Hujan baru saja reda ketika Sabrina Ayla melangkah ke tengah lapangan desa dengan percaya diri yang nyaris konyol. Rambutnya masih sedikit basah, sandal jepitnya bunyi "cepak-cepak", dan tangannya... terulur ke arah seorang pemuda yang bahkan belum tahu nama lengkapnya.
"Aku suka sama kamu. Gimana kalau kita pacaran? Oke?" katanya sambil tersenyum lebar, seperti baru saja menawarkan gorengan, bukan perasaan.
Rizwan Fatih—pemuda desa yang terkenal kalem dan susah ditebak ekspresinya—menatapnya sekilas. Hanya sekilas. Lalu menjawab datar, tanpa ragu sedikit pun.
"Punten, Teh. Tapi saya gak kenal dan gak suka sama Teteh."
Dan begitu saja, dia pergi.
Tidak ada drama. Tidak ada musik sedih. Hanya suara gemericik air hujan yang tersisa di ujung daun, dan jantung Sabrina yang berdetak lebih keras dari suara gong di acara hajatan.
“Ah, shit.” gumamnya lirih, menatap punggung pria itu menjauh.
Tapi bukan Sabrina Ayla namanya kalau langsung menyerah.
Kalau cinta butuh usaha, maka dia akan usaha sekuat tenaga.
Kalau Rizwan menolak sekarang, berarti waktunya menyusun strategi baru.
Mulai hari itu, Sabrina bertekad:
menaklukkan hati Rizwan dengan cara paling tidak biasa — lewat surat cinta yang dikirim diam-diam.
Misi dimulai.
Dan tidak ada jalan mundur.