Keesokan harinya, udara menggigil dalam diam. Bukan karena dingin, tapi karena kesadaran bahwa hari ini, segalanya bisa berubah. Burung tak berkicau, angin berembus pelan seakan menahan napas. Langit pun tampak berat, mendung menggantung tak berani menurunkan hujan.
Di pusat komando, tenda utama kembali ramai sebelum fajar. Peta-peta digelar, bendera-bendera kecil mewakili gerak pasukan musuh dipindah, dicabut, ditancapkan kembali dengan cepat. Aurelia berdiri di tengah pusaran semua itu. Matanya tajam, dagunya terangkat sedikit, tetapi pundaknya terasa berat. Ini bukan sekadar pertempuran ini awal dari badai panjang yang akan menelan banyak nama.
“Barisan keempat sudah kembali dari pengintaian,” lapor salah satu kurir muda, napasnya terengah. “Pasukan Lazden menyebar ke tiga titik utama. Mereka membangun kubu sementara di dekat Sungai Orlan dan memblokade jalur ke utara.”
Aurelia mengangguk. “Mereka belajar dari kesalahan tadi malam. Sekarang mereka akan memperkuat posisi dan membuat kita menebak arah serangan.”
Langkah kaki berat mendekat. Ragas masuk dengan debu menempel di jubahnya, tapi mata yang menyala penuh tekad. Di sampingnya, seorang pria dengan rambut keperakan yang tersisir rapi dan armor berukir lambang kerajaan berdiri tegap. Sorot matanya tajam namun tenang.
“Aurelia,” sapa pria itu pendek.
Aurelia menoleh, sedikit mengangkat alis. “Jenderal Arven. Kukira kau baru akan tiba malam nanti.”
“Kalau aku datang malam nanti, mungkin hanya akan melihat puing-puing,” jawab Arven ringan, namun tegas. “Jadi, aku putuskan menunggang sendiri sejak tengah malam. Ragas yang memberitahuku apa yang terjadi. Aku tahu... kamu tak menunggu perintah.”
Aurelia tak menjawab, hanya mengangkat bahu. “Perintah tak sempat berguna saat nyawa orang-orangku sudah dipertaruhkan.”
Arven menatap adiknya sejenak, lalu memandang kembali ke peta. “Kita berada di posisi rapuh. Tiga arah ancaman. Kita hanya punya dua arah pertahanan. Kalau Lazden menyerang dari barat dengan kekuatan penuh... kita pecah.”
“Tidak,” potong Aurelia. “Kita pancing dia ke arah barat. Buat seolah titik itu lemah. Tapi diam-diam, kita siapkan lembah Karas dengan jebakan.”
“Lembah Karas?” tanya Ragas. “Itu berbahaya, banyak jalur licin dan tebing curam.”
“Itu justru keuntungan kita,” balas Aurelia cepat. “Jika mereka mengejar terlalu dalam, kita jatuhkan tebingnya, panah api dari atas, longsoran batu. Mereka takkan sempat mundur.”
Arven mengangguk pelan. “Kamu mengusulkan strategi penjebakan... dan pengorbanan. Siapa yang memancing mereka masuk?”
Ragas langsung melangkah maju. “Aku yang pimpin tim pemancing. Aku tahu medan itu. Aku bisa buat mereka mengejar dengan agresif.”
Aurelia menoleh tajam. “Tapi kamu juga tahu... itu nyaris misi bunuh diri.”
Ragas tersenyum miring. “Kita semua mati kalau strategi ini gagal. Lebih baik mati menarik musuh... daripada mati karena kita tak berani ambil risiko.”
Hening sesaat mengisi ruangan. Hanya suara lembaran peta yang bergetar diterpa angin.
Akhirnya, Aurelia mengangguk perlahan. “Baik. Tapi kau bawa lima orang terbaikku. Kuda cepat. Sinyal ledakan hanya akan kau nyalakan ketika benar-benar terkepung.”
---
Menjelang malam, langit menghitam seperti jelaga, tak bintang, tak rembulan. Semua terasa pekat. Di balik bukit, Ragas dan lima prajurit pilihan bersiap menyusup ke arah Lembah Karas. Mereka berpakaian gelap, hanya membawa senjata ringan dan isyarat bunyi.
Aurelia berdiri di atas menara pandang kecil, mengamati mereka pergi dengan mata yang berat.
“Kau takut dia tak kembali?” tanya Arven, muncul di sampingnya.
Aurelia mengangguk pelan. “Dia adikmu. Tapi dia juga satu-satunya orang yang pernah bilang padaku... bahwa kemenangan bukan hanya milik orang dengan mahkota.”
Arven menatapnya lekat. “Dan kamu... satu-satunya yang bisa menyatukan pasukan tanpa mengangkat pedang.”
Aurelia tersenyum samar. Tapi matanya tetap terpaku ke arah barat, ke arah di mana nyawa dipertaruhkan.
---
Malam itu, bumi bergeming. Tapi tidak lama.
Tepat saat fajar menyentuh ufuk, suara keras bergema dari kejauhan sebuah ledakan. Diikuti oleh pekikan panjang terompet dan suara kuda berpacu.
“Signal dari Ragas!” seru salah satu pengintai.
Aurelia langsung berbalik. “Aktifkan jebakan. Panah api siapkan di sisi tenggara. Jangan beri mereka jalan mundur.”
Pasukan bergerak cepat. Panah-panah dinyalakan. Api mulai menyala seperti ular yang menari di antara rumput liar. Dari kejauhan, terlihat bayangan pasukan musuh mulai terjebak di jalur sempit Lembah Karas.
“Aku harap kau benar, Ragas,” bisik Aurelia. “Karena hari ini... bukan cuma nyawa yang dipertaruhkan. Tapi masa depan.”