Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tembung Lakar
MENU
About Us  

Sudah hari yang keempat Silla menginap di rumah orang tuanya. Hari itulah diadakan tradisi yang dinantikan para warga di desa.

Sabtu itu Silla bersiap membantu ibunya untuk keperluan acara. Ibunya ingin ikut menyumbang makanan dalam kegiatan tradisi.

Tidak hanya mereka, para tetangga juga bangun pagi untuk bersiap. Acara akan diselenggarakan di pekarangan depan rumah peribadatan nantinya.

Kepercayaan rata-rata warga di Kampung Jinem masih menganut animisme. Hari itu mereka akan melakukan tradisi persembahan sesajen kepada Sanghyang Asri, yaitu sang dewi padi. Sosoknya dipercaya pernah datang ke desa ini, memberikan berkah kesuburan bagi tanah dan hasil tanaman bumi para petani.

Saat jalan bersama kemarin, Silla sempat menunjukkan di mana posisi rumahnya pada Mahesa. Lokasinya tak jauh dari ladang pertanian.

Jurnalis itu sudah datang di teras rumah orang tua Silla. Seperti janjinya kemarin, laki-laki berponi itu ingin membantu apa yang bisa ia bantu.

“SELAMAT PAGI, TEH SILLA!” seru Mahesa dengan wajah cerianya.

Silla dan ibunya sama-sama terkejut dengan suaranya yang terlewat nyaring.

Ibunya mengernyit dari balik jendela dapur. Lalu berbisik, “Saha eta?”

“Oh, itu…” baru kini Silla teringat, ia belum memberitahu ibunya mengenai perkenalannya dengan jurnalis itu. Padahal kemarin ibunya sudah mewanti-wanti agar menghindari sosok asing itu.

“Saha?” tanya ibunya sekali lagi.

“Namanya Mahesa,” jawab Silla, tersenyum canggung. “Dia kenalan baruku di desa.”

Ibunya mengerjap kebingungan sambil bergumam, “Kok Ambu baru lihat. Apa dia orang pindahan baru?”

“PERMISI!” sahut Mahesa dari teras luar rumah.

Silla segera menemuinya dan menyapa, “Pagi Aa. Makasih ya sudah mampir.”

“Saya memang niat mau bantu-bantu ke sini. Sekalian pingin ditemenin pas nonton acara tradisinya nanti,” ujarnya, terkekeh. Raut wajahnya terlihat seperti malu-malu kucing.

“Ibuku baru selesai masak bubur lemu. Sudah disiapin semua rantangnya di meja. Aa bisa bantuin bawa ke tempat peribadatan,” ujar Silla.

“Siap, Teh! Laksanakan!” seru Mahesa.

Ibunya ikut menemui di teras. Beliau terus mengernyit penasaran pada sosok yang baru datang ke rumahnya itu.

“Saha? Si Aa orang baru di desa?” tanya Ambu.

Mahesa langsung menyeringai penuh semangat. “Selamat pagi, Bu. Saya jurna—”

Spontan Silla berdeham kencang, menarik perhatian keduanya.

Ibunya menatap heran padanya. “Kenapa si Teteh? Sakit tenggorakan?”

“Oh, enggak…” Silla menggeleng. Ia terlalu gugup untuk mengambil alih percakapan.

Mahesa segera meneruskan perkenalannya, “Saya Mahesa. Jurnalis koran Tempo Budaya. Hari ini saya mau nonton acara tradisi Tembung Lakar.”

Ambu membelalak tak percaya. “Jurnalis?”

Silla langsung membuang muka saat ibunya spontan meliriknya.

“Apa si Aa ini wartawan yang diomongin sama tetangga?” tanya Ambu, ingin memastikan.

“Duh, sudah berkali-kali saya ngomong sama warga. Saya bukan wartawan atuh. Saya ini jurnalis koran,” ujar Mahesa, mengoreksinya.

Ambu spontan menyahut geram, “Sama saja atuh! Yang pasti kamu datang mau cari-cari berita di desa, kan?!”

“Memang itu pekerjaan saya, Bu. Saya datang mau ngulik informasi mengenai tradisi Tembung Lakar,” jelas Mahesa.

Ambu melirik anaknya lagi, kini memperlihatkan kekesalan. Silla tak berani balas menatap mata ibunya saat itu. Namun ia merasa harus menjelaskan, “Mahesa niatnya baik kok, Bu. Dia mampir ke sini mau bantuin kita persiapan buat acara.”

Ambu menghela nafas. Pas sekali ada banyak rantang yang harus mereka bawa. Bakal butuh bantuan untuk membawanya semua ke tempat acara. Jadi beliau tak langsung menolak kedatangan jurnalis itu di rumahnya.

Setelah mendapat izin, Mahesa masuk ke dapur untuk mengambil rantang-rantang makanan tersebut. Sedangkan Silla membantu ayahnya bersiap. Beliau ingin ikut menonton acara di desa. Ibunya sudah menyiapkan kursi roda untuk ayahnya duduk.

Setelah semuanya siap, mereka berangkat bersama ke lokasi rumah peribadatan. Di sana para warga menyadari kehadiran Mahesa. Mereka berbondong-bondong menghampirinya. Wajah-wajah tak ramah yang menyambutnya itu membuat Mahesa jadi sangat gugup. Bak seorang kriminal saja, ia seperti hendak di sidang oleh mereka.

“Ngapain kamu di sini?! Pulang sana!” gertak salah satu bapak-bapak berkumis.

Ambu yang menyaksikan kegusaran warga, langsung menarik lengan anaknya. “Tuh kan, lihat? Banyak yang enggak suka sama wartawan itu.”

“Tak kenal maka tak sayang. Mereka kan belum kenal betul sama si Aa,” balas Silla.

“Ah, kamu mah belaiin saja. Jangan-jangan kamu naksir ya sama dia?” sindir Ambu.

“Ih, Ambu, apaan sih?” gerutu Silla.

Di sebelah mereka, si Abah malah terkekeh menyaksikannya. Si Abah ikut menimpali, “Sepertinya dia anak baik-baik. Benar kata si Teteh; tak kenal maka tak sayang.”

Kegusaran para warga masih berlangsung. Mahesa harus kembali menghadapi kemarahan mereka. Kali ini ada Silla yang ikut membelanya. Silla mencoba menenangkan para warga yang terus memaki laki-laki berkulit sawo matang itu.

Keributan itu akhirnya menarik perhatian Bu Makar selaku kepala adat. Beliau mendatangi mereka di pekarangan depan.

“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Bu Makar, menatap heran pada semua orang.

“Ada wartawan di sini!” sahut salah satu warga.

Warga yang lain ikut menimpali, “Pasti dia mau rusuh! Nanti dia bakal nulis berita jelek tentang kampung kita!”

“Sudah-sudah, jangan ribut terus!” seru Bu Makar, melerai mereka. “Kita kan hari ini mau melakukan tradisi suci. Pamali kalau kalian membuat keributan begini.”

Lalu Mahesa ingin memastikan, “Saya boleh ikut menonton acaranya, kan, Bu?”

Bu Makar tersenyum padanya. Lalu menjawab, “Boleh. Kan saya langsung yang kemarin ngundang si Aa buat datang.”

Mahesa menyeringai senang mendapati dukungan darinya. Akhirnya kegusaran para warga mereda. Ia sangat lega, dirinya tak jadi di usir. Ia pun lanjut mengikuti alur acara.

 Seharian penuh acaranya berlangsung meriah. Sampai matahari tenggelam, tradisi tetap berlanjut. Para warga sangat antusias menjalani ritual bersama. Ada do’a-do’a yang dipanjatkan. Ada juga prosesi lempar bunga-bunga ke tanah pekarangan.

Pemimpin desa juga ikut hadir merayakan acara bersama. Orang-orang akrab menyapa beliau dengan sapaan Kang Dadang.

Mereka berkeliling desa untuk menyiram air do’a, terutama ke ladang pertanian. Ritual dipimpin oleh Bu Makar selaku penerus ayahnya yang dulu seorang kepala adat juga.

Langit sudah gelap saat semua orang kembali ke tempat peribadatan. Lampu-lampu obor dinyalakan di pekarangan depan. Para warga lanjut menembangkan kidung sakral.

Kidung itulah yang terngiang-ngiang dalam pikiran Silla. Bahkan sampai terbawa mimpi selama belasan tahun. Sebuah kidung yang menurutnya mendatangkan malapetaka. Atau selama ini dirinya hanya berburuk sangka saja?

Silla masih ingat betul kejadian yang menimpa mendiang adiknya. Ia juga ingat beberapa orang kala itu mati beruntun setelah tradisi Tembung Lakar dilangsungkan. Apa semuanya hanya kebetulan semata?

Ia berharap; segala asumsinya itu salah. Mungkin saja dirinya terlalu berprasangka buruk terhadap kejadian di masa lalu. Namun jika benar; bakal selamanya ia kesulitan tidur nyenyak. Lalu bagaimana ia bisa menemukan kebenarannya?

Sedangkan yang paling ditunggu-tunggu oleh Mahesa saat itu hanya satu; sesajen darah. Masih saja ia ingin membuktikan informasi yang sekedar didapatnya dari internet. Ia penasaran akan kebenaran kasuk-kusuk tersebut.

“Kalau memang pakai darah…” bisik Mahesa di sebelah Silla, “mereka pakai darah apa, Teh? Itu yang patut kita ketahui. Apa benar pakai darah ayam seperti yang Bu Makar bilang?”

Akhirnya Silla menanyakan, “Kenapa sih Aa terobsesi banget? Perkara mereka mau pakai darah apa, memang urusannya apa sama Aa?”

“Loh, justru ini penting, Teh. Memangnya si Teteh enggak penasaran gitu?” balas Mahesa. “Apa si Teteh sudah nyerah mau cari jawaban dari kejadian di masa lalu?”

Seketika Mahesa mengingatkannya, Silla tertegun.

“Kalau saya sih bakal nulis artikel sesuai fakta di lapangan saja,” ujar Mahesa. “Kalau mitos sesajen darah manusia itu benar ada di sini, bakal jadi berita besar, Teh.”

Silla mengernyit bingung. “Maksud kamu?”

Mereka saling bertukar pandangan hening. Lalu Mahesa berbisik, nadanya lebih berhati-hati, “Berarti ada kasus kejahatan di desa ini, Teh.”

Silla semakin membelalak padanya.

Mahesa menambahkan spekulasinya sendiri, “Bisa jadi kan… kejadian empat belas tahun lalu ada sangkut pautnya?”

Silla termenung memikirkannya. Bisa jadi benar apa kata jurnalis ini. Namun bisa juga salah; dan malah hanya terkesan menuduh.

Lantas Silla menyangkalnya, “Kita enggak punya bukti yang valid buat ngomong begitu. Nanti jatuhnya malah cuma fitnah…”

Punten, Teh… tapi saya ini jurnalis yang berpikir kritis. Segala kemungkinan pasti ada. Makanya saya bakal cari jawabannya,” balas Mahesa. “Kalau infonya enggak benar, berarti kan tulisan-tulisan di internet mengenai desa ini salah kaprah. Dan saya juga bakal bantu meluruskan jika kasusnya begitu.”

Silla kehilangan kata-kata untuk mendebatnya. Ia sendiri sedang mencari jawaban juga mengenai peristiwa misterius di masa lalu.

Mahesa masih berkutat seputar mitos sesajen darah manusia. Sedangkan dirinya menyalahkan kidung mistis yang jadi penyebab kematian beruntun di masa lalu. Apakah lantas spekulasinya lebih tak masuk akal dibanding jurnalis itu?

Acara masih terus berlangsung malam itu. Sebagian warga menabuh gendang, sebagian yang lain menembangkan nyanyian sakral.

Silla lalu bertanya pada ibunya, “Acaranya apa masih lama ya?”

“Bisa sampai tengah malam baru selesai,” jawab Ambu.

“Si Abah apa enggak capek? Mau aku antar pulang saja?” tanya Silla, mencuri pandang pada ayahnya yang duduk di kursi roda.

“Lihat saja tuh, si Abah malah semangat banget dari tadi,” sahut Ambu.

Benar saja, ayahnya sedang ikut menembangkan kidung sakral bersama para warga.

Tiba-tiba terjadilah keributan. Silla dan Mahesa kompak menengok ke arah kerumunan warga. Ada seorang bapak-bapak yang tergeletak di tanah rerumputan. Para warga segera mengangkut tubuhnya ke dalam rumah peribadatan.

“Ada yang pingsan ya?” tanya Ambu yang sedang celingak-celinguk.

“Sepertinya begitu, Ambu,” ucap Silla di sebelahnya.

Awalnya situasi terlihat ramai. Tak lama kemudian, orang-orang kembali kondusif. Seakan kejadian tadi bukan masalah besar. Para warga terlihat sangat menikmati acara sambil menembangkan kidung.

Di antara kerumunan, seorang ibu-ibu berceletuk, “Ada yang mati! Dia mati—”

Spontan Silla dan Mahesa saling bertukar pandang saat mendengarnya.

“Mati?” gumam Silla.

Keduanya masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi.

“Apa diam-diam mereka ngerencanain sesuatu ya, Teh?” bisik Mahesa.

Silla mengernyit bingung padanya.

Jurnalis itu mulai berpikir kritis lagi, “Jangan-jangan bukan darah ayam cemani seperti yang dibilang Bu Makar kemarin. Tapi—”

Ambu yang mendengarnya langsung menegur, “Dasar wartawan. Bisanya nuduh-nuduh!”

“Ambu, shush!” sahut Silla, menenangkan ibunya. Ia tak mau sampai omongan Mahesa tadi menarik perhatian para warga. Sudah cukup drama saat awal mereka tiba di sini. Jangan sampai memicu keributan yang selanjutnya.

Silla kembali termenung diam saat menonton acara tradisi. Ia tak bisa berspekulasi gila seperti jurnalis koran itu. Ia takut jika berasumsi begitu malah sekedar membuat tuduhan tanpa landasan bukti yang jelas.

Lalu ia mendengar ada warga yang berseru, “Sudah siap darahnya kata Bu Makar!”

Warga yang lain balas menyahut, “Nunggu aba-aba dari Bu Makar dulu. Persembahannya bakal buat tengah malam nanti.”

Silla seketika tertegun mendengar obrolan mereka. Kali ini ia menengok ke Mahesa dengan tatapan was-was.

Aa… apa jangan-jangan omonganmu tadi ada benarnya ya?” bisiknya.

Mahesa tersenyum canggung. Lalu balas berbisik, “Bisa jadi, kan? Soalnya sejak tadi saya perhatikan, ada yang aneh, Teh.”

“Aneh gimana, Aa?” tanya Silla, semakin penasaran.

“Orang-orang seperti sudah siap pas ada yang pingsan tadi,” tutur Mahesa. “Mereka seperti enggak kaget gitu. Malah sigap.”

Silla mengingat-ingat omongan warga yang didengarnya tadi. Sepertinya memang ada yang aneh dengan sikap sigap mereka. Seakan situasi tadi bukan yang pertama kalinya pernah terjadi.

“Apa si Aa ini mau berhipotesis kalau bapak-bapak yang pingsan tadi—”

“Jangan-jangan dia mati. Bukan lagi pingsan,” balas Mahesa.

Silla membelalak saat mendengar ucapannya.

“Terus diam-diam darahnya diambil buat sesajen persembahan. Apalagi tadi kita dengar, ada warga yang bilang harus nunggu aba-aba dari Bu Makar dulu,” tambah Mahesa, membuat Silla jadi bergidik ngeri.

Silla terus menatapnya bak menonton tayangan horror. Mahesa lalu menyeringai seraya mengusap-usap canggung tengkuk lehernya.

“Udah, Teh. Jangan terlalu dipikiran omongan gila saya,” bisik Mahesa. “Bisa jadi salah, kan?”

Silla mengerjap. Lalu mengangguk-angguk.

“Saya cuma berspekulasi sendiri. Saya harus cari bukti-buktinya dulu,” tambah Mahesa. “Cuma memang firasat saya mengatakan… ada yang aneh sama tradisi ini.”

Silla kembali terdiam. Segala mimpi buruknya terngiang hebat. Kenangan suram saat ia menyaksikan kematian Mutia kembali membuatnya gundah. Rasa terror telah menghantui seluruh jiwa raganya malam itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
THE DARK EYES
718      404     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.
Dominion
191      157     4     
Action
Zayne Arkana—atau yang kerap dipanggil Babi oleh para penyiksanya—telah lama hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Perundungan, hinaan, dan pukulan adalah makanan sehari-hari, mengikis perlahan sisa harapannya. Ia ingin melawan, tapi dunia seolah menertawakan kelemahannya. Hingga malam itu tiba. Seorang preman menghadangnya di jalan pulang, dan dalam kepanikan, Zay merenggut nyawa untuk p...
Edelweiss: The One That Stays
2181      892     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Doa
442      321     3     
Short Story
Berhati-hatilah dengan segala pemikiran gelap di dalam kepalamu. Jika memang sebabnya adalah doa mereka ....
Mapel di Musim Gugur
457      327     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
Oscar
2263      1090     1     
Short Story
Oscar. Si kucing orange, yang diduga sebagai kucing jadi-jadian, akan membuat seorang pasien meninggal dunia saat didekatinya. Apakah benar Oscar sedang mencari tumbal selanjutnya?
Heya! That Stalker Boy
571      347     2     
Short Story
Levinka Maharani seorang balerina penggemar musik metallica yang juga seorang mahasiswi di salah satu universitas di Jakarta menghadapi masalah besar saat seorang stalker gila datang dan mengacaukan hidupnya. Apakah Levinka bisa lepas dari jeratan Stalkernya itu? Dan apakah menjadi penguntit adalah cara yang benar untuk mencintai seseorang? Simak kisahnya di Heya! That Stalker Boy
HAMPA
410      283     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Yang Terlupa
449      255     4     
Short Story
Saat terbangun dari lelap, yang aku tahu selanjutnya adalah aku telah mati.
Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah
908      538     8     
Short Story
Sobara adalah anak SMA yang sangat tampan. Suatu hari dia menerima sepucuk surat dari seseorang. Surat itu mengubah hidupnya terhadap keyakinan masa kanak-kanaknya yang dianggap baginya sungguh tidak masuk akal. Ikuti cerita pendek Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah yang akan membuatmu yakin bahwa masa kanak-kanak adalah hal yang terindah.