Kereta yang Sabrina tuju sudah tertera jelas di papan keberangkatan. Stasiun mulai dipenuhi manusia dengan koper-koper beroda yang bunyinya kayak suara sendal jepit putus diseret di aspal. Di salah satu sudut peron, berdirilah dua perempuan dengan koper pink tua dan dus Indomie penuh oleh-oleh.
Sabrina Ayla, dengan tas ransel gede yang hampir menyamai tinggi badannya, menatap rel panjang di depannya sambil menghela napas. Di sampingnya, Tania sudah siap dengan tissue kalau-kalau Sabrina mendadak mellow dramatis.
"Lo yakin gak mau gue anter sampe dalam, Sab?" tanya Tania sambil mencolek bahu Sabrina.
"Nggak usah. Nanti malah lo yang susah move on ninggalin gue," jawab Sabrina sok tegar, walaupun matanya agak berkaca-kaca. Tapi bukan karena mau nangis, lebih karena kelilipan debu stasiun.
Tania nyengir. "Jangan lupa kabarin kalo udah nyampe desa. Jangan ilang kaya mantan lo yang tiba-tiba gak ada kabar, terus balik-balik bawa pacar baru."
Sabrina mendecak sambil ambil tissue. "Gue gak bakal ilang, yang ilang itu cuma semangat gue tiap liat saldo rekening."
Mereka tertawa bersama. Tapi di balik tawa itu, Sabrina menyimpan rasa deg-degan. Perjalanan ini bukan sekadar pulang kampung. Ini semacam... pulang ke realita.
"Gue tuh takut, Tan," ucapnya pelan. "Takut balik cuma buat ditanya tetangga soal jodoh, kerjaan, dan kenapa gue makin putih padahal nggak pakai skincare mahal."
"Tenang," ujar Tania sambil tepuk pundak. "Kalau ada yang nyinyir, bilang aja lo mantan anak kota yang pulang buat memajukan desa. Sekali-sekali biar kampung ngerasain vibes urban life."
Sabrina tertawa, lalu menatap jam tangannya. Waktu tinggal beberapa menit sebelum keberangkatan.
"Lo yakin gak mau tinggal di Jakarta?" tanya Tania untuk terakhir kali.
Sabrina menggeleng. "Untuk sekarang, gue cuma yakin satu hal... gue butuh pulang. Butuh ketenangan. Siapa tahu di balik sawah dan kebun sayur mayur, gue bisa nemu semangat lagi."
Tania memeluk Sabrina erat. "Gue doain lo nemu apa yang lo cari. Termasuk kalau ternyata cinta lo ketemu di kebun atau sawah."
"Cih. Kalau ternyata jodoh gue tukang bajak sawah pun, yang penting hatinya gak bisa dibajak orang."
Mereka tertawa lagi. Kereta datang. Dengan langkah mantap dan napas yang agak berat, Sabrina naik ke gerbong. Sambil menarik koper dan membawa dus mie, ia pun berbisik dalam hati. "Jakarta, makasih atas pelajaran hidupnya... semoga kamu gak kangen aku."
Tak lama suara nyaring berbunyi seiring dengan kereta yang perlahan bergerak maju meninggalkan stasiun. Sabrina melambaikan tangan kearah sahabatnya yang sedang menahan tangis dari balik jendela gerbong.
***
Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, kereta akhirnya berhenti di stasiun kecil yang dikelilingi oleh gunung-gunung hijau dan semilir angin desa yang langsung bikin paru-paru Sabrina merasa seger kayak abis minum jamu beras kencur. Begitu turun dari gerbong, Sabrina langsung mendongak menatap langit.
"Wah... birunya langit desa beda, ya. Kayak nggak ada beban hidup."
Padahal jelas-jelas hidup Sabrina masih banyak PR-nya.
Dengan koper yang mulai aus rodanya, Sabrina menyeret langkah keluar stasiun. Matanya langsung menyipit, mencari sosok sang ayah yang katanya akan menjemput. Dan... di sanalah dia.
Satu mobil bak terbuka warna hijau lumut, dihiasi bekas stiker kampanye caleg tahun lalu yang belum dicopot. Di balik kemudi duduk lelaki berkaus oblong dan celana training lawas, sambil melambaikan tangan seperti menyambut rombongan artis ibu kota.
"Sabrinaaaa!" teriak sang Bapak sambil senyum lebar.
Sabrina tertawa, lalu berlari kecil menghampiri. "Pak! Hahaha... ini mobilnya masih awet juga ya!"
"Awet dong, ini mah udah kayak anak keempat Bapak. Gak pernah ngeluh, gak pernah minta skincare, cuma butuh oli tiap tiga bulan."
Dengan cekatan, bapak mengangkat koper Sabrina ke bak mobil. Lalu membuka pintu depan.
"Naik, Sab. Kita pulang. Ibumu udah siapin masakan spesial."
"Wah, ayo pak cepat pulang!" Mata Sabrina langsung berbinar.
Di perjalanan pulang yang melewati persawahan hijau, sapi-sapi berjajar damai melahap rerumputan segar, terlihat juga ramainya anak-anak kecil desa yang sedang bermain bola plastik.
Sabrina duduk dengan santai, sesekali menahan rambutnya yang diterpa angin semriwing. Koper dan dus Indomienya goyang-goyang di belakang mobil bak, tanpa ia peduli.
"Duh, suasana desa gini tuh... healing banget," ucap Sabrina sambil merentangkan tangan ke udara.
Bapak tersenyum sumringah melihat Sabrina menikmati kepulangannya.
"Bapak sehat?" tanya Sabrina pelan.
"Alhamdulillah, sehat. Ibumu masak banyak tuh, tahu kamu pulang hari ini," kata Bapak.
"Aduh... kangen banget masakan ibu!" Sabrina girang.
"Hehe, ya meski seadanya, tapi Ibumu seneng banget kamu pulang. Tadi semalem udah bersih-bersih rumah, nyapu ampe ke genteng."
Sabrina tertawa geli, "Ke genteng juga disapu, Pak?"
"Iya, katanya kali aja kamu mau nyantai diatas genteng," canda Bapak, yang langsung disambut tawa Sabrina.
Sepanjang jalan pulang, mereka melewati kebun-kebun dan sawah yang terbentang luas. Angin semilir masuk lewat jendela mobil. Sabrina meresapi tiap detiknya.
"Udah enak belum di kota?" tanya Bapak tiba-tiba.
Sabrina diam sebentar, lalu menghela napas.
"Enggak, Pak. Capek. Banyak yang palsu."
Bapak cuma mengangguk pelan.
"Ya udah, sekarang mah istirahat dulu di rumah. Urusan lain nanti bisa mikir belakangan."
Sabrina mengangguk. "Iya, Pak... pulang ke rumah dulu aja."
Setelah melewati panjang nya perjalanan, Sabrina akhirnya tiba disebuah pedesaan yang masih sangat asri. Desa Argasari.
Mobil bak terbuka yang dikemudikan Pak Jajang berhenti di depan rumah sederhana, Sabrina segera turun sambil mengibaskan rambutnya yang kusut terkena angin jalanan.
"Alhamdulillah ya Allah... akhirnya sampai juga. Pantat gue hampir copot duduk di mobil," gumamnya sambil memijat pinggang.
"Neng Kiranaaa... itu kakakmu datang!" teriak Bu Titi dari dalam rumah sambil masih mengenakan daster bunga-bunga dan memegang ulekan sambal. Suaranya lantang, bikin ayam tetangga pun kaget.
Pintu rumah terbuka, dan muncullah Kirana dengan kaos oversize bergambar boyband Korea dan celana pendek selutut. Ia langsung memeluk Sabrina setengah loncat.
"Teh Sabriii! Ih, kamu kurusan ya! Tapi makin cantik!" ucap Kirana sambil cengengesan, lalu nyolek pipi kakaknya.
Sabrina membalas pelukannya setengah malas. "Iya dong, Teh kamu kan hidup di kota, makan hati tiap hari."
"Ciyeee... yang katanya hidup di kota itu enak," goda Kirana sambil mengedipkan mata, lalu berbalik dan teriak ke dapur, "Ma, Kak Sabrina bawa koper segede kulkas!"
Bu Titi muncul, mengelap tangan di celemek dan langsung menghampiri Sabrina.
"Ya Allah, Neng Sabri... akhirnya pulang juga. Sini peluk dulu. Tumben pulang tanpa drama?" kata Bu Titi sambil memeluk Sabrina erat. Aromanya masih khas, wangi minyak kayu putih dan sambal terasi.
Sabrina hanya tersenyum, matanya sempat berkaca-kaca, tapi buru-buru ditepis dengan gaya. "Enggak mau nangis, nanti makeup luntur, bu."
Pak Jajang datang sambil mengangkat koper ke dalam. "Ini mah koper apa peti mati, beurat pisan..."
Sabrina melirik bapaknya sambil senyum. "Itu isinya masa depan, Pak. Jangan dijudge."
"Etapi... masa depan kok isinya baju-baju dan skincare?" celetuk Kirana dari ruang tamu, nyengir sambil main hp.
Sabrina mendesis, "Ya buat jaga-jaga, siapa tahu ada acara mendadak, nyanyi dadakan, atau ditaksir juragan sebelah."
Bu Titi tertawa kecil. "Eh, bisa aja. Tapi mending kamu istirahat dulu, Neng. Malam ini ibu masak kesukaan kamu, sayur asem, perkedel kentang sama ayam goreng!"
Mendengar itu, Sabrina langsung mendesah lega. "Akhirnya... makanan yang bener-bener bener. Bukan mi instan rasa 'keputusasaan' kayak yang sering aku makan di kos."
Pak Jajang hanya geleng-geleng sambil nyalain kipas angin di ruang tengah. "Tuh kan... enakan di desa."
Tak bisa dipungkiri, sejauh manapun Sabrina pergi ke tempat yang indah. Rumah tetaplah tempat yang nyaman untuk pulang.
Malam itu, meja makan rumah Pak Jajang tak seperti biasanya. Ada ayam goreng, sayur asem, sambal terasi, perkedel kentang dan kerupuk yang renyahnya bikin emosi mereda. Bu Titi menyajikan semuanya dengan senyum sumringah, seperti sedang menyambut tamu istimewa. Padahal cuma anak tengahnya yang baru pulang.
"Cepetan duduk, Neng. Ayam gorengnya masih anget. Bapakmu tadi minta dipotongin khusus buat kamu," ujar Bu Titi sambil menyendokkan nasi.
Pak Jajang duduk sambil mengipasi diri pakai tutup panci. "Lain kali kalau pulang, kabarin dari dua hari sebelumnya. Biar Bapak bisa potong ayam kampung langsung, bukan ayam beli."
"Bapak, ini aja udah enak banget," jawab Sabrina sambil tersenyum, matanya melirik ayam goreng bagian paha yang sudah sukses nangkring di piringnya. "Kayak pulang ke surga rasa sambal."
Kirana duduk sambil memainkan sendok, "Teh, nanti kalau aku manggung di hajatan depan kantor desa, ikut nonton ya! Sekalian ngevlogin aku."
"Wih, Kirana udah artis desa nih," ledek Sabrina. "Udah siap ditanya-tanya wartawan belum?"
"Aduh, wartawan mah belum. Tapi kemarin aku diminta nyanyi sama Pak RW langsung. Katanya suaraku kayak penyanyi TV, cuma versi murah meriah."
Tawa pun pecah. Teh Melati yang baru datang dari rumah mertuanya langsung bergabung sambil menggendong anaknya yang sedang tertidur. "Sabrina, kamu pulang itu pasti karena rindu kampung atau rindu disindir soal jodoh?"
Sabrina berhenti mengunyah.
"Kalau dua-duanya, boleh gak?"
"Boleh. Tapi jodoh itu, Neng, jangan dikejar. Kayak tomat aja. Kalau belum matang ya ngapain dipetik," sahut Pak Jajang bijak, tapi bahasanya tetap ala kadarnya.
Semua tertawa lagi.
Sabrina hanya tersenyum kecil. Di tengah obrolan dan piring-piring yang hampir kosong, ia merasa hidupnya mungkin belum sesuai rencana, tapi pulang ke rumah ternyata bagian dari perjalanan yang harus ia tempuh.
Dan diam-diam, ia mulai merasa... mungkin desa ini bagian terpenting dari perjalanan kehidupan Sabrina.
Atau ada hal yang memang telah ditetapkan tuhan untuk Sabrina, hanya ada disini.