Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tembung Lakar
MENU
About Us  

Bab 9. Kematian Beruntun

 

Esoknya tersiar kabar duka. Ada warga yang meninggal setelah pulang dari acara semalam. Ternyata kabarnya, bapak-bapak yang kemarin pingsan itu yang mati.

Semakin mengejutkan setelah diketahui penyebab kematiannya; yaitu karena bunuh diri. Silla heran mengapa banyak orang di Kampung Jinem yang mati karena bunuh diri?

Silla jadi terngiang kejadian jaman dulu. Ia pernah menyaksikan seorang petani bernama Pak Samir menyayat lehernya sendiri. Lalu hal yang serupa menimpa adiknya. Tak lama, orang-orang di desa juga mati secara beruntun.

Apakah peristiwa yang berulang ini sekedar kebetulan? Setelah tradisi Tembung Lakar diadakan, ada saja penduduk yang mati. Peristiwa yang serupa dengan kejadian empat belas tahun yang lalu.

“Mana mungkin orang bunuh diri tanpa alasan yang jelas?” gerutu Silla saat menemani ibunya di dapur.

Sambil mencuci piring, ibunya menyahut, “Bukan urusan kita. Enggak perlu dibahas.”

Silla menghela nafas. Ia masih saja menggerutu, “Tapi kan aneh. Jaman dulu ada kejadian begini juga. Jadi apa penyebab sebenarnya?”

Belum sempat ibunya mendebatnya, ada yang mengetuk pintu rumah. Silla segera membukakan pintu depan. Ternyata Mahesa yang datang bertamu.

“Pagi, Teh,” sapa Mahesa. “Sudah dengar kabar belum? Ada yang—”

“Iya, bapak-bapak yang kemarin pingsan di acara, dia meninggal dunia,” sahut Silla.

Mahesa menyeringai canggung. “Boleh saya numpang ngopi di sini?”

Silla mencuri pandang ke dapur. Ibunya baru selesai mencuci piring.

“Saha, Teh?” seru ibunya.

“Mahesa. Jurnalis yang kemarin bantuin bawa makanannya Ambu,” jawab Silla.

Seketika ibunya merengut tak senang. “Ngapain ke sini?”

Mahesa yang mendengar percakapan mereka, segera menyeru, “Pagi, Ambu! Boleh saya numpang ngopi? Sekalian mau ngobrol sama Teh Silla—”

Silla terkekeh mendapati wajah cemberut ibunya.

“Dasar wartawan enggak tahu malu. Bisanya minta kopi gratisan,” gerutu Ambu seraya melengos pergi.

Setelah ibunya keluar ke pekarangan belakang, Silla mempersilahkan Mahesa masuk ke rumah. Sedangkan ayahnya masih tidur pulas di kamar.

Silla lanjut membuatkan dua cangkir kopi. Lalu menyajikannya di meja makan. Keduanya ngopi bersama sambil membicarakan kabar terbaru di Kampung Jinem.

“Katanya, bapak-bapak itu meninggal pas menjelang tengah malam,” ujar Mahesa.

“Yang namanya mati dan hidup seseorang, sudah jadi rahasia Tuhan,” gumam Silla.

“Apa bisa dibilang begitu kalau kasusnya bunuh diri, Teh? Berarti kan ada unsur kesengajaan,” tutur Mahesa.

Silla sempat tertegun sejenak saat mendengar perkataannya. Lalu ia berkata, “Saya jadi kepikiran sama omongan Aa kemarin. Apa kecurigaan Aa memang ada benarnya?”

“Sepertinya ada yang janggal sama tradisi Tembung Lakar kemarin,” ucap Mahesa.

Silla mempertanyakannya, “Menurut Aa, apa yang janggal?”

Sejenak Mahesa meneguk kopinya. Saat saling bertatapan lagi, ekspresinya terlihat lebih serius.

“Saya sudah banyak nggali informasi. Baik yang ada di internet dan melalui pengamatan saya langsung di desa ini,” ungkap Mahesa. Mengingat profesinya memang seorang jurnalis, sudah menjadi nalurinya untuk lebih up-to-date dalam mengetahui sesuatu.

Sedangkan Silla sudah lama tidak mengikuti kabar terakhir yang ada di desa ini. Kesibukannya sehari-hari hanya seputar dunia kantor.

“Tiap tahun ada laporan kematian beruntun di Kampung Jinem,” ujar Mahesa.

Silla mengernyit kaget.

“Yang terakhir, baru kejadian tiga bulan yang lalu,” tambah Mahesa. “Saya sudah mengonfirmasi langsung kebenaran beritanya sama Kang Dadang.”

Silla berkata, “Kepala desa yang sekarang, ya?”

Mahesa mengangguk. “Iya, Teh.”

Percakapan ini membuat Silla jadi kepikiran. Peristiwa nahas tersebut seakan seperti direncanakan. Namun karena penduduk setempat sangat tertutup terhadap orang luar, maka berita yang beredar terdengar seperti kasak-kusuk.

Para penduduk juga diam-diam saja saat peristiwa itu terjadi. Seakan bukan sesuatu yang mengejutkan lagi. Kematian beruntun seperti itu terkesan seperti terstruktur.

“Mungkin ada pencucian otak dibalik kejadian ini,” ucap Mahesa.

“Saya ingat, Aa pernah bilang begitu,” gumam Silla.

“Masih ingat juga kan, Teh? Siapa yang saya curigai?” tanya Mahesa.

Silla sempat menatapnya tak berkedip. Lalu ia berkata, “Bu Makar?”

Mahesa terlihat was-was saat ia menyebutkan nama kepala adat itu.

“Punten, Teh… sebenarnya saya belum cerita semuanya sama Teteh,” tutur Mahesa. “Kedatangan saya ke mari memang sengaja untuk suatu alasan. Enggak sekedar nulis artikel buat kolom koran.”

Entah mengapa saat jurnalis itu berbicara begitu, jantung Silla berdegup kencang.

“Karena saya percaya sama Teteh, sepertinya saya bisa jujur di sini,” ujar Mahesa. “Semoga Teteh bisa jaga kerahasiaan saya ya.”

“Memangnya ada apa, Aa?” tanya Silla, heran.

“Saya ingin mengungkap kematian misterius rekan kerja saya. Namanya Bima. Dia pernah cari berita di desa ini tahun lalu,” ungkap Mahesa.

Silla seketika tertegun. Sungguh ia tak kepikiran; dibalik wajah ceria jurnalis itu, ternyata dia menyimpan rahasia yang menyedihkan.

“Serius, Aa?” tanya Silla.

Mahesa mengangguk hening.

“Berarti agenda kita sama ya,” gumam Silla. “Ternyata ada kematian orang yang mau Aa ungkap di sini. Saya pun begitu. Saya ingin mengungkap kematian adik saya.”

“Kita bakal paham apa yang sebenarnya terjadi, kalau kita ngerti fenomena dibalik kematian beruntun orang-orang di desa ini,” ujar Mahesa.

“Benar, saya juga mikir kalau adik saya termasuk korban akibat fenomena aneh itu,” ujar Silla. “Apa mungkin kasus bunuh diri bisa menular ya, Aa?”

“Saya sih belum pernah dengar ada kejadian begitu selain di desa ini, Teh,” tutur Mahesa. “Mesti digali lagi, kenapa mereka bisa sama-sama kepikiran buat bunuh diri.”

“Apa semacam penyakit psikis yang bisa menular ya?” tanya Silla, menerka-nerka. “Kadang orang kesurupan saja bisa nular. Makanya ada kesurupan massal.”

Mahesa mendebatnya, “Ini kan beda kasusnya, Teh. Bunuh diri hal yang fatal banget. Harus dicari penyebabnya. Apa ada doktrin yang ditanamkan sama orang-orang di desa? Sehingga mereka jadi melakukan hal yang enggak sewajarnya.”

“Doktrin?” gumam Silla. “Makanya si Aa bilang semacam pencucian otak, ya?”

Mahesa mengangguk. “Iya, seperti itulah.”

Sejenak mereka berdiam diri, menikmati sajian kopi pada cangkir masing-masing.

Beberapa saat kemudian, Mahesa melanjutkan obrolan, “Teh Silla, apa pernah ngomongin perkara kematian misterius adiknya si Teteh sama orang tua?”

Silla sontak menatapnya tertegun. Ia tak menyangka, Mahesa akan melempar pertanyaan semacam itu padanya.

“Enggak pernah lagi, Aa,” gumam Silla.

Ia ingat pernah mempertanyakan kedua orang tuanya mengenai kematian janggal adiknya. Namun kini ia terlalu takut untuk membahasnya. Ia masih heran mengapa adiknya bersikap bak orang kerasukan yang menyayat lehernya sendiri. Ketika ia membahasnya, ayah dan ibunya sangat marah.

Mereka ingin Silla merelakan kepergian Mutia. Seperti halnya mereka; mampu merelakan orang tersayang yang tiba-tiba saja meninggal. Orang tuanya tak mau ia membesar-besarkan lagi perihal tersebut.

“Mereka enggak suka ngebahas yang sudah berlalu,” ucap Silla.

“Saya turut berduka cita ya, Teh,” tutur Mahesa, bersimpati. “Pasti sedih banget ditinggal adik tersayang.”

Silla tersenyum kaku dan berkata, “Makasih Aa. Saya juga turut berduka cita buat rekan kerjanya si Aa. Namanya Bima, ya?”

Mahesa mengangguk. “Iya, Teh. Bima juga seorang jurnalis seperti saya.”

“Apa temannya Aa itu meninggal di desa ini?” tanya Silla.

Mahesa mengerucutkan bibirnya sejenak. Ia mengingat-ingat kejadian yang memilukan setahun lalu.

“Meninggalnya sih bukan di sini, Teh. Tapi kejanggalannya dimulai di Kampung Jinem, saya yakin,” tutur Mahesa. “Bima ditemukan mati gantung diri di apartemennya di Jakarta.”

Silla sampai bengong saat mendengar ceritanya.

“Kok aneh sih, Aa? Apa mungkin ada penyebab lain? Kan bukan di desa ini temennya Aa meninggal,” ujar Silla, mencoba berpikir logis dahulu.

“Bima mati setelah pulang dari ngikutin tradisi Tembung Lakar di desa ini,” cerita Mahesa, wajahnya terlihat sedih. “Harusnya waktu itu saya yang ditugaskan sama pimpinan redaksi buat ke sini. Tapi berhubung ada acara keluarga, Bima menggantikan saya. Jadi saya ngerasa berhutang budi banget sama dia.”

Silla menatapnya terdiam. Dalam hati, ia turut bersimpati.

“Mungkin… bisa jadi saya yang harusnya mati, kan?” gumam Mahesa, terkekeh pasrah.

“Ih, enggak boleh Aa ngomong begitu,” sahut Silla, tegas. “Hanya Tuhan yang bisa menakdirkan kematian. Tapi memang penyebabnya itu yang bisa beda-beda.”

“Bima orang yang selalu ceria, Teh. Dia sama sekali enggak ada permasalahan waktu itu. Jadi semua orang kaget pas tahu dia mati gantung diri. Aneh saja, kan?” ujar Mahesa.

Lantas Silla menanyakan, “Apa yang membuat Aa mikir kalau kematiannya ada hubungannya sama desa ini?”

“Ada catatan yang dia punya pas nyari info di desa ini. Isinya mengenai darah persembahan,” tutur Mahesa.

Silla berujar, “Makanya si Aa nekat mau cari info tersebut ya? Dari kemarin kan yang ingin ditanyakan mengenai; apakah ritual di desa pakai darah manusia atau darah ayam?”

Mahesa balas berkata, “Seperti yang Teteh dengar sendiri dari Bu Makar, bilangnya sih pakai darah ayam cemani. Tapi menurut mitos, Teh… kalau ritual pakai sesajen begituan, ada kaitannya sama ilmu hitam.”

Silla mengernyit setelah mendengarnya. “Masa’ sih, Aa?”

“Saya pernah wawancara praktisi supernatural di kota, katanya sih begitu,” ujar Mahesa. “Jadi saya mikir; kematian si Bima ini semacam penyakit psikis yang bisa ditularkan.”

“Maksudnya apa ada kemungkinan; mendiang Bima dipengaruhi seseorang di desa ini buat bunuh diri?” ujar Silla.

Mahesa menatapnya tak berkedip. Silla langsung bergidik ngeri ketika mengerti maksud tatapan diamnya itu.

Dari pintu teras belakang, Ambu masuk membawa bakul berisi banyak ubi singkong.

“Teh Silla!” seru ibunya. “Bisa tolongin Ambu jualan ke pasar? Soalnya hari ini Ambu mau nganterin Abah ketemu Bu Makar.”

Silla dan Mahesa kompak menengok ke arahnya.

“Bisa, Bu. Tapi ngapain ke tempatnya Bu Makar?” tanya Silla, heran.

“Loh, kan kita mau dikasih air do’a sisa ritual semalam,” jelas Ambu. “Sekalian si Abah ingin silaturahmi sama beliau.”

Mahesa mengangkat tangannya seraya berseru, “Saya bisa temenin si Teteh ke pasar.”

“Kamu masih di sini ternyata?!” sahut Ambu, terkejut mendapatinya nongkrong di meja makan bersama anaknya.

Sebelum ibunya melabrak jurnalis itu, Silla cepat-cepat beranjak dari kursi. Ia mengambil alih bakul yang dibawa ibunya.

“Silla berangkat sekarang ya, Ambu,” pamitnya.

***

Menjelang siang, Silla membantu mengirim hasil panen umbi-umbian milik ibunya ke pasar. Rencananya untuk di jual ke desa sebelah, yaitu desanya para nelayan.

Mahesa ikut menemaninya saat itu. Mereka berjalan bersama menyusuri jalanan setapak di seberang sungai hutan desa.

“Sepertinya ibunya Teh Silla masih enggak suka sama saya ya?” tanya Mahesa, memulai obrolan lagi dengannya. “Seperti ngeliat kutu. Pingin cepat-cepat diusir.”

“Ibu saya terlalu banyak dengerin omongan warga, Aa. Jangan terlalu dimasukin ke hati ya,” ucap Silla. “Nanti juga kalau sudah kenal baik, bakal nerima Aa.”

“Duh, berasa seperti mau ngelamar si Teteh, saya,” celetuk Mahesa, terkekeh.

Silla langsung meliriknya geli.

“Eh, punten, Teh… saya enggak bermaksud aneh-aneh kok!” sahut Mahesa.

Mereka terus menyusuri tepi sungai dengan sabar. Saat itulah mereka dikejutkan oleh pemandangan tak sedap.

Silla sontak menjerit ketakutan saat menyaksikannya. Sedangkan Mahesa berdiri mematung di sebelahnya dengan mata membelalak.

“Ya ampun… ada… ada…” suara Mahesa bergemetar, begitu juga sekujur tubuhnya.

“ADA MAYAT!” teriak Silla. Saking terkejutnya, ia menjatuhkan bakul yang dibawanya.

Jasad kurus seorang laki-laki tergeletak di tepi sungai. Penampakan darah segar berceceran di tanah.

Semalam ada bapak-bapak yang meninggal. Kini ada lagi seorang remaja laki-laki. Kematian beruntun ini tak mungkin sekedar kebetulan saja. Fenomena ini terlalu janggal.

Mahesa mendekati jasad itu untuk memeriksa keadaannya.

“Anak ini sudah enggak bernyawa. Tapi masih hangat tubuhnya. Sepertinya meninggalnya barusan,” jelas Mahesa.

Aa… gimana nih?!” seru Silla, panik melihat banyak darah.

Mahesa mendongak ke arahnya. Mereka saling bertatapan canggung. Lalu ia berkata, “Kita harus melapor ke orang di desa, Teh.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Best Man
147      127     1     
Romance
Impian serta masa depan Malaka harus hancur hanya dalam satu malam saja. Dia harus menerima takdirnya. Mengandung seorang bayi—dari salah satu pelaku yang sudah melecehkan dirinya. Tidak mau dinikahkan dengan salah satu pelaku, karena yakin hidupnya akan semakin malang, Malaka kabur hingga ke Jakarta dalam kondisi perut yang telah membesar. Dia ditemukan oleh dua orang teman baik dari m...
They Who Cannot Be Seen
394      289     1     
Short Story
Ainsley and her family went for a trip, but "they" that we used to call as ghost or spirit came to disturb their family. Will they survive?
Rumah Laut Chronicles
2668      1134     7     
Horror
Sebuah rumah bisa menyimpan misteri. Dan kematian. Banyak kematian. Sebuah penjara bagi jiwa-jiwa yang tak bersalah, juga gudang cerita yang memberi mimpi buruk.
KELAM - CERITA DIBALIK PINTU 402
3170      1061     3     
Horror
Pai, Mahasiswi yang baru saja pindah ke sebuah apartemen murah namun super lengkap fasilitasnya yang berada persis di belakang kampus. Awalnya sih dia senang karena harga sewa yang menurutnya murah itu bisa membuat dia merasakan hidup mewah seperti teman-temannya itu. Sampai suatu hari, dia dikejutkan dengan beberapa kejanggalan seperti suara tangisan di malam hari, suara kaca jendela yang sepert...
SEBOTOL VODKA
651      378     3     
Mystery
Sebotol vodka dapat memabukanmu hingga kau mati...
Marry Ghost
663      438     5     
Short Story
Setelah Furry pindah sekolah banyak sekali kejanggalan yang dialami dirinya, bersama sahabatnya, Channy dia bias melihat makhluk tak kasat mata. Mau tau kelanjutannya? yuk baca
Teru Teru Bozu
591      346     2     
Short Story
“Teru-teru bozu, make tomorrow into a bright day and i’ll bring you something”
Aria's Faraway Neverland
3706      1222     4     
Fantasy
"Manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri." Aria adalah gadis penyendiri berumur 7 tahun. Dia selalu percaya bahwa dia telah dikutuk dengan kutukan ketidakbahagiaan, karena dia merasa tidak bahagia sama sekali selama 7 tahun ini. Dia tinggal bersama kedua orangtua tirinya dan kakak kandungnya. Namun, dia hanya menyayangi kakak kandungnya saja. Aria selalu menjaga kakaknya karen...
Pesta Merah
486      343     1     
Short Story
Ada dua pilihan ketika seseorang merenggut orang yang kamu sayangi, yaitu membalas atau memaafkan. Jika itu kamu dan kamu dapat melakukan keduanya?, pilihan manakah yang kamu pilih?
The Eternal Love
21204      3190     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...