Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta yang Berteduh di Balik Senja
MENU
About Us  

Langit Lembah Karas kini bersih dari asap dan jerit. Yang tersisa hanya angin sejuk dan sisa-sisa kemenangan yang terasa getir. Di tenda medis yang remang, Aurelia berbaring diam, luka-lukanya dibalut, jiwanya masih terombang-ambing antara sadar dan tidak.

Di sisinya, Ragas berjaga. Namun ketika langkah-langkah lembut terdengar mendekat, ia menoleh dan memberi anggukan kecil, lalu keluar tanpa suara.

Kael berdiri di ambang pintu tenda. Matanya menatap sosok yang begitu dikenalnya, namun kini tampak rapuh. Napas Aurelia masih berat, tapi tetap teratur. Kael duduk di sampingnya, pelan, seolah takut suara hatinya akan mengganggu ketenangan itu.

“Aku melihatmu bertarung... sampai titik darah terakhirmu. Dan aku hanya bisa berdiri... menonton.”

Tangannya menyentuh jari Aurelia yang dingin. “Kalau saja... aku bisa membawamu pergi dari semua ini. Tapi aku tahu, kamu tak akan pernah mau.”

Aurelia menggeliat pelan. Matanya terbuka sedikit demi sedikit, dan tatapan lemah itu langsung bertemu mata Kael.

“Kael...”

Suara itu nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Kael menggenggam jemarinya lebih erat.

“Aku di sini,” ucapnya lembut. “Sudah tak ada lagi yang perlu kau lawan malam ini.”

Aurelia tersenyum tipis meski bibirnya pecah. “Kamu datang juga akhirnya... dasar keras kepala.”

Kael terkekeh pelan. “Kamu juga.”

Mereka saling menatap dalam diam. Tak ada lagi strategi, tak ada siasat, hanya dua hati yang akhirnya berhenti berlari.

---

Beberapa bulan berlalu.

Kerajaan memasuki masa damai yang lama dinanti. Lazden ditangkap di perbatasan utara, dan konflik mereda dengan cepat. Rakyat mulai membangun kembali desa, dan pasukan-pasukan pulang ke keluarganya. Dalam sebuah upacara sederhana di halaman batu yang menghadap danau, Kael dan Aurelia mengikat janji.

Tak ada kemewahan. Hanya doa yang tulus, saksi dari rekan seperjuangan, dan langit sore yang merona jingga seolah alam pun ikut memberkati pernikahan mereka.

Ragas berdiri sebagai saksi utama, dengan senyum bangga yang sulit disembunyikan.

“Siapa sangka, dua pemimpin perang bisa juga saling menyerah... kepada cinta.”

Aurelia tersipu, dan Kael menatapnya dengan tatapan lembut yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang pernah kehilangan, lalu diberi kesempatan kedua.

---

Tahun demi tahun berlalu.

Di sebuah rumah batu yang menghadap ladang luas, tawa anak-anak bergema. Dua gadis kecil berlari di antara bunga liar, menyusuri tanah yang dulu disiram darah dan air mata. Yang satu rambutnya hitam, matanya tajam seperti ibunya. Yang satu lagi bermata cokelat lembut dan senang bertanya, seperti ayahnya.

Aurelia duduk di serambi, menganyam tali bunga untuk anak-anaknya. Sementara Kael menyiapkan minuman hangat di dapur kayu sederhana. Rumah itu kecil, tapi penuh kehangatan.

Mereka tidak lagi memakai baju zirah. Tapi setiap luka, setiap kenangan, telah berubah menjadi pijakan untuk hidup baru.

“Kamu ingat saat pertama kali kamu bilang aku keras kepala?” tanya Aurelia, tersenyum.

Kael tertawa. “Yang mana? Kamu bilang itu setidaknya sepuluh kali lebih dulu.”

“Tapi akhirnya kamu juga menyerah.”

Kael mencium kening istrinya. “Bukan menyerah. Aku memilih... untuk pulang.”

Dan hari itu, dengan dua putri kecil yang tertawa di ladang, dan cinta yang tumbuh dari bara peperangan, Kael dan Aurelia menutup lembar kisah mereka.

Bukan dengan pedang. Tapi dengan kedamaian. Dan cinta yang tak lagi tersembunyi di balik siasat dan badai.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags