Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta yang Berteduh di Balik Senja
MENU
About Us  

Aurelia berdiri mematung di hadapan peta besar yang menutupi dinding dalam tenda utama. Matanya menyisir titik demi titik seperti tengah membaca buku dengan bahasa asing penuh tanda tanya dan kemungkinan yang tak terhitung.

Di luar, suasana mulai gaduh. Pasukan patroli baru saja kembali dengan laporan: musuh tidak hanya muncul di Lembah Kabut, tapi juga memperluas gerakan ke tiga arah. Sebuah manuver yang jelas bukan strategi biasa.

“Dia ingin mengalihkan perhatian,” gumam Aurelia sambil menyilangkan tangan. “Taktik klasik. Buat kami sibuk di pinggiran, lalu tikam dari tengah.”

Ragas masuk terburu-buru, menghela napas berat. “Kami kehilangan satu pos di barat laut. Pasukan musuh terlalu cepat.”

Aurelia menoleh. “Tidak. Kita yang terlambat menebak.”

Ragas tampak kebingungan. “Terlambat?”

Aurelia berjalan ke arah peti logam, mengambil gulungan kecil berisi catatan. Ia menunjuk satu nama.

“Ini... tempat penyimpanan logistik utama. Mereka tidak butuh pertempuran besar kalau bisa menutup sumber makanan dan senjata kita.”

“Dan kita tidak punya cukup orang untuk berjaga di semua titik,” ujar Ragas sambil menghela napas dalam.

Aurelia tersenyum tipis. “Tapi kita punya cukup otak untuk membuat jebakan.”

---

Satu malam berlalu dengan sunyi mencurigakan. Tak ada serangan, tak ada pergerakan. Seolah musuh sedang tidur nyenyak, atau... merencanakan sesuatu yang besar.

Aurelia duduk di luar tenda, menggenggam secangkir teh hangat sambil menatap bintang. Sejenak, wajah Kael terlintas di pikirannya. Pemuda dengan logika tajam dan mulut nyinyir yang entah kenapa bisa membuatnya lebih tenang dalam kekacauan.

“Aku tetap setia padamu, Kael,” bisiknya pada angin malam. “Dan pada negeriku. Karena bukan tentang siapa yang paling kuat. Tapi siapa yang tetap berdiri saat semuanya ingin tumbang.”

Langkah cepat terdengar mendekat.

“Komandan! Pergerakan dari arah timur!”

Aurelia langsung bangkit. “Berapa besar pasukan mereka?”

“Tidak banyak. Tapi... aneh. Mereka membawa bendera putih.”

Aurelia menyipitkan mata. “Bendera putih? Jangan-jangan ini—”

Sebelum kalimatnya selesai, utusan dari pihak musuh sudah berdiri di hadapannya. Seorang pria paruh baya, mengenakan jubah ungu pudar dengan sorot mata licik tapi ramah gabungan yang mencurigakan.

“Saya diutus membawa pesan dari Tuan Lazden,” ucapnya dengan nada tenang. “Beliau ingin melakukan perundingan. Satu hari dari sekarang, di dataran Utara.”

Aurelia tidak langsung menjawab. Matanya menelisik pria itu seperti sedang membaca isi otaknya.

“Dan jika aku menolak?” tanyanya datar.

“Beliau berkata... kami tidak akan menyerang malam ini. Tapi esok, kami tidak menjamin yang sama.”

Setelah utusan itu pergi, Ragas tampak cemas. “Kita tidak bisa ke perundingan itu, Nona. Bisa jadi jebakan.”

“Memang jebakan,” ujar Aurelia ringan.

“Tapi kita tidak akan datang dengan tangan kosong.”

---

Keesokan harinya, saat mentari menggantung rendah dan angin Utara berhembus tajam, Aurelia tiba di dataran yang dijanjikan. Ia datang bersama empat orang saja, mengenakan pakaian biasa, tanpa bendera, tanpa simbol perang.

Lazden sudah menunggu di sana, sendirian. Ia tersenyum saat melihat Aurelia mendekat.

“Kamu datang. Kupikir kamu lebih suka melempar panah daripada duduk.”

Aurelia duduk tanpa basa-basi. “Kamu yang minta perundingan. Bicaralah.”

Lazden menatapnya. “Aku masih ingin kamu berdiri di pihakku.”

Aurelia tak menjawab, hanya menatap lurus seakan menembus pikirannya.

“Aku tahu kamu bukan pengabdi tahta,” lanjut Lazden. “Tapi kamu... menghormati keadilan. Kerajaan itu tidak adil, Aurelia. Mereka membakar desa-desa demi kuota pajak. Mereka mengabaikan suara rakyat. Bukankah kamu tahu itu?”

Aurelia menarik napas, lalu perlahan mengangguk. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu kamu bukan solusi. Kamu ingin menukar satu rezim dengan kehancuran total. Aku tidak bisa mendukung itu.”

Lazden tampak kecewa. Tapi ia masih tersenyum.

“Baiklah. Maka kita bertemu lagi... di medan perang.”

Aurelia berdiri, lalu menatapnya penuh percaya diri.

“Kamu yakin masih akan bisa ke medan perang?”

Lazden mengerutkan alis. “Apa maksudmu?”

Aurelia menoleh ke arah timur. Asap tipis mulai terlihat.

“Sementara kamu mengundangku duduk santai di sini, pasukanku sudah menyusup ke titik logistik kalian. Lumbungmu? Sudah jadi abu.”

Wajah Lazden berubah tegang.

“Dan satu hal lagi,” tambah Aurelia sambil menyeringai. “Aku tidak pernah datang ke negosiasi tanpa... rencana cadangan.”

Dari balik bukit, satu per satu panah api meluncur ke udara, membentuk lingkaran yang mengepung dataran.

Pasukan Aurelia telah menutup semua jalan keluar.

Lazden tertawa kecut. “Kamu masih sama... keras kepala dan terlalu pintar untuk ukuran orang yang suka roti gulung.”

Aurelia melangkah pergi tanpa menoleh. “Dan kamu masih terlalu banyak bicara, Lazden.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags