di sana. Ternyata keduanya baru sampai dan hendak berbincang dengan Bu Makar. Namun karena ada kabar jasad yang ditemukan meninggal, pertemuan mereka harus ditunda sementara waktu.

Para warga yang hadir mengikuti prosesi sembahyang yang dipimpin oleh Bu Makar. Mereka mendo’akan jasad remaja itu sesuai dengan kepercayaan animisme mereka.

Hanya Silla dan Mahesa yang menganut kepercayaan yang berbeda dengan para warga. Keduanya tetap mendo’akan kepergian jasad remaja desa itu dalam hati.

Ketika semua orang masih sibuk sembahyang, Mahesa mengendap-endap pergi. Ia berkeliling di rumah peribadatan itu. Baru pertama kali ini ia mengitari ruangan demi ruangan. Kebanyakan hanya ruang kosong yang luas. Ada banyak rak-rak lemari berisi buku dan peralatan dupa sesajen.

Sampai ia berhenti di area belakang. Ada tembok yang memisahkan ruang luas dengan koridor yang sempit. Di situlah terdapat sebuah meja altar berbentuk persegi panjang.

Ia memperhatikan satu demi satu perintilan yang tergeletak di atas meja. Terdapat lembaran-lembaran tulisan Sansekerta, ada juga dupa, dan bejana air berisi serpihan kelopak bunga mawar merah putih.

Sedangkan Silla masih berdiri di belakang para warga yang sembahyang di teras. Sepanjang berdo’a ia memejamkan mata. Ketika di rasa cukup, ia membuka mata kembali. Ia menengok ke sekitarnya, heran ke mana sosok jurnalis itu menghilang. Lalu ia tergerak untuk mencarinya ke dalam rumah peribadatan.

“Aa?” serunya, terus mencari-cari. “Aa Mahesa…”

Silla belum pernah memasuki lebih jauh area rumah peribadatan. Saat masih kecil, ia hanya pernah singgah di area teras dan ruang depannya saja. Baru kali ini ia masuk lebih dalam. Ruangannya luas. Bau kemenyan yang bercampur kopi tercium kuat di udara.

Sejenak ia terhenti saat melihat lukisan besar di tengah ruangan. Lukisan itu menunjukkan sosok perempuan cantik yang memiliki pancaran aura bercahaya. Pakaiannya serba emas kekuningan, bermahkota tinggi besar, dan lengannya dibalut selendang tipis. Mungkinkah sosok tersebut yang dimaksud dengan Nyi Pohaci Sanghyang Asri?

Mulutnya menganga beberapa saat. Matanya tak berkedip sedikit pun. Bagai tersihir oleh penggambaran sang dewi yang amat mempesona. Lukisan itu dipajang di atas meja altar khusus berisi dupa-dupa dan sesajen bunga.

Lalu ia teringat tujuannya masuk ke dalam rumah peribadatan. Ia sedang mencari-cari keberadaan Mahesa. Ia kembali menelusuri ruang demi ruang yang sepi.

Sampai akhirnya ia menemukannya di area belakang.

Silla segera menegurnya, “Aa… ngapain di sini? Dari tadi saya cariin…”

“Teh… cepetan ke sini. Ada yang mau saya tunjukkin,” ujar Mahesa sambil melambai-lambaikan tangan ke arahnya.

“Kenapa Aa?” tanya Silla seraya menghampirinya.

“Lihat deh. Ada yang aneh…” bisik Mahesa. Ia menunjuk gambar-gambar yang tergeletak di antara lembaran tulisan kuno di meja.

Silla mengernyit saat mencoba memahami apa yang ia maksud. Terdapat ilustrasi gambar makhluk-makhluk hitam seram bertaring dan bermata merah.

“Ini Teh… yang saya maksud sebagai makhluk Lelepah,” ujar Mahesa.

Silla menatapnya heran. Lalu bertanya, “Memangnya yakin seperti ini sosoknya?”

“Mirip-mirip begitu sih,” ujar Mahesa. “Tapi ngapain si Bu Makar nyimpen gambar-gambar seram begini di rumah peribadatan?”

“Iya juga sih. Aneh ya…” gumam Silla.

Mahesa mengutarakan pemikiran kritisnya, “Masa’ tempat suci begini nyimpen sesuatu yang bertabrakan sama filosofi kesakralannya?”

Silla jadi teringat Mahesa pernah membicarakannya; yaitu adanya kemungkinan makhluk Lelepah di desa ini. Mengingat sesajen yang digunakan saat tradisi ada yang berupa darah ayam. Ia pikir; bisa jadi ada kaitannya.

Saat membicarakannya lagi, kali ini mereka serentak merinding. Bak ada bayang-bayang hitam yang berlarian di antara bilik ruang-ruang yang gelap.

“Aa… ngerasa enggak sih, seperti ada yang lewat?” bisik Silla.

Mahesa mencuri pandang ke sekitarnya. Lalu ia mengangguk dan balas berbisik, “Iya, Teh. Bulu kuduk aku berdiri semua ini…”

Tak lama kemudian, datanglah Bu Makar. Sepertinya acara sembahyang sudah usai. Ketika melihat mereka berduaan saja di ruang belakang, beliau langsung menegur, “Ngapain kalian di sini? Ada yang kalian mau cari?”

“Oh, enggak, Bu… kita cuma…” suara Mahesa terlalu gugup untuk menjawabnya.

Silla segera bantu menjelaskan, “Kita cuma numpang lihat-lihat kok, Bu.”

Bu Makar tersenyum datar. Beliau nampaknya tak suka melihat mereka asal menyelonong masuk tanpa izin. Apalagi sepertinya ini bukan ruangan untuk orang umum.

“Saya dengar dari warga, kalian yang menemukan jasad anak itu. Terima kasih ya sudah bantu melapor dan mengantarkan,” ujar Bu Makar. “Prosesi sembahyangnya baru saja selesai. Para warga mau ngantar jasad anak itu ke pemakaman sekarang.”

“Sama-sama, Bu. Sudah sepatutnya kita ikut bantu apa yang kita bisa,” tutur Mahesa.

Bu Makar gantian menengok ke Silla. Lalu berbicara padanya, “Teh Silla, tadi Abah Didin dan Ambu Kosasih datang menemui saya.”

“Oh, iya… saya sudah diberitahu Ambu,” ucap Silla.

“Karena pertemuannya jadi tertunda, saya suruh mereka nunggu di rumah saya. Sekarang saya mau pamit dulu menemui mereka,” jelas Bu Makar. “Kalau kalian sudah tidak ada kepentingan di sini, saya mau tutup tempat ini.”

“Sebelum pamitan, ada yang mau saya tanyakan sedikit, Bu,” sahut Mahesa.

Bu Makar menatapnya was-was. Sepertinya beliau masih bersikap agak antipati terhadap jurnalis dari luar kota tersebut.

“Saya tadi lihat-lihat di sini. Saya jadi penasaran, isi sesajen yang biasa digunakan sembahyang, apa sama dengan yang dipakai tradisi kemarin?” tanya Mahesa.

Bu Makar menyunggingkan setengah senyuman. Raut wajahnya terkesan mengejek.

“Yang namanya wartawan memang suka kepingin tahu banyak hal ya,” gumam beliau.

Mahesa terkekeh canggung seraya mengusap-usap kepalanya. “Maklum, Bu… saya datang ke mari memang lagi riset.”

 “Biasanya sesajen yang saya buat berisi potongan kelopak bunga mawar merah dan putih, bunga kenanga, kanthil, melati. Ramuan airnya saya campur dengan air beras, garam, daun sirih, dan kayu secang.”

“Wah, banyak juga ya,” gumam Mahesa.

Bu Makar lanjut berkata, “Sama saja sih yang dipakai pas sembahyang dan tradisi kemarin. Bedanya kalau pas tradisi khusus seperti Tembung Lakar, kita ada tambahan buah-buahan segar, dan…”

“Darah?” sahut Mahesa.

Silla meliriknya tertegun. Apakah jurnalis itu sengaja memancing amarah beliau?

Bu Makar menanggapinya dengan santai, malah terkekeh. Lalu beliau menegurnya, “Si Aa ini kok sepertinya terobsesi ya sama darah. Apa-apa yang ditanyakan pasti menyangkut sesajen darah. Sudah ada beberapa warga yang melapor ke saya loh. Mereka merasa resah dengan pertanyaan si Aa ini.”

“Ma… maaf, Bu. Saya enggak bermaksud menyinggung orang-orang kok,” ujar Mahesa.

“Bisa-bisa nanti si Aa diusir langsung sama Kang Dadang,” timpal Bu Makar.

“Wah, jangan sampai dong ya! Saya sudah izin sama beliau kok mau riset di desa. Dan syukurnya, respon beliau baik kok sama saya!” sahut Mahesa, meyakinkannya.

“Syukurlah kalau memang begitu. Tapi jangan sampai membuat kegaduhan,” nasihat Bu Makar.

Sepertinya beliau menyadari tatapan Mahesa yang menaruh kecurigaan padanya. Apalagi sampai sekarang, jurnalis itu masih nekat mempertanyakan perkara sesajen darah.

“Sekali lagi saya beritahu buat si Aa; kita pakai darah ayam cemani buat sesajen tradisi kemarin,” ucap Bu Makar.

Spontan Mahesa bertanya, “Apa Bu Makar belajar semacam ilmu hitam, ya?”

Silla langsung menyikutnya. “Shush, Aa! Enggak sopan pertanyaannya!”

“Teu Nanaon, Teh Silla. Biarkan saja,”[1] ujar Bu Makar, tertawa kecil.

“Punten ya, Bu. Saya sekedar penasaran saja sih. Soalnya saya dengar-dengar, kalau pakai ayam cemani itu berarti ilmu hitam,” celoteh Mahesa. “Apa kepercayaan di tempat ini menganut ilmu mistik yang cenderung hitam gitu?”

Mahesa sengaja memojokkan beliau. Barulah kali ini beliau tersinggung dengan tuduhannya.

“Begini ya, Aa… kalau mau ngomong itu jangan sembarangan. Apalagi membuat pernyataan yang bisa menggiring opini masyarakat nantinya,” tegur Bu Makar. “Si Aa ini kan seorang jurnalis koran. Jadi harus bisa bertanggung jawab dengan informasi yang Aa bakal sebarkan nanti.”

“Saya selalu nulis segala sesuatu berdasarkan fakta kok, Bu,” balas Mahesa. “Saya orang yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan saya.”

“Baguslah kalau memang begitu. Semoga si Aa bisa nulis hal-hal yang baik mengenai kampung kami di sini,” ujar Bu Makar.

Senyuman ketus beliau terkesan seperti peringatan kali ini. Tak hanya Mahesa yang menyadarinya, namun juga Silla.

Setelah percakapan usai di antara mereka, Bu Makar pamit pulang. Beliau akan menemui kedua orang tua Silla yang sudah menunggu di rumahnya.

Karena tidak ada yang menggantikan beliau untuk berjaga di rumah peribadatan, maka beliau ingin menguncinya. Silla dan Mahesa pun kembali melakukan perjalanan menuju ke desa para nelayan.

 

[1] Teu Nanaon: Tidak apa-apa (Sunda)

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mask of Janus
19276      3325     9     
Fantasy
"Namun, jangan pernah memberikan topeng kepada mereka yang ingin melakukan hal-hal jujur ... karena mereka akan mengambil dunia dari genggamanmu." Vera van Ugde tidak hanya bermain di depan layar sebagai seorang model internasional, tetapi juga di belakang layar di mana dunia gelap berada. Vera adalah seorang mafia. Hanya saja, sekelompok orang--yang memanggil diri mereka sebagai par...
Bilik Hidup
646      439     0     
Short Story
Malam itu aku mabuk berat usai menenggak sebotol vodka dan tempe mendoan. Bersama teman lamaku, aku bercinta dengan seorang gadis yang pernah kutemui beberapa waktu silam.
Cerita Cinta anak magang
457      290     1     
Fan Fiction
Cinta dan persahabatan, terkadang membuat mereka lupa mana kawan dan mana lawan. Kebersamaan yang mereka lalui, harus berakhir saling membenci cuma karena persaingan. antara cinta, persahabatan dan Karir harus pupus cuma karena keegoisan sendiri. akankah, kebersamaan mereka akan kembali? atau hanya menyisakan dendam semata yang membuat mereka saling benci? "Gue enggak bisa terus-terusan mend...
Praha
300      183     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.
Pesta Merah
486      343     1     
Short Story
Ada dua pilihan ketika seseorang merenggut orang yang kamu sayangi, yaitu membalas atau memaafkan. Jika itu kamu dan kamu dapat melakukan keduanya?, pilihan manakah yang kamu pilih?
Let's Play the Game
309      264     1     
Fantasy
Aku datang membawa permainan baru untuk kalian. Jika kalian menang terima hadiahnya. Tapi, jika kalah terima hukumannya. let's play the game!
Persinggahan Hati
2056      833     1     
Romance
Pesan dibalik artikel Azkia, membuatnya bertanya - tanya. Pasalnya, pesan tersebut dibuat oleh pelaku yang telah merusak mading sekolahnya, sekaligus orang yang akan mengkhitbahnya kelak setelah ia lulus sekolah. Siapakah orang tersebut ? Dan mengakhiri CInta Diamnya pada Rifqi ?
Memento Merapi
21176      2180     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Dark Shadow
358      230     5     
Horror
Tentang Jeon yang tidak tahu bahwa dirinya telah kehilangan Kim, dan tentang Kim yang tidak pernah benar-benar meninggalkan Jeon....
Bulan di Musim Kemarau
419      300     0     
Short Story
Luna, gadis yang dua minggu lalu aku temui, tiba-tiba tidak terlihat lagi. Gadis yang sudah dua minggu menjadi teman berbagi cerita di malam hari itu lenyap.