Langit pecah di atas Lembah Karas. Ledakan demi ledakan membelah udara, disusul rentetan anak panah api yang meluncur dari atas tebing, menari di langit seperti bintang jatuh. Bebatuan besar digelindingkan dari puncak, menimpa pasukan musuh yang terkepung di dasar lembah. Jeritan, suara denting senjata, dan pekikan kuda saling bertabrakan membentuk simfoni perang yang menggetarkan bumi.
Di tengah kekacauan itu, Aurelia berlari menyusuri jalur sempit. Rambutnya berantakan, pelipisnya berdarah, dan pelat besinya penuh goresan. Tapi matanya mata seorang pemimpin masih menyala.
“Jangan biarkan mereka naik! Jebak mereka di dasar!” teriaknya, mengangkat pedang dengan tangan kiri. Tangan kanannya yang biasanya digunakan untuk bertarung terluka parah. Sabetan musuh hampir merobek bahunya, tapi ia tetap berdiri, tetap memimpin.
Tak jauh dari situ, Ragas bertarung dengan dua musuh sekaligus. Nafasnya tersengal, tapi ia tersenyum saat mendengar bunyi tanduk kemenangan dari arah timur.
“Mereka datang... kita tidak sendiri!”
Dari balik pepohonan, pasukan cadangan yang dipimpin Arven menerjang maju, menutup jalur mundur musuh. Lembah Karas berubah menjadi medan terkunci—tempat di mana kekacauan dibimbing menjadi kemenangan.
---
Namun, di balik tebing tertinggi, jauh dari pandangan pasukan, seseorang berdiri diam.
Kael.
Pria itu berbalut jubah kelabu, wajahnya tersembunyi oleh bayang-bayang topi baja ringan. Ia tidak datang sebagai penyusup, tidak pula sebagai musuh. Hanya... seorang pria yang tak bisa lagi menahan jarak.
Ia telah mengikuti perjalanan Aurelia sejak perundingan dengan Lazden. Ia tahu sesuatu akan terjadi di Lembah Karas, dan hatinya tak bisa tinggal diam. Tapi ia juga tahu, Aurelia bukan perempuan yang ingin dilindungi dari belakang.
Kael melihat dengan matanya sendiri bagaimana Aurelia menolak jatuh saat darah menetes dari luka di bahunya, bagaimana ia memimpin pasukan seakan tubuhnya bukan daging dan tulang, tapi bara dan baja.
Dan saat ledakan terakhir meledak di sisi barat lembah, saat pasukan musuh menyerah satu per satu, Kael melihatnya—Aurelia terjatuh.
Tubuhnya roboh di tengah tanah yang mulai menghitam oleh api dan darah. Ia tidak bergerak.
Kael nyaris melompat turun, tapi menahan diri. Ia tahu, jika ia muncul sekarang, semua akan berubah. Bukan waktunya. Bukan caranya.
Namun matanya tak bisa bohong. Ada kilatan perih di sana. Ia menggenggam gagang pedangnya erat-erat. Bibirnya bergetar pelan.
“Kenapa kamu begitu keras kepala...”
Pasukan Aurelia meraih kemenangan telak. Lazden yang tersisa melarikan diri dengan pasukan kecilnya, tercerai-berai, tanpa logistik, tanpa arah.
Teriakan kemenangan terdengar di seluruh lembah. Namun bagi Kael, semua itu... sunyi.
---
Matahari sore perlahan terbit dari balik kabut tipis, menggantung lemah di langit kelabu.
Kael masih berdiri di atas tebing, memandang ke bawah.
Ia melihat Ragas mengangkat tubuh Aurelia, membawanya dengan hati-hati menuju tenda medis. Ia melihat senyum para prajurit, pelukan, air mata syukur.
Namun hatinya hampa.
“Selamat... Aurelia,” gumamnya lirih. “Kau memenangkan perang ini. Tapi... apa harga dari kemenanganmu?”
Ia menghela napas panjang, lalu berbalik, meninggalkan tebing perlahan.
Hari itu menjadi catatan sejarah. Lembah Karas menjadi lambang kemenangan. Tapi bagi Kael, hari itu tercatat sebagai hari di mana kebanggaan dan kesedihan saling bertabrakan di dalam dada dan tak ada satu pun yang benar-benar menang.