Hari ini seharusnya menjadi hari paling santai dan damai bagi Sabrina. Ia sudah merencanakan untuk hanya rebahan, menonton drama Korea, atau mungkin sekadar duduk di teras sambil menikmati segelas es teh manis buatan ibu. Tapi kedamaian itu seolah menguap ketika suara motor berhenti di depan rumah dan terdengar suara nyaring memanggil namanya.
“Assalamualaikum, Sabrina! Halo, Sabrina!”
Sabrina membuka tirai jendela dan terkejut melihat sosok yang tak asing tapi sudah lama tak ia temui—Nayla, teman sekolahnya waktu SMP.
“Nayla?!” serunya tak percaya. Ia segera keluar rumah.
“Lama banget, ya? Aku tadi nggak sengaja ketemu Kirana di hajatan desa sebelah. Dia bilang kamu lagi di rumah, ya udah deh aku mampir!” kata Nayla dengan senyum lebar.
Sabrina terkekeh. “Astaga, kamu masih aja spontan kayak dulu.”
“Yuk, ikut aku jalan-jalan! Masih pagi, udaranya seger banget. Sayang lho kalau cuma tiduran di rumah,” ujar Nayla dengan semangat.
Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Angin bertiup lembut, membawa aroma segar dari pepohonan, sementara sinar matahari menyentuh bumi dengan hangat yang menenangkan. Ajakan Nayla terdengar begitu menggoda.
“Boleh deh. Tunggu aku ganti baju dulu ya,” kata Sabrina sambil tersenyum kecil.
Tak lama, suara langkah Ibu terdengar dari arah dapur. Beliau melongok ke ruang tamu, matanya langsung tertuju pada tamu yang dikenalnya.
“Eh, Nayla, tumben pagi-pagi ke sini. Duduk dulu, atuh. Sudah lama nggak main, ya,” ucap Ibu ramah sambil menghampiri.
Nayla langsung berdiri dan menyalami Ibu dengan sopan. “Hehe iya Bu, maaf ya baru bisa main. Sekarang kerja di toko, jadi agak sibuk. Tadi ketemu Kirana pas di acara hajatan desa sebelah, katanya Sabrina lagi di rumah, jadi sekalian mampir deh, Bu.”
Ibu tersenyum senang mendengarnya. “Wah, alhamdulillah. Ibu senang banget kamu datang. Sudah lama juga ya kalian nggak ketemu.”
Tak berselang lama, Sabrina muncul dari kamarnya, menenteng helm putih sambil tersenyum lebar.
“Bu, Sabrin izin jalan-jalan dulu ya. Nggak lama kok, paling dua... hari,” canda Sabrina, disambut cubitan sayang dari sang ibu.
“Ah, dasar anak ini. Ya udah, hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa jaga diri, pulangnya jangan kemalaman,” pesan Ibu lembut.
“Iya, Bu,” jawab Sabrina serempak dengan Nayla.
Beberapa menit kemudian, Sabrina sudah duduk dibonceng motor matic milik Nayla. Angin pagi menyapa wajah mereka saat motor mulai melaju menuju suatu tak jauh dari desa. Tempat itu kini menjadi salah satu destinasi favorit, terkenal dengan spot-spot foto, deretan kafe lucu, dan toko oleh-oleh yang ramai dikunjungi wisatawan.
Hari itu Sabrina dan Nayla habiskan dengan berkeliling ke tempat-tempat aesthetic lain di daerah itu, hingga saat hari menjelang sore mereka memilih duduk di sebuah gazebo di pinggir danau. Sambil menyeruput minuman dingin, mereka larut dalam obrolan nostalgia dan cerita-cerita lucu masa sekolah.
Namun, ketenangan itu seketika sirna saat terdengar suara yang terlalu dikenali oleh Sabrina.
“Eh, aku nggak salah lihat, kan? Ini Sabrina? Ya ampun, masih cantik juga kamu, meskipun agak pucat ya sekarang,” kata seorang perempuan dengan nada yang menyebalkan.
Bukan nama yang sulit diingat. Apalagi sikapnya yang dikenal penuh drama dan senang mencari perhatian. Ia anak pemilik toko kelontong di desa.
Sabrina menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan sosok yang paling enggan ia temui di dunia—Ghianetta, atau yang akrab disapa Ghia. Di belakangnya berdiri dua sahabatnya, Utami dan Ita.
Ghia mengenakan atasan pink terang dengan celana oranye menyala, kalung emas mencolok tergantung di lehernya. Bibirnya dipoles lipstik merah dan bulu mata palsunya tampak berat.
“Ghia…” gumam Sabrina pelan, berusaha tersenyum kaku.
“Aduh, mulai deh,” bisik Nayla sambil menahan suaranya.
“Ya ampun, kalian berdua masih di desa? Kaget banget liatnya!” Ghia duduk seenaknya di sebelah Nayla tanpa diundang. Ia membuka kipas kecil elektrik dari tas mini-nya lalu menyalakan dengan gaya angkuh.
“Kebetulan mampir aja,” jawab Nayla ketus.
“Gimana kabarmu, Bri? Denger-denger kamu lagi di kampung terus ya sekarang. Belum balik ke kota, ya? Atau… belum dapat kerja?” tanya Ghia dengan alis terangkat.
Sabrina menarik napas. “Aku baik, Ghia. Lagi bantu-bantu di rumah aja sekarang.”
“Wah, keren dong. Tapi ya kamu harus cepet-cepet cari pasangan juga, Bri. Aku aja nih, pacarku baru beliin aku kalung emas ini, nih, cantik kan?” kata Ghia sambil memamerkan kalungnya.
Utami dan Ita terkikik kecil. “Iya, iya… Ghia emang paling hoki soal cowok,” ujar Ita.
“Ya iyalah. Cowok mana yang nolak aku?” Ghia mengibaskan rambutnya.
Sabrina tersenyum tipis. “Selama kamu bahagia, Ghia, aku ikut senang.”
“Tapi kamu masih sendiri kan, Bri? Jangan kelamaan, nanti keburu expired, loh,” sindir Ghia.
“Udah, Ghia, jangan nyindir gitu ah,” sela Nayla, mulai risih.
Sabrina berusaha tetap tenang. “Aku percaya semua ada waktunya. Jodoh juga kan misteri, Ghia.”
Sabrina menyesap es teh-nya sambil berdoa semoga percakapan ini cepat selesai.
“Kalian belum coba cari pacar gitu?” Ghia bertanya lagi dengan nada manis tapi menyindir. “Aku tuh ya... sekarang lagi deket banget sama anak Pak kades, loh. Namanya Gibran. Kamu pasti tahu deh. Dia tinggi, putih, pinter banget. Suka antar-jemput aku juga. Hihi.”
Sabrina melirik Nayla. Keduanya jelas tahu bahwa Gibran itu sebenarnya dikenal jutek dan pendiam. Mustahil dia tertarik dengan tipe seperti Ghia, yang genitnya kelewat batas.
“Tapi ya, aku sih nggak mau langsung nikah. Masih pengen bebas, jalan-jalan, shopping. Kayak minggu lalu aku ke Jakarta, ke mall itu loh, Grand Indonesia. Aku beli lipstik 300 ribu! Murce banget kan? Worth it lah buat yang punya kulit cerah kayak aku.” Ucap Ghia lagi.
Sabrina berusaha menarik napas dalam. Tapi Ghia belum selesai.
“Kamu beneran masih sendirian ya, Sab?” tanyanya lagi, tapi tajam. “Duh, padahal kamu cantik, loh. Tapi ya itu... mungkin karena kamu terlalu tertutup kali, ya?”
Sabrina tersenyum palsu. “Mungkin juga karena aku nggak nyari. Fokusku bukan itu sekarang.”
“Oh, iya, iya… beda prinsip, ya. Tapi jujur ya, aku tuh kadang mikir, kalo kita nggak punya pasangan di usia segini, kasihan banget gitu loh. Dunia tuh keras, Sab. Harus ada yang jagain,” kata Ghia sambil meletakkan tangannya di dada, berpura-pura bijak.
Nayla menggigit bibir, menahan kesal.
Sabrina menatap danau. Tangannya mengepal di bawah meja. Ia merasa seperti gadis kecil yang sedang diserang tanpa bisa membalas. Ghia benar-benar masih seperti dulu. Hanya semakin licin dan menyebalkan.
“Ayo, Nay. Udah makin sore,” ujar Sabrina akhirnya. Wajahnya mulai dingin, tak ada senyum lagi.
Ghia menatap Sabrina kebingungan. “Eh mau kemana… Tunggu aku mau dijemput Gibran, anak Pak kades itu loh. Naik motor gede. Kalian pulang jalan kaki?” Ghia tertawa kecil, seolah puas sudah menancapkan duri. Setelah basa-basi panjang lebar yang lebih banyak menyindir daripada menyapa.
Nayla menarik tangan Sabrina pelan. “Duh kuping ku kayak mau pecah Sab.”
Mereka meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat.
Baru setelah cukup jauh, Sabrina meledak. “Astaga, cewek itu nyebelin banget! Udah genit, pamer mulu, terus sok suci! Anaknya Pak kades? Please lah, kayaknya Gibran pun males ngeliat dia.”
Nayla tertawa pelan. “Kamu sabar banget tadi. Kalau aku, mungkin udah kubalikin mejanya.”
Sabrina mendesah. “Dulu aku pikir dia bakal berubah setelah dewasa. Ternyata makin menjadi.”
Hatinya kesal. Sekaligus kosong. Diingatkannya soal pacar, status, pasangan—semua itu menusuk ego dan luka yang masih tersembunyi rapi. Tapi ia tahu, ia tak ingin menjalani hidup seperti Ghia. Ia hanya... ingin hidupnya punya arah. Meski belum tahu ke mana.
Saat itu Nayla dan Sabrina memutuskan untuk pulang.
Sesampainya dirumah, Sabrina hanya bisa menghela napas. “Ya ampun, Ghia tetap menyebalkan.”
“Hahaha, sabar, sabar… Tapi seru sih tadi. Lain kali kita jalan lagi ya!” kata Nayla sambil melambai sebelum pergi.
"Oke, hati-hati ya Nay."
Setelah Nayla pergi, jam baru menunjukkan pukul empat sore. Mood Sabrina masih buruk. Ia memutuskan untuk pergi menyusul bapaknya ke kebun tanpa masuk ke rumah lebih dulu.
Langkahnya melambat ketika melewati kebun sayur pak Acep. Ada sosok yang menarik pandangan matanya—sosok tinggi dengan punggung lebar, sedang berkebun sendirian.
Dengan tangan kiri, pria itu melepaskan caping-nya dan menyeka peluh dari wajah. Cahaya sore memantul pada kulit legamnya, memperjelas bentuk rahangnya yang tegas, sorot matanya yang tenang, dan gerakan tangannya yang luwes namun tegas.
Sabrina terpaku.
Semua kekesalan yang sempat menghantuinya tadi, tiba-tiba menguap begitu saja.
Sabrina terpana. Astaga… itu anaknya pak Acep, kan? Aduh siapa ya namanya? Yang kemarin dikenalin Bapak… pikirnya. Tapi satu yang pasti, pria itu sangat tampan dengan kulit kecokelatannya yang membuat jantung Sabrina berdebar kencang.
Rizwan sejenak tersenyum memandang langit, lalu kembali mengenakan caping dan melanjutkan pekerjaannya. Sabrina cepat-cepat menunduk dan melanjutkan langkahnya.
Sesampainya di kebun bapaknya, Sabrina masih senyum-senyum sendiri.
“Lho, kamu kenapa, Sab? Senyum sendiri kayak orang jatuh cinta,” tanya sang bapak sambil menanam bibit.
“Enggak kok, Pak. Cuma… senang aja hari ini,” jawab Sabrina, menahan senyum lebar.
Begitu cepat perubahan mood Sabrina setelah melihat laki-laki tampan.